MK Tambahkan Syarat Jadi Jaksa Agung: Bukan Pengurus Parpol

29 Februari 2024 20:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan terkait UU Kejaksaan. MK menambahkan syarat bagi Jaksa Agung.
ADVERTISEMENT
Gugatan Nomor 6/PUU-XXII/2024 itu diajukan oleh seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar. Ia mempermasalahkan Pasal 20 UU Kejaksaan yang berbunyi:
Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah paling rendah sarjana hukum;
e. sehat jasmani dan rohani; dan
f. berintegritas, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Jovi mempertanyakan tidak adanya syarat bagi seseorang untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus tidak sedang atau setidaknya telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sejak 5 (lima) tahun sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung.
Ia menilai tidak adanya syarat itu menjadi celah hukum yang dapat memberikan kesempatan bagi seorang yang sedang menjadi anggota partai politik atau seorang yang masih belum terputus hubungannya dengan partai politik diangkat sebagai Jaksa Agung oleh Presiden.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diyakini membuka peluang untuk terjadinya gangguan terhadap independensi struktural Kejaksaan. Berimplikasi negatif pada pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan di bidang penegakan hukum.
Jovi menyebut bahwa pada saat dia mendaftar sebagai seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) terdapat persyaratan agar dia membuat dan menandatangani surat pernyataan bahwa dirinya tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai.
Ia pun berpendapat bahwa seseorang baik untuk memperoleh predikat sebagai Jaksa maupun Jaksa Agung tetap harus bebas dari status keanggotaan partai politik. Sehingga, ia merasa berpotensi mengalami kerugian konstitusional akibat dari berlakunya Pasal 20 UU Kejaksaan yang dinilai bersifat diskriminatif.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum tertinggi dan sebagai jaksa pengacara negara di bidang perdata dan tata usaha negara serta ketatanegaraan di semua lingkungan peradilan. Baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintahan, maupun kepentingan umum. Jaksa Agung juga merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena tugas dan kewenangan Kejaksaan dan Jaksa Agung yang begitu strategis dalam penegakan hukum di Indonesia, jabatan Jaksa Agung dinilai haruslah diisi oleh seseorang yang mempunyai karakteristik khas dan mempunyai pengetahuan hukum yang baik. Serta keahlian khusus termasuk keahlian manajerial dalam memimpin dan mengkoordinir penegak hukum lain dalam upaya penegakan hukum
"Oleh karena itu, Jaksa Agung haruslah orang yang berintegritas, memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, rekam jejak, komitmen yang tinggi dalam upaya penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi serta harus terbebas dari kepentingan politik," kata MK dalam pertimbangan putusan yang dibacakan pada Kamis (29/2).
Menurut MK, posisi Jaksa Agung memerlukan independensi dan netralitas dalam menjalankan tugasnya, sehingga idealnya Jaksa Agung harus bebas dari afiliasi dengan partai politik. Keterkaitan Jaksa Agung dengan partai politik terlebih sebagai pengurus suatu partai politik akan menimbulkan konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
Terafiliasinya Jaksa Agung dengan partai politik akan memengaruhi persepsi netralitas dalam penuntutan serta profesionalisme dalam menjaga integritas dan independensinya.
"Seorang Jaksa Agung dituntut untuk fokus secara penuh dalam melaksanakan tugas dan kewenangan Kejaksaan yang dibebankan kepadanya. Terlibatnya Jaksa Agung dalam urusan partai politik akan mengganggu kinerja dan efektivitas kepemimpinannya yang pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan. Dalam hal ini, Mahkamah perlu menegaskan kembali pendapat Mahkamah terkait kemandirian Kejaksaan terutama posisi Jaksa Agung yang harus terbebas dari keanggotaan maupun kepengurusan suatu partai politik," papar MK.
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Foto: ANTARA FOTO
Menurut MK, seorang pengurus partai politik lebih memiliki keterikatan yang kuat terhadap partainya. Sebab, seorang pengurus memilih untuk terlibat lebih dalam dengan partainya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, MK mengabulkan permohonan tersebut terkait syarat afiliasi partai politik.
"Apabila dikaitkan dengan permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, syarat untuk sudah keluar selama 5 (lima) tahun dari partai politik sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung, haruslah diberlakukan bagi calon Jaksa Agung yang sebelumnya merupakan pengurus partai politik," papar MK.
"Hal ini dikarenakan sebagai pengurus partai politik seseorang memiliki keterikatan mendalam dengan partainya, sehingga berdasarkan penalaran yang wajar potensial memiliki konflik kepentingan ketika diangkat menjadi Jaksa Agung tanpa dibatasi oleh waktu yang cukup untuk terputus afiliasi dengan partai politik yang dinaunginya," imbuh MK.
Namun, MK menyebut bahwa bagi calon Jaksa Agung yang sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung merupakan anggota partai politik cukup melakukan pengunduran diri sejak dirinya diangkat menjadi Jaksa Agung.
ADVERTISEMENT
"Adapun jangka waktu 5 (lima) tahun telah keluar dari kepengurusan partai politik sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung adalah waktu yang dipandang cukup untuk memutuskan berbagai kepentingan politik dan intervensi partai politik terhadap Jaksa Agung tersebut," kata MK.
Berikut bunyi putusan MK:
Mengadili:
ADVERTISEMENT