Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mungkinkah Citayam Fashion Week Akan Menjadi The Next Harajuku?
19 Juli 2022 18:34 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Tren ABG Citayam yang nongkrong di kawasan Dukuh Atas-Sudirman, Jakarta Pusat, terus menuai perhatian publik. Terlebih ada Citayam Fashion Week, acara fesyen di jalanan yang jadi ajang mejeng anak-anak SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok).
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, pemandangan di Dukuh Atas itu mirip dengan Harajuku, sebuah pusat fesyen ikonik di Distrik Shibuya, Tokyo. Baik yang di Tokyo maupun yang di Jakarta itu dinilai sama-sama bebas mengekspresikan dirinya masing-masing.
Coba saja lihat video di atas. Para ABG bergaya kantoran sampai memadukan rok tulle pink dengan celana hitam. Mereka terlihat bebas mengekspresikan fesyen masing-masing. Video yang ditonton lebih dari 7,7 juta kali itu juga memperlihatkan penonton yang berjubel di sepanjang jalan.
Street Fashion dan Harajuku
Street fashion sendiri merujuk pada gaya yang digunakan orang-orang kreatif sebagai bentuk ekspresi diri atau nilai pribadi individu. Di Jepang, khususnya Tokyo, street fashion sebenarnya sudah muncul sejak enam dekade lalu saat kaum muda menyatakan protes atas Perang Vietnam. Saat itu, gaya pemberontak yang ‘bebas’ menjadi inspirasi berpakaian.
ADVERTISEMENT
Kawasan Harajuku mulanya dibangun sebagai kawasan penting yang menghubungkan kota Tokyo dengan wilayah sekelilingnya. Akses bepergian pun kian mudah seiring dengan dibangunnya Stasiun JR Harajuku pada tahun 1906.
Stasiun tersebut merupakan bagian dari perluasan jalur kereta api Yamanote. Uniknya, Harajuku bukanlah sebuah alamat resmi, melainkan nama kawasan yang umum digunakan.
Daerah itu mulai jadi tempat nongkrong kelompok alternatif sejak Olimpiade Musim Panas Tokyo tahun 1964. Pada tahun 1970-an, berbagai pusat perbelanjaan dibangun di kawasan ini.
Kawasan tersebut juga dihuni oleh orang-orang asing dari zaman pendudukan Sekutu usai perang di Jepang. Harajuku lantas menjelma jadi pusat busana percampuran budaya Jepang dan Barat.
Hasilnya, Harajuku dikenal sebagai kawasan street fashion. Di sana orang bisa berekspresi sebebas mungkin yang jauh dari gaya berpakaian pada umumnya. Tak ada yang mencibir kalau Anda pakai wig warna pink neon atau aksesoris ‘aneh’. Definisi berpakaian ‘normal’ pun bergeser jadi lebih nyentrik dan ‘radikal’.
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 1977-1998, jalan utama Harajuku, yakni Omotesando mendeklarasikan hoko ten atau surga pejalan kaki. Praktis, kendaraan bermotor pun dilarang lewat pada hari Minggu. Kala itu, muncul grup dance takenoko zoku dengan tampilan jubah warna terang berkilau dan aksesoris murah seperti peluit plastik, kalung mutiara palsu, boneka binatang yang dipasang di pakaian, serta sepatu kung fu.
Mereka biasanya nongkrong di Taman Yoyogi selama berjam-jam. Penampilan nyentrik ini langsung menyita perhatian turis dan jadi daya tarik tersendiri. Tren ini juga mengawali fesyen Harajuku yang kita kenal sekarang.
Selain jalan Omotesando yang terkenal, salah satu jalan di Harajuku, yakni Takeshita juga dipadati anak muda setiap akhir pekan. Mereka datang dengan dandanan dan fesyen yang sangat beragam.
ADVERTISEMENT
Harajuku berkembang bukan hanya sebagai pusat ikon fesyen saja, melainkan sekaligus jadi tempat percampuran budaya mainstream dan subkultur. Tujuannya, tentu tak jauh-jauh dari mempromosikan Jepang sebagai daerah pariwisata dan mendongkrak pendapatan daerah.
Gaya berpakaian yang muncul di Harajuku ini bisa disebut aomoji kei (ao=biru; moji=huruf/karakter, kei=sistem/grup). Aomoji kei ini merupakan kebalikan dari fesyen mainstream yaitu akamoji kei.
Esensi dari aomoji kei adalah mengenakan pakaian apa pun yang Anda suka, tak peduli tren atau cara pandang masyarakat. Makanya, fesyen yang dikenakan tampak lebih kreatif, bebas, dan menjadi media untuk mengekspresikan diri.
Hal lain yang tak kalah penting soal Harajuku adalah perkembangan musik. Tren gaya Lolita, yakni percampuran dari fesyen klasik Eropa, subkultur punk dari Barat, serta aksen kawaii (imut) ala Jepang, menjadi ikon bagi sejumlah grup musik di Jepang, misalnya pada band Die Milch.
ADVERTISEMENT
Sejumlah acara mode, seperti Harajuku Fashionalism turut berkembang di daerah tersebut. Tak cuma fashion show, acara-acara musik yang berhubungan dengan fesyen pun ikut digelar. Para musisi, dengan gaya nyentriknya, juga tampil di catwalk layaknya model.
Nah, praktik gaya Harajuku ini dapat kita lihat di Citayam Fashion Week yang sedang ngetren. Para remaja dari berbagai daerah datang dengan fesyen nyentriknya masing-masing sebagai bentuk ekspresi diri. Malah, banyak yang ajak bikin konten TikTok “Berapa harga outfit lu?” hingga viral di media sosial.
Hal inilah yang awalnya bikin sosok Roy, Jeje, Bonge, Kurma, dan kawan-kawannya tenar. Mereka termasuk orang pertama yang meramaikan tren Citayam Fashion Week di TikTok. Ini bermula ketika salah satu konten kreator TikTok mewawancarai mereka dan menanyakan maksud kedatangannya di Dukuh Atas.
ADVERTISEMENT
Setelah viral, kawasan Dukuh Atas pun kian ramai oleh ABG-ABG SCBD alias Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok, dan sekitarnya. Alhasil, Roy, Jeje, Bonge, dan Kurma makin terkenal dan jadi panutan mode warganet.
Lantas, apakah menurutmu Citayam Fashion Week akan menjadi The Next Harajuku? Yuk tuliskan komentarmu di bawah ini.