Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Penurunan tanah di Jakarta nyata terjadi. Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, kecepatannya mencapai 12 sampai 18 sentimeter per tahun, akibat penggunaan berlebihan air tanah oleh masyarakat Jakarta.
ADVERTISEMENT
Penurunan tanah itu, tergambar dari kondisi Museum Bahari yang terletak Jalan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Kondisi tersebut saya temui saat melakukan kunjungan bersama rombongan, dalam acara BPDB DKI yang bertajuk “Jelajah Jejak Gempa Batavia”, Sabtu (25/2).
Museum Bahari merupakan bagian dari bangunan yang pada zaman Belanda digunakan untuk menyimpan hasil bumi, seperti rempah-rempah yang merupakan komoditi utama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Bangunan ini terdiri dari dua sisi. Sisi barat disebut Gudang Barat (Westzijdsch pakhueizen). Lokasinya berada di Jalan Pasar Ikan, berdiri di samping muara Sungai Ciliwung. Sisi lainnya yakni Gudang Timur (Oosjzijdsch Pakhuizen) yang berada di Jalan Tongkol.
Gudang barat terdiri dari empat unit bangunan, tiga di antaranya yang sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
ADVERTISEMENT
Usia museum ini sudah lebih dari 3,5 abad. Dibangun secara bertahap mulai tahun 1652 hingga 1771. Tembok yang mengelilingi Museum ini merupakan pembatas Kota Batavia pada zaman Belanda. Seiring berjalannya waktu, gedung ini sempat digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang logistik Jepang.
Setelah kemerdekaan, bangunan ini dipakai oleh PLN dan PTT sebagai gudang, selanjutnya dipugar kembali pada tahun 1976. Pada tahun 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari.
Museum ini menjadi bangunan yang menunjukkan dampak penurunan tanah signifikan. Saat masuk saya langsung disambut dengan pintu museum yang tampak sangat pendek dan terlihat dipotong setengahnya.
Pemandu museum, Firman, menunjukkan retakan yang ada di ubin di lantai satu bangunan. Retakan ini juga diduga akibat pergerakan tanah. Penelitian masih dilakukan hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
“Bukan karena gempanya ya, tapi karena ada pergerakan tanah. Nah ini yang masih diteliti sama tim ahli cagar budaya dan mereka pun masih belum tahu. Tapi dinding tetap kokoh, tak ada retak atau ada apa. Tapi ubin yang retak,” jelas Firman sambil menyusuri retakan yang menghiasi ruang pameran pelayaran yang persis di seberang loket tiket Museum Bahari.
Firman memandu saya menyusuri ruangan yang ada di museum. Menunjukkan satu tempat dari pilar-pilar penyangga bangunan yang tertanam, dalam kondisi tergenangi air.
Pihak museum menjelaskan bahwa air-air yang ada di bawah pilar tersebut menunjukkan level muka air tanah di kawasan tersebut. Air yang menggenang seperti kolam di bawah pilar tersebut dapat naik atau surut, tergantung dari musim hingga kondisi pasang di laut Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Jadi tanah di Museum Bahari ini tanahnya sudah ditinggikan hampir 1,5 meter, sekitar 120 cm. Air yang di sini menandakan titik muka air tanah. Air di sekitar sini kalau terjadi hujan airnya akan naik juga karena hujan dari gerakan tanah, nyimpen air, nah dia akan naik juga,” jelas Firman.
“Pun sama ketika ada banjir rob. Kalau laut lagi naik, di sini juga naik. Nah kita juga akan melihat jalan, di mana jalan itu sudah ditinggikan lagi dari tingginya lantai museum,” lanjutnya, menjelaskan kondisi penurunan tanah di sekitar museum.
Setelah dari area penanda air tanah tersebut, saya dan rombongan diperlihatkan kondisi permukaan lantai museum yang jauh berbeda dengan kondisi di jalan bagian luar museum.
ADVERTISEMENT
Perbedaan tersebut tidak terlalu disadari apabila hanya dilihat dari luar. Padahal jika memperhatikan dari jalan di luar ke dalam Museum, pengunjung perlu turun sekitar 4 anak tangga. Area museum sudah lebih rendah dari lingkungan di sekitarnya.
Tur pun diakhiri di tembok asli dari Kota Batavia saat masih dikenal dengan City Wall. Dari posisi tersebut, terlihat Menara Syahbandar. Menara setinggi 18 meter yang pernah menjadi titik nol kota Jakarta.
Menara tersebut terlihat miring. Lagi-lagi diduga akibat penurunan muka tanah.
Dalam laporan kumparanplus berjudul 'Menanti Jakarta Tenggelam' yang tayang Desember 2020, tanah Jakarta memang ambles pelan-pelan. Dalam sepuluh tahun terakhir tanah Jakarta Utara turun 2,5 meter. Angka tersebut, menurut penelitian tim geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), disebabkan utamanya oleh penyedotan air tanah Jakarta yang berlebihan.
ADVERTISEMENT