Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Disertasi mahasiswa pascasarjana Islamic Studies UIN Yogyakarta, Abdul Aziz, menuai kontroversi. Dalam penelitiannya, Abdul menyebut ada celah hubungan seksual di luar nikah dalam hukum Islam. Kesimpulan itu merupakan buah elaborasinya terhadap isi pikiran Muhammad Syahrur, seorang pemikir Islam kontemporer.
ADVERTISEMENT
Lantaran menuai polemik, disertasi berjudul ‘Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital’ itu kini ditangguhkan oleh dewan penguji.
Mereka meminta Abdul untuk merevisi bagian-bagian yang dianggap tendensius. Hasilnya, Abdul memutuskan untuk mengubah judul disertasinya menjadi ‘Problematika Konsep Milk Al Yamin dalam Pemikiran Muhammad Syahrur’.
Konsep Milk al-Yamin (kepemilikan budak) tengah merujuk pada seseorang yang boleh menggauli budak perempuannya. Dalil itu, menurut Abdul, sedikitnya tersebar pada 15 ayat yang ada dalam Alquran. Salah satunya, ada dalam surat Al-Ahzab ayat 50.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan budak yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu..,”
ADVERTISEMENT
Merujuk pada pendapat Syahrur yang dikutip Abdul, peluang hubungan seksual di luar nikah pada dasarnya dilegalkan oleh Alquran. Dia berpendapat, hal itu secara gamblang ada dalam kata kunci ‘menghalalkan bagimu budak yang kamu miliki’.
Pendapat Syahrur yang mengguncang keyakinan lama tentang zina itu pun sudah lebih dahulu menuai kontroversi. Jauh sebelum Abdul menjadi sorotan media karena disertasinya itu, Syahrur sudah dicap kafir dan antek zionis oleh sejumlah ulama.
Dari Teknik Sipil ke Islamic Studies
Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur, atau yang dikenal Muhammad Syahrur, lahir di Damaskus, Suriah, pada 11 Maret 1938. Selama hidupnya, ia tak pernah dididik di sekolah agama. Tapi, di sekolah umum di Al-Midan, sebuah wilayah bagian selatan Kota Damaskus.
ADVERTISEMENT
Usai menamatkan SMA pada tahun 1957, Syahrur terbang ke Moskow, Rusia. Di sana ia kuliah S1 Teknik Sipil dengan beasiswa dari pemerintah Suriah. Dalam jurnal berjudul ‘Muhammad Syahrur dan Konsep Milkul Yamin: Kritik Penafsiran Perspektif Ushul Fiqih’(2019) yang ditulis Muhammad Nurhadi, disebutkan bahwa Syahrur begitu tertarik dengan marxisme saat kuliah di Rusia.
Usai menamatkan gelar keserjanannya pada 1964, Syahrur pulang ke negaranya dan mengajar di Universitas Damaskus. Pada tahun 1968, ia memutuskan untuk melanjutkan studi S2 dan S3 di National University of Ireland.
Jenjang master ia selesaikan tahun 1968 dengan konsentrasi Mekanika Tanah, sedangkan jenjang doktoral ia selesaikan tahun 1972 dalam bidang Teknik Pondasi. Ilmunya itu kemudian ia terapkan di Suriah. Berkerja sebagai konsultan teknik bangunan untuk ribuan bangunan di Damaskus.
ADVERTISEMENT
Menariknya, minat Syahrur tak terbatas pada bidang teknik sipil. Tapi, dia juga menaruh minat yang besar pada kajian Islam. Sejak tinggal di Kota Dublin, Irlandia, Syahrur melihat bahwa kajian Islam berada di titik nadir. Itu karena, menurut dia, kajian Islam kian terbelenggu oleh dikotomi nalar Sunni dan Mu’tazilah, serta paradigma fiqih klasik.
Dalam bukunya yang berjudul 'The Qur’an, Morality, and Critical Reason (2009), Syahrur menyebut bahwa sejarah terdiri dari dua babak. Pertama, era kenabian yang segala sesuatunya telah terberi. Kedua, era setelah nabi yang terus berlangsung hingga detik ini.
“Umat manusia tak lagi membutuhkan nabi dan rasul. Itu karena, manusia telah dewasa. Tanpa intervensi langsung dari Tuhan, manusia dapat mengeksplorasi hukum alam semesta dengan penuh percaya diri,” tulis Syahrur.
Pemikiran utama Syahrur itu disandarkan pada konsepnya mengenai God’s Limit. Konsep itu ia hasilkan saat mengajar tentang bagaimana cara membuat konstruksi jalan yang menggunakan konsep limitasi maksimal dan minimal.
ADVERTISEMENT
Bagi Syahrur, selalu ada limit (batas) pada segala sesuatu. Termasuk, dalam pesan Tuhan yang selalu terbatas pada ruang dan waktu. Karena terbatas, maka akan ada hubungan dialektis antara pesan universal Tuhan dengan zaman yang selalu berubah.
Konsekuensinya, hukum yang berada pada zaman Nabi bersifat temporal, selalu terikat pada ruang dan waktu yang terjadi pada saat itu. Lantaran temporal, manusia memiliki ruang untuk berijtihad terhadap teks yang tak lagi relevan di masa kini.
Konsep God’s Limit yang digagasnya itu terbilang cukup rumit. Untuk menempuh konklusi semacam itu, ia menggunakan analisis matamatika Newton. Ia banyak bicara persamaan matematis, hingga akhirnya mencetuskan bahwa ada enam model wilayah ijtihad di dalam Islam.
Sederhananya, Syahrur memodelkan wilayah ijtihadnya dengan persamaan Y=f(x) untuk satu variable perubah dan Y= f(x,z) untuk dua variable perubah. Dalam aplikasi teorinya itu, muncul bentuk kurva sumbu Y (garis vertikal) melambangkan perkembangan hukum yang selalu dinamis, sedangkan sumbu X (garis horizontal) melambangkan waktu atau konteks sejarah hukum itu diterapkan. Ia juga membuat titik kordinat (O) sebagai lambang awal diutusnya Nabi Muhammad.
ADVERTISEMENT
Melalui cara sepe rti itu, Syahrur merumuskan batas apa saja yang bisa dilakukan ijtihad, dan apa saja yang tak bisa. Melalui jalan itu pula, Syahrur ingin membongkar apa yang selama ini dianggap sudah final dalam hukum Islam.
Milkul Yamin dan Kontroversinya
Satu dari seikian banyak hal yang Syahrur risaukan adalah konsep milkul yamin atau kepemilikan budak. Menurut dia, ayat tentang itu harus direkontekstulaisasi agar tak mati secara historis. Sejak era tuan-budak tak lagi ada karena HAM, ayat tersebut harus dipahami secara lebih esensial.
Syahrur menunjukkan, pada dasarnya ayat tentang milkul yamin berbicara tentang hubungan kelamin. Ia melihat bahwa relasi seksual itu sejak awal diciptakan untuk melampiaskan nafsu seksual. Oleh sebab itu, konsep milkul yamin ia pahami sebagai aqdul ihshan (komitmen hubungan seksual) di era kontemporer.
Klaim Syahrur tentang milkul yamin itu sejalan dengan teori limitnya mengenai kasus zina yang dilakukan secara tertutup. Bagi Syahrur, publik tidak berhak untuk memvonis mereka yang berzina dengan tidak terang-terangan. Dia berpendapat, hal itu adalah ranah relasi pelaku dengan Tuhannya.
ADVERTISEMENT
Pada tataran ini, Syahrur juga tidak mempermasalahkan adanya prostitusi, karena prositusi dilakukan di tempat tertutup, atau hubungan gelap. Dengan pijakan teori had al-a’la (batas maksimal), hubungan badan karena adanya komitmen bisa masuk batas maksimal ketika diketahui oleh orang lain atau dilakukan secara terang-terangan.
Sesuai dengan teori limitnya, seseorang yang menjalin hubungan seksual atau komitmen hubungan di luar nikah tidak bisa diberi hukuman selama tidak ada empat saksi yang menyaksikannya secara langsung. Bahkan ia mengatakan, hubungan intim sesama jenis pun (homosexual intercourse), bisa tidak mendapat hukuman selama para pelaku tidak melakukan hubungan seks di depan publik.
“Alquran itu diam tentang hubungan homoseksual di ruang pribadi. Namun, hubungan homoseksual di depan umum akan dituntut,” kata Syahrur.
Elaborasi Syahrur ini pun mendapat pertentangan dari para ulama tradisonal. Dalam buku berjudul ‘Konfigurasi Fiqih Poligini Kontemporer: Kritik Terhadap Paham Ortodoksi Perkawinan Poligini di Indonesia’ (2014) yang ditulis Wakum Sumitro dkk, disebutkan bahwa sedikitnya ada 15 buku di dunia yang menentang pemikiran Syahrur.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kesempatan pula, Syahrur dianggap sebagai antek barat yang memusuhi Islam. Karya-karyanya bahkan dilarang beredar di negara Arab Saudi, Mesir, Qatar, hingga Uni Emirat Arab (UEA).
Meski demikian, Syahrur mendapat apresiasi dari pemerintahan Oman, sejumlah negara Eropa dan Amerika. Kiprah Syahrur yang berani menciptakan tafsir yang menentang tradisi begitu dikagumi oleh Dunia Barat.
Peter Clark, dalam jurnalnya berjudul ‘The Shahrur Phenomenon: a Liberal Islamic Voice from Syria’ bahkan menyandingkan pemikir Islam besar lainnya seperti Muhammed Abeed Al-Jabiri (Maroko), Nashr Hamid Abu Zaid, dan Farag Foudah (Mesir).
Kritis atas Pemikiran Syahrur
Di Indonesia, salah satu pemikir yang bersebrangan dengan Syahrur adalah Quraish Shihab. Dalam tafsir Al-Misbah, sebagaimana ditunjukkan Nurhadi, konsep tentang milkul yamin diterjemahkan secara lebih hati-hati.
ADVERTISEMENT
Menurut Quraish, konteks ditirunkannya milkul yamin terkait fenomena perbudakan yang tengah lumrah di masa itu. Alquran, kata dia, justru berpretensi untuk menghapus perbudakan tersebut.
Apabila budak dinikahi sesama budak, anak yang terlahir juga akan tetap menjadi budak. Kondisi demikian akan terhenti ketika tuan mengawini budaknya. Anak yang terlahir dari hubungan intim tuan-budak akan menjadi merdeka.
Kala perbudakan lenyap, itu bukan berarti ayat-ayat tentang milkul yamin yang disinggung Syahrur menjadi tak berguna. Sebaliknya, menurut Quraish, Alquran telah menyediakan dua ayat yang mengantisipasi hal tersebut. Yakni dalam surat Al-Mu‟imun ayat 5-6.
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,.."
Melalui ayat itu pula, ditegaskan bahwa berhubungan badan tanpa melalui ikatan pernikahan adalah sesuatu yang tak diperbolehkan.
ADVERTISEMENT