Motivasi Turki Mengamandemen Konstitusi

16 April 2017 15:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jelang Referendum Turki (Foto: REUTERS/Alkis Konstantinidis)
zoom-in-whitePerbesar
Jelang Referendum Turki (Foto: REUTERS/Alkis Konstantinidis)
Pemerintah Turki hari ini menggelar referendum untuk amandemen konstitusi. Mengapa?
ADVERTISEMENT
Referendum ini dapat terlaksana setelah partai berkuasa Adalet ve Kalkınma Partisi/AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) mendapat dukungan dari partai oposisi Partai Gerakan Nasionalis (MHP), dan rancangan amandemen yang disiapkan bersama-sama berhasil disahkan di parlemen.
Setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan meratifikasi paket amandemen konstitusi yang sebelumnya telah disetujui oleh DPR, Lembaga Pemilihan Umum mengumumkan hari pemungutan suara referendum (untuk diaspora Turki di Eropa sudah dilaksanakan tidak serentak beberapa hari sebelumnya), untuk dalam negeri yakni hari ini, Minggu (16/4/2017).
Beberapa Butir Penting
Mengapa Turki mengambil langkah untuk mengamandemen konstitusi dengan meminta pendapat rakyat melalui referendum?
Di bawah ini beberapa butir penting mengapa konstitusi Turki dipandang perlu untuk diamandemen, sebagaimana dijabarkan anggota Panitia Konstitusi Parlemen Markar Esayan dalam Daily Sabah, dikutip kumparan Den Haag (kumparan.com) menjelang referendum hari ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, sistem pemerintahan Turki berdasarkan konstitusi saat ini adalah bukan sistem parlementer. Di atas kertas kelihatannya begitu, tapi dalam praktiknya tidak.
Ketika kudeta 1960 dan 1980, para pelaku yang muncul di sampul majalah TIME saat itu, telah melanggar Konstitusi 1924 dan mengubahnya menjadi alat pengekang.
Mereka menciptakan lembaga-lembaga pengawasan atas pemerintahan terpilih dan prospektif dari hasil pemilu. Dengan konstitusi yang diadopsi dalam bayang-bayang kudeta itu sistem parlementer Turki telah berubah dari tujuan dan fungsi aslinya.
Jelang Referendum Turki (Foto: REUTERS/Alkis Konstantinidis)
zoom-in-whitePerbesar
Jelang Referendum Turki (Foto: REUTERS/Alkis Konstantinidis)
Terutama dalam kasus Konstitusi 1982, yang telah memperluas kekuasaan presiden ke titik yang tidak cocok dengan sistem parlementer. Konstitusi ini dibentuk di bawah pengawasan hingga pemimpin junta militer Jenderal Kenan Evren menjadi presiden. Kekuasaan eksekutif yang luas dibagi antara Perdana Menteri dan Presiden.
ADVERTISEMENT
Konstitusi 1982 juga mengambil langkah lebih lanjut, yakni membuat presiden secara hukum tidak bisa dimintai pertanggung jawaban, seraya meletakkan dasar politik agar presiden tidak bisa dimintai pertanggung jawaban selama masa jabatannya. Khususnya Pasal 104 Konstitusi telah diubah dengan maksud membangun sistem pengawasan yang tetap berlaku sampai hari ini.
Disebutkan, bahwa Perdana Menteri harus menang pemilu, menjalankan tugas serta bertanggung kepada rakyat dan lembaga hukum. Sejak berbagi kekuasaan eksekutif dengan Presiden, biasanya mencakup wakil-wakil kemapanan, kekuasaannya menjadi besar seperti membubarkan Parlemen, tanpa pertanggung jawaban dan menikmati kekebalan hukum seumur hidup.
Memang, setiap pemilihan presiden di Turki telah menyebabkan krisis antara kekuasaan mapan dan pejabat baru terpilih dari hasil pemilu, bahkan mengakibatkan kudeta militer.
ADVERTISEMENT
Salah satu dalih untuk Kudeta 1980 adalah kegagalan untuk memilih Presiden pada 1979 setelah 109 kali putaran pemungutan suara, akibat intervensi dari luar.
Biasanya, politisi diintimidasi dan selanjutnya purnawirawan militer atau wakil kemapanan akan mengambil alih jabatan dengan kedok sipil. Ketika warga sipil menolak, militer aktif akan kudeta.
Referendum 16 April hari ini dipandang akan menyelesaikan reformasi demokrasi 2007, yang belum selesai. Amandemen yang diusulkan memungkinkan untuk penyelidikan semua kejahatan yang dilakukan oleh presiden saat melakukan tugasnya. Parlemen akan memiliki wewenang untuk mengulang pemilu, dalam hal presiden telah diberhentikan.
ADVERTISEMENT
(Laporan reporter kumparan Eddi Santosa dari Den Haag)