MK Tolak Gugatan RCTI dan iNews yang Minta YouTube-Netflix Diatur UU Penyiaran

14 Januari 2021 11:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kandas sudah gugatan RCTI dan iNews di Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta penyiaran menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) disamakan perlakuannya seperti TV.
ADVERTISEMENT
MK menolak gugatan RCTI dan iNews dalam sidang putusan pada Kamis (14/1). Sebab gugatan kedua TV swasta tersebut tidak beralasan menurut hukum.
"Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman, di ruang sidang, Jakarta.
Dalam gugatan itu, RCTI diwakili Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur. Sementara iNews diwakili David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur.
RCTI dan iNews menggugat Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang berbunyi:
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Ilustrasi Menyalakan TV di Kamar Hotel Foto: Shutter Stock
RCTI dan iNews menilai ketentuan Pasal tersebut menimbulkan kerugian konstitusional bagi mereka. Sebab, membuat adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara TV konvensional dan penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT). Diketahui contoh layanan OTT yakni YouTube, Netflix, dan Instagram Live.
ADVERTISEMENT
RCTI dan iNews mencontohkan perbedaan perlakuan antara TV konvensional dengan layanan OTT, salah satunya terkait kewajiban tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Apabila tidak mematuhi P3SPS, TV konvensional dapat dikenakan sanksi oleh KPI. Sementara layanan OTT tidak ada kewajiban memenuhi P3SPS sehingga luput dari pengawasan KPI.
Padahal menurut mereka, layanan OTT seharusnya masuk kategori 'siaran' apabila merujuk Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran. Dengan demikian, menurut RCTI dan iNews, berbagai macam layanan OTT pada dasarnya juga melakukan aktivitas penyiaran, sehingga seharusnya masuk dalam rezim penyiaran. Perbedaannya hanya terletak pada metode penyebarluasan yang digunakan.
Atas dasar tersebut, RCTI-iNews meminta MK agar mengubah bunyi Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menjadi:
ADVERTISEMENT
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.
Hakim Mk Arief Hidayat pada saat sidang lanjutan Sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Namun MK tak sependapat dengan dalil tersebut. Hakim MK, Arief Hidayat, mengatakan penyiaran konvensional tidak bisa disamakan dengan internet. Sebab internet bukan media atau transmisi pemancarluasan siaran.
Adapun frasa 'media lainnya' di Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bukan merujuk pada internet, melainkan siaran telestrial, media udara, kabel, dan satelit.
ADVERTISEMENT
"Ketidaksamaan karakter penyiaran konvensional dengan penyiaran berbasis internet tidak berkorelasi dengan persoalan diskriminasi yang menurut para pemohon disebabkan multitafsir definisi penyiaran," ucap Arief.
Ilustrasi platform YouTube. Foto: Dado Ruvic/Reuters
Selain itu, Arief menyatakan definisi penyiaran di Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yakni pertama kegiatannya berupa pemancarluasan, kedua menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan media lainnya, ketiga diterima serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
"Unsur-unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, oleh karena itu suatu aktivitas baru dikatakan sebagai penyiaran jika memenuhi 3 unsur itu," ucap Arief.
Arief menyebut permintaan RCTI dan iNews untuk mengubah Pasal 1 angka 2 secara konsekuensi akan mengubah secara keseluruhan substansi UU Penyiaran. Terlebih lagi istilah penyiaran di UU tersebut digunakan sebanyak 278 kali.
Ilustrasi platform Instagram. Foto: Dado Ruvic/Reuters
"Dengan demikian dalam batas penalaran yang wajar, dalil pemohon dengan menambah norma dalam pengertian definisi penyiaran Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak akan mengubah Pasal-pasal di UU a quo sulit untuk dipahami,"
ADVERTISEMENT
"Karena memasukkan begitu saja penyelenggara penyiaran berbasis internet dalam rumusan pengertian atau definisi penyiaran sebagaimana didalilkan pemohon tanpa perlu mengubah secara keseluruhan UU justru akan menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi layanan OTT pada prinsipnya memiliki karakter berbeda dengan penyelenggaraan penyiaran konvensional," tutupnya.