MK Tolak Gugatan UU Perkawinan, Hakim Ungkap 3 Modus Nikah Beda Agama

31 Januari 2023 16:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana jelang pengucapan sumpah Hakim MK Daniel Yusmic dan Suhartoyo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/1).  Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana jelang pengucapan sumpah Hakim MK Daniel Yusmic dan Suhartoyo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/1). Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan soal pernikahan beda agama. Permohonan yang diajukan oleh E. Ramos Petege itu dinilai tidak beralasan menurut hukum.
ADVERTISEMENT
Kesembilan hakim MK bulat menolak gugatan tersebut. Mereka menilai bahwa permohonan yang diajukan oleh Ramos tidak beralasan.
Namun ada alasan berbeda yang disampaikan oleh dua orang hakim dalam penolakan itu. Salah satunya yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic.
Dia berkeyakinan bahwa praktik nikah beda agama akan selalu terjadi.
"Saya berkeyakinan bahwa persoalan perkawinan beda agama adalah sebuah persoalan yang secara nyata ada dan patut diduga terus berlangsung sampai sekarang serta di masa-masa yang akan datang," kata Yusmic dalam persidangan hari ini di MK, Selasa (31/1).
Dia bahkan mengungkapkan ada tiga pola pernikahan beda agama. Berikut ketiga pola itu:
ADVERTISEMENT
"Ketiga pola tersebut di satu sisi dianggap semacam bentuk penyelundupan hukum terhadap perkawinan beda agama namun di sisi lain langkah atau terobosan sendiri dari pasangan calon perwakilan yang beda agama karena ketiadaan hukum perkawinan beda agama," kata Yusmic.
Yusmic juga menyoroti cara pasangan beda agama yang mengajukan gugatan hukum agar disahkan dalam pencatatan negara, yakni dengan menggugat ke pengadilan negeri. Bahkan, ada putusan yang dikabulkan.
Berkaca dari situ, terlepas dari penolakan atas permohonan, Yusmic menilai masalah perkawinan beda agama ini adalah hal yang sensitif. Namun melihat pesatnya perkembangan kehidupan bermasyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dimungkinkan dilakukannya dialog atau diskusi terbuka melibatkan berbagai pihak.
Yusmic mengatakan, agar penyerapan aspirasi itu lebih komperhensif, maka ia menilai ada dua lembaga yang bisa melakukan itu.
ADVERTISEMENT
"Dalam kondisi saat ini lembaga yang tepat untuk mengatur persoalan ini adalah lembaga pembentuk undang-undang yaitu DPR dan presiden/pemerintah," kata Yusmic.
"Kedua lembaga negara tersebut memiliki perangkat dan sumber daya yang lebih banyak dari pada lembaga peradilan seperti MK terutama perangkat dan sumberdaya untuk menyerap aspirasi masyarakat, begitu juga kemampuan dalam melakukan riset yang dalam dengan melibatkan berbagai macam disiplin keilmuan dalam menyiapkan naskah akademik," sambungnya.
Ilustrasi sidang MK. Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Yusmic mengatakan, dengan adanya perangkat dan sumber daya yang banyak, maka akan diperoleh informasi yang akurat untuk menentukan kebijakan larangan perkawinan beda agama dilanjutkan atau sebaliknya atau diatur dalam mekanisme lain.
Yusmic pun menyampaikan alternatif empat jalur untuk pernikahan. Berikut daftarnya:
Pertama, jalur nikah agama sebagaimana lazimnya saat ini yaitu untuk perkawinan yang dilakukan oleh sesama Agama Islam melalui kantor urusan agama (KUA) Kementerian Agama. Sedangkan untuk yang beragama selain Islam, melalui pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil.
ADVERTISEMENT
Kedua, untuk yang melakukan perkawinan beda agama, mereka diberikan dua pilihan apakah mau mencatatkan perkawinan mereka di KUA atau di kantor pencatatan sipil. Petugas KUA maupun petugas pencatatan sipil hanya perlu mencatat apa yang mereka sampaikan bahwa mereka telah melakukan perkawinan dan petugas memberikan mereka buku nikah beda agama untuk yang dicatat di KUA atau akan nikah beda agama yang dicatat di luar KUA.
Ketiga, untuk WNI sesama penganut kepercayaan. Terhadap hal ini negara juga harus mencatat perkawinan mereka. Terlebih berdasarkan putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016. Yusmic menilai putusan tersebut mengharuskan penghayat kepercayaan dicatat dalam kartu penduduk.
"Maka sudah seharusnya dalam perkawinan, mereka juga mendapatkan buku nikah penghayat keyakinan atau akta nikah penghayat keyakinan," kata dia.
ADVERTISEMENT
Keempat, perkawinan WNI yang salah satunya menganut agama tertentu dengan pasangannya yang merupakan penghayat kepercayaan. Berkenaan dengan hal ini mereka juga berhak memperoleh buku nikah agama-penghayat kepercayaan atau akta nikah agama-penghayat kepercayaan.
Ilustrasi robot pengacara hukum. Foto: Shutterstock
Permohonan Nikah Beda Agama
Dalam gugatannya, Ramos yang merupakan Katolik hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Tetapi harus dibatalkan karena tidak diakomodasi dalam UU perkawinan soal pernikahan beda agama.
Dia merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Namun MK menolak gugatan tersebut. MK menyatakan tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi atau pun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan.
Sehingga tidak terdapat urgensi bagi MK untuk bergeser dari pendirian atas putusan sebelumnya. MK setidaknya sudah dua kali menolak gugatan yang serupa.
ADVERTISEMENT
"Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata hakim MK.
Dalil Ramos yang berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 8 huruf f UU 1/1974 dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Kemudian, mengenai norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 8 huruf f UU 1/1974 dinilai oleh MK tidak bertentangan dengan prinsip jaminan hak memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Kemudian tidak bertentangan dengan hak persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif, hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata hakim MK.