Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Motif Pekerja Bimbel di Makassar Bikin Artikel 'Masuk Akpol Bayar': SEO
23 Januari 2025 11:40 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ASN Institute, tempat bimbingan belajar (bimbel) di Kota Makassar, Sulsel, berurusan dengan hukum usai membuat artikel "masuk Akademi Kepolisian (Akpol) bayar".
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, tiga pegawai ASN Institute diamankan oleh Subdit V Cybercrime Polda Sulsel: Inisial AIS (22), pembuat artikel; AF (28), marketing; dan TM (34), selaku bos atau pimpinan perusahaan di bawah PT Digi Teknologi Indonesia itu.
Awalnya, TM dan AF melakukan rapat membahas cara menarik peserta agar bergabung di bimbel ASN Institute.
AF selaku marketing kemudian melihat iklan terkait penerimaan Akpol 2025. Mereka pun berniat membuat artikel penerimaan Akpol.
“Kami mencari keyword di website dan yang paling banyak dicari ialah biaya pendidikan Akpol,” kata TM kepada wartawan, Rabu (22/1).
“AIS ini membuat lalu memposting artikel dengan judul Nominal Biaya Pendidikan Akpol 2025 Yang Wajib Ketahui,” sambung dia.
Unit Cybercrime Polda Sulsel melakukan penyelidikan dan mengamankan tiga orang pegawai ASN Institute di kantornya, pada 19 Januari 2025.
ADVERTISEMENT
ASN Institute Minta Maaf
Pimpinan ASN Institute, TM, telah meminta maaf atas perbuatannya. “Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekeliruan dari informasi yang kami berikan,” katanya di hadapan jajaran Polda Sulsel.
TM menjelaskan, terkait artikel biaya seleksi Akpol didapatkan juga dari salah satu website.
“Sebenarnya niat hanya menyampaikan informasi terkait penerimaan Akpol ini. Kami dapat dari website lain, di situlah kekeliruan kami tidak melihat kredibilitas dari website tersebut. Sekali lagi saya mohon maaf. Dan ini betul-betul kelalaian kami,” ujarnya.
Atas perbuatannya, mereka disangkakan Pasal 45A Ayat (1) dan (2) jo Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU ITE. Ancaman hukumannya penjara 6 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar.
DPR dan Ahli Hukum Soroti Penetapan Tersangka
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menyebut penyebaran berita bohong terkait biaya masuk Akpol termasuk kasus sepele.
ADVERTISEMENT
“Institusi wajib dijaga marwahnya, tetapi kedepankan restorative justice,” katanya, terpisah.
Ahli Hukum UGM Dorong SP3
Terkait hal tersebut, ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Fatahillah Akbar, menuturkan seharusnya Kepolisian cukup memberikan klarifikasi tanpa perlu menyeret ke ranah pidana.
"Malah memaksakan pasal dan akan tidak objektif karena yang diserang kepolisian," katanya.
Seharusnya polisi memberikan edukasi bahwa pidana adalah upaya terakhir dalam kasus seperti ini.
"Harusnya kepolisian mengedukasi bahwa laporan pidana itu upaya terakhir jika upaya-upaya lain tidak bisa digunakan," katanya.
Dia pun mempertanyakan penerapan pasal yang diterapkan.
"Aneh ya, kena pasal apa? Kena pasal hoaks dalam perlindungan konsumen 28 Ayat 1 atau hoaks terkait SARA 28 Ayat 2?" kata Akbar dikonfirmasi, Rabu (22/1).
ADVERTISEMENT
"Kalau 28 Ayat 1 jelas enggak. Kalau 28 Ayat 2 apakah ada suku agama ras dan sebagainya?" jelasnya.
Lalu jika disangkakan pencemaran nama baik, Akbar mengatakan pencemaran nama baik harus perorangan korbannya. Bukan institusi.
"Kalau sekadar hoaks 28 Ayat 3 harus ada kerusuhan fisik," jelasnya.
Menurut Akbar, jika pasal-pasal itu yang diterapkan kepada para tersangka, maka sejatinya tidak tepat.
"Jadi menurut saya enggak ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku. Ditunggu saja paling sebentar lagi di-SP3," terangnya.
Dosen Hukum Tamalatea Dorong RJ
Hal senada juga disampaikan oleh dosen hukum dari Universitas Tamalatea, Mualimunsyah. Dia mengatakan, penanganan kasus penyebaran berita bohong seharusnya mengedepankan pendekatan edukatif. Apalagi, belum adanya masyarakat yang menjadi korban.
ADVERTISEMENT
"Kepolisian harus lebih mengedepankan upaya pendekatan edukatif menyelesaikan masalah ini," kata Mualimunsyah kepada wartawan, Rabu (22/1).
"Pada prinsipnya bukan semata-mata soal benar atau salah, melainkan bagaimana Institusi Polri harus menjadi sistem edukasi bagi masyarakat pada umumnya," sambung dia.
Menurutnya, apabila penanganan penyebaran berita bohong selalu dengan upaya penangkapan kepada terduga pelaku, maka kepolisian terkesan tidak mengenal upaya restorative justice (RJ).
Kata dia, semangat RJ harus terus digaungkan Institusi Penegak Hukum. Sehingga, terduga pelaku mestinya hanya diberikan sanksi sosial seperti permintaan maaf.
“Penerapan RJ dalam perkara ini bukan semata-mata untuk menghilangkan asas kepastian hukum akan tetapi asas keadilan dan asas kemanfaatan hukum itu telah di kesampingkan,” ujarnya.