Muhammadiyah Usul Sistem Pemilu Proporsional Tertutup atau Terbuka-Terbatas

2 Januari 2023 2:35 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy'ari yang menyebut partai politik perlu mengantisipasi perubahan sistem pemilu karena sistem proporsional terbuka sedang digugat ke MK, menuai protes dari parpol. Sebab, seolah KPU menyuarakan proporsional tertutup.
ADVERTISEMENT
Proporsional terbuka adalah pemilih mencoblos caleg seperti yang berlaku saat ini. Sementara proporsional tertutup pemilih hanya mencoblos parpol, caleg yang masuk parlemen ditentukan parpol.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menganggap sistem pemilu proporsional terbuka bermasalah sehingga perlu dievaluasi.
Ia menilai sistem proporsional terbuka menimbulkan praktik politik uang hingga persaingan tidak sehat antara para calon anggota legislatif.
“Cenderung masyarakat itu memilih figur yang populer dan bermodal, sehingga kekuatan uang memang terasa begitu dominan,” kata dia usai peresmian Paud ‘Aisyiyah 2 Bumirejo, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (31/12), dikutip dari website Muhammadiyah, Minggu (2/1).
Ia berpandangan sistem proporsional terbuka menjadikan peran partai politik melemah karena tidak bisa menominasikan kadernya untuk menjadi anggota legislatif.
ADVERTISEMENT
“Selain itu, polarisasi politik yang sangat serius. Persaingan menimbulkan politik identitas, yang kadang-kadang dilandasi sentimen-sentimen primordial, baik primordialisme keagamaan, kesukuan, atau kedaerahan,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, Muhammadiyah menawarkan dua opsi sistem pemilu alternatif. Pertama, sistem proporsional tertutup. Menurut dia, usulan sistem proporsional tertutup ini telah disampaikan Muhammadiyah sejak Tanwir Muhammadiyah 2014 di Samarinda.
Ilustrasi pemilu. Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP
Sistem ini, kata dia, membuat pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat.
“Misalnya, partai politik dapat satu kursi. Maka, yang jadi otomatis [kandidat] nomor 1. Sehingga, mereka [kandidat lain] yang di [nomor urut] bawahnya tidak akan memaksa diri untuk jadi [anggota legislatif],” jelasnya
Lalu yang kedua, sistem proporsional terbuka-terbatas. Mu’ti menyebut sistem ini menetapkan kandidat terpilih mengikuti perolehan suara.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, dari sejumlah kandidat dalam satu partai politik, calon terpilih adalah yang suaranya memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP).
BPP adalah total suara sah perolehan suara semua partai politik di suatu dapil lalu dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil.
Sebagai contoh, total suara sah semua parpol di dapil A adalah 100.000. Kursi yang diperebutkan 10. Maka, BPP adalah 100.000÷10 = 10.000.
Caleg terpilih adalah caleg yang dapat 10.000 di partai yang dapat kursi. Kalau tidak ada yang dapat sesuai BPP maka kembali ke nomor urut. Sistem itu yang berlaku di tahun 2004.
Kalau 2009, bila BPP tidak terpenuhi maka diberikan ke yang dapat 30% BPP. Kalau tidak ada yang memenuhi maka diberikan berbasis nomor urut.
ADVERTISEMENT