MK Putuskan Jaksa Tak Bisa PK: Berpotensi Timbulkan Penyalahgunaan Wewenang

14 April 2023 22:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim anggota memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim anggota memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan terhadap gugatan terhadap ketentuan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) pada Jumat (14/4).
ADVERTISEMENT
Dalam putusan Nomor 20/PUU-XX/2022, MK memutuskan penambahan kewenangan jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) bertentangan dengan UUD 1945.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman.
"Menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjut Anwar Usman.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tambah dia.
Hakim MK Saldi Isra (kiri), dan Manahan M.P. Sitompul. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Hakim MK Manahan MP. Sitompul membeberkan pertimbangan hukum dari MK. Menurutnya, norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain.
ADVERTISEMENT
"PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum," ucap Hakim Manahan.
Selain itu, MK menegaskan apabila ada pemaknaan yang berbeda terhadap norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikan norma tersebut inkonstitusional.
Pemohon mendalilkan Pasal 30C huruf h dan penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan telah memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Menurut pemohon, adanya fakta bahwa dalam perkara pidana yang telah dijalani oleh pemohon, Kejaksaan telah mengajukan PK meskipun pemohon telah dinyatakan bebas berdasarkan putusan PK yang telah diajukan oleh pemohon sehingga hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut pemohon, pengajuan PK yang dilakukan oleh Kejaksaan tersebut juga didasarkan atas penuntutan yang berlaku surut karena PK diajukan Jaksa sebelumnya atas putusan PK dari Mahkamah Agung yang membebaskan terpidana dan telah diputus pada tanggal 15 September 2021.
Sedangkan, norma pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021 sehingga materi muatan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yakni hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Ilustrasi Jaksa. Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO

Penambahan Kewenangan Jaksa

Selain itu, dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 30C huruf h dan penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 adalah pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 30 dan Pasal 31 dalam UU 16/2004 yakni pada angka 27 dalam BAB III tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, dalam UU 16/2004 tidak diatur kewenangan Jaksa untuk melakukan PK. Namun, dalam Pasal 35 huruf d UU 16/2004 yang menyatakan
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: … d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”, Kejaksaan, in casu Jaksa Agung telah diberikan kewenangan untuk dapat mengajukan kasasi,"
(kiri-kanan) Hakim MK Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Manahan M.P. Sitompul. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Manahan menuturkan, dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta penjelasannya dalam UU Kejaksaan berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut.
"Penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum," jelas Mahanahan.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, adanya fakta bahwa terkait dengan isu konstitusionalitas PK telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008 dan dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.
“Menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada putusan tersebut seharusnya pembentuk undang-undang memahami benar bahwa dengan menyisipkan tambahan kewenangan kepada Kejaksaan untuk mengajukan PK akan berdampak terhadap terlanggarnya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” urai Manahan.
Ilustrasi suasana sidang Tipikor. Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Lebih lanjut Manahan menjelaskan, secara substansi norma Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang memberikan tambahan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK tidak sejalan dengan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK melainkan hanya terpidana atau ahli warisnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, berkenaan dengan norma Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah dimaknai secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah.
Artinya, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Manahan melanjutkan, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum sehingga Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tandas Manahan.
Jaksa pada sidang vonis Ferdy Sambo di PN Jaksel, Senin (13/2). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Latar Bekalang Gugatan

Gugatan ini diajukan oleh Hartono yang berprofesi sebagai notaris. Ia menguji ketentuan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ke Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C UU Kejaksaan berbunyi:
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 3OB Kejaksaan: h. mengajukan peninjauan kembali.
Penjelasan Pasal 30C UU Kejaksaan berbunyi:
Peninjauan Kembali oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang [equality of arms pinciple] dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Peninjauan Kembali yang diajukan oleh oditurat dikoordinasikan dengan Kejaksaan. Jaksa dapat melakukan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
ADVERTISEMENT
Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa hukum pemohon, menjabarkan pokok permohonan permohonan. Singgih menceritakan kasus konkret yang dialami Pemohon yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana dan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Gianyar, Bali sehingga dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun.
Atas putusan tersebut, Pemohon pada 15 November 2019 melakukan Banding dan Jaksa Penuntut Umum mengajukan pada 14 November 2019.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kemudian Pengadilan Tinggi Denpasar menyatakan Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sehingga membebaskannya dari segala dakwaan.
Namun kemudian Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 21 Januari 2020.
Majelis Hakim Peninjauan Kembali menjatuhkan putusan pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam surat dakwaan penuntut umum.
ADVERTISEMENT
“Akan tetapi kemudian Jaksa/Penuntut Umum kembali mengajukan Peninjauan Kembali pada 26 Desember 2022. Atas hal ini Pemohon sungguh merasa sangat dirugikan hak konsitusional karena tidak adanya kepastian hukum dalam perkara pidana yang dialami oleh Pemohon. Hal yang Jaksa/Penuntut Umum ini sesungguhnya mengacu pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan,” kata Singgih.