Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
MK Perintahkan Pilkada Ulang jika Kotak Kosong Menang, Maksimal 27 November 2025
14 November 2024 14:53 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi memerintahkan Pilkada ulang jika kotak kosong menang dilaksanakan paling lambat 1 tahun setelah Pilkada digelar. Artinya, jika kotak kosong menang dalam Pilkada 27 November 2024, maka Pilkada selanjutnya harus digelar pada 27 November 2025 dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Perintah itu termuat dalam putusan MK dalam amar Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024. Gugatan diajukan oleh Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. MK dalam putusannya mengabulkan gugatan mereka untuk sebagian.
"Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam persidangan di Gedung MK, Kamis (14/11).
Para penggugat dalam permohonannya turut mempersoalkan Pasal 54D ayat (3) dalam UU Pilkada. Berikut bunyi Pasal 54D:
Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
MK dalam putusannya, menyatakan Pasal 54D ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Sepanjang tidak dimaknai "Pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak hari pemungutan suara, dan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak berikutnya, sepanjang tidak melebihi masa waktu 5 (lima) tahun sejak pelantikan".
ADVERTISEMENT
MK menuturkan, mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada sebenarnya sudah pernah dipertimbangkan dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Mei 2019.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, oleh karena desain waktu pemilihan berikutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada dimaksud dirumuskan oleh pembentuk undang-undang bukan dalam model desain Pilkada serentak secara nasional, waktu "pemilihan berikutnya" tersebut ditegaskan diulang kembali pada tahun berikutnya.
Hal ini disebabkan norma Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada di samping memuat frasa "pemilihan berikutnya", juga memuat frasa "tahun berikutnya".
Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan, Mahkamah harus memaknai kedua frasa itu secara berkelindan antara "pemilihan berikutnya" dan "tahun berikutnya".
ADVERTISEMENT
Frasa "pemilihan berikutnya" dan "tahun berikutnya" harus dimaknai dengan tidak melepaskan hakikat pemilihan berikutnya dalam konteks keserentakan penyelenggaraan pilkada serentak nasional tahun 2029 dan tidak diperbolehkannya penjabat kepala daerah atau Plt yang menjabat terlalu lama dari pilkada serentak sebelumnya.
Menurut Mahkamah, pemaknaan frasa "pemilihan berikutnya" dan "tahun berikutnya" dalam norma Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada menjadi "pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 tahun sejak pemungutan suara 27 November 2024".
"Meskipun demikian, sebagai penyelenggara seharusnya KPU berupaya melaksanakan pemilihan berikutnya tersebut dalam waktu secepat mungkin. Hal demikian dimaksudkan agar kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih dari hasil pemilihan berikutnya tidak banyak kehilangan haknya untuk menjabat dalam periode masa jabatan sejak sejak pelantikan," kata Saldi.
Kepala daerah yang terpilih 2025 tidak bakal menjabat 5 tahun, tetap sampai 2029
ADVERTISEMENT
Sementara berkaitan kekhawatiran pemohon soal ketiadaan ketentuan yang mengatur masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan berikutnya pascapemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan satu pasangan calon yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan berikutnya, dalam keadaan normal kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih dari Pilkada serentak tahun 2024 akan memangku jabatan selama 5 tahun.
Sedangkan kondisi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dari pemilihan berikutnya yang diselenggarakan paling lambat pada tanggal 27 November 2025 tetap akan memegang jabatan selama 5 tahun. Maka masalah ini akan berpengaruh pada keserentakan Pilkada secara nasional 2029.
Menurut Mahkamah, kekhawatiran tersebut wajar dan berpotensi terjadi. Oleh karena itu, demi menjaga model keserentakan Pilkada secara nasional yang telah dinilai konstitusional dalam beberapa putusan Mahkamah, perlu diterima fakta kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih karena keharusan Pilkada ulang, termasuk konsekuensi dari hasil penyelesaian sengketa di Mahkamah, harus menerima masa jabatan kurang dari 5 tahun.
ADVERTISEMENT
"Dalam hal ini, masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak akan mencapai 5 tahun merupakan konsekuensi logis adanya "pemilihan berikutnya" dimaksud," jelas Saldi.
Mahkamah sarankan mendapat kompensasi
Imbas pengurangan masa jabatan, perlu dipikirkan perlindungan hukum bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak terpenuhi sampai dengan 5 tahun.
Misalnya, ada perlindungan hukum dapat dilakukan dengan pemberian kompensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 202 UU 8/2015, atau dapat dirumuskan kompensasi dalam bentuk lain. Secara normatif, kompensasi yang demikian telah dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan dan dinilai konstitusional oleh Mahkamah (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022).
“Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, ketentuan norma Pasal 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 telah ternyata bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang demokratis, adil dan berkepastian hukum yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon," ucap Saldi.
ADVERTISEMENT
"Namun oleh karena pemaknaan Mahkamah terhadap Pasal 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 tersebut tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon maka dalil permohonan para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” kata Saldi.