Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pikiran Ayu kalut. Dua garis biru terlihat jelas pada test pack yang diam-diam ia beli sepulang dari puskesmas di kawasan Jakarta Selatan, akhir 2017. Alat deteksi kehamilan itu mengindikasikan bahwa Ayu hamil . Padahal, semula ibu Ayu mengira putrinya sakit asam lambung lantaran mual dan muntah-muntah.
Tak seperti perempuan pada umumnya yang mengidam-idamkan kehamilan, Ayu sama sekali tidak ingin hamil. Jelas tidak. Ia belum menikah dan masih 20 tahun, usia muda yang secara definisi dikategorikan sebagai remaja (remaja tahap awal 12–15 tahun, remaja tahap menengah 15–18 tahun, dan remaja tahap akhir 18–21 tahun).
Ya, Ayu hamil di luar nikah. Usia kandungannya sudah 5 bulan. Dan janin itu adalah hasil hubungannya yang kebablasan dengan sang pacar.
Meski Ayu menutup rapat-rapat kehamilannya, perubahan fisik perempuan hamil adalah keniscayaan. Adalah sepupunya yang pertama kali menyadari perut Ayu yang terus membesar. Kasak-kusuk soal kehamilan Ayu pun tersebar di keluarganya.
Ayu berkata akan dinikahi kekasihnya. Namun ibu dan kedua kakak lelakinya tak setuju. Mereka bahkan melarang Ayu bertemu kekasihnya. Keluarga amat khawatir dengan masa depan Ayu karena kekasihnya belum punya pekerjaan tetap.
Lebih parah lagi, kekasih Ayu yang duda itu ternyata punya satu anak lain yang ndilalah juga hasil hubungan di luar nikah.
“Sempat mau digugurin [janinku sama keluarga]. Setelah USG di dokter kandungan di RS, aku disuruh keluar [dari ruang periksa] sama sepupuku. Ternyata mereka di dalam konsultasi, ‘Ini kalau digugurin gimana?’ Kata dokter risikonya besar karena usia kehamilan sudah jalan 6 bulan,” kata Ayu kepada kumparan di Jakarta, Jumat (21/7). Ia meminta namanya disamarkan.
Keluarga Ayu kembali cari akal. Ayu sempat mendengar perbincangan bahwa setelah lahir anaknya akan diberikan kepada seseorang di Bogor. Ayu tak terima dan menemui kekasihnya diam-diam. Kekasihnya berjanji akan menikahi Ayu setelah anak mereka lahir. Pada momen inilah hubungan Ayu dengan ibu serta kedua kakak lelakinya memburuk.
Ayu menjalani masa kehamilan dalam kesendirian. Ia merasa dikurung di kamarnya di lantai 2. Saat Lebaran, Ayu bahkan ditinggal sendirian di rumah. Ayu stres. Ia kerap melamun dan menangis. Nafsu makannya jadi berantakan, padahal ada janin di perut yang harus diberi asupan gizi.
Kehamilan Ayu menjadi aib bagi keluarganya yang merupakan tokoh masyarakat di lingkungannya. Ayu dilarang keluar rumah kecuali untuk memeriksakan kandungan.
Walau Ayu tak mempersoalkan bila ketahuan tetangga hamil di luar nikah, keluarganya tak demikian. Mereka tak mau tetangga sampai tahu aib keluarga.
“[Keluar rumah] harus pakai jaket gede buat nutupin perut. Terus aku kan naik motor, itu harus buru-buru jalan, jadi kayak maling,” kata Ayu.
Sang jabang bayi lahir pada Juni 2018. Ia laki-laki. Empat bulan kemudian, Oktober 2018, Ayu menikah dengan kekasihnya.
Nahas, saat mengurus dokumen kependudukan, Ayu baru tahu bahwa nama ayah sang anak tak bisa tercantum di akta kelahiran putranya—meski ayah dan ibu si anak akhirnya menikah.
“Di KK (kartu keluarga) juga sama… Enggak ada nama ayahnya. Bikin miris,” ucap Ayu.
Belum lagi, menikah dalam kondisi tak ideal membuat kehidupan rumah tangga Ayu pasang surut. Ia dan suaminya tinggal di rumah kontrakan, namun sempat pisah ranjang berbulan-bulan karena sang suami tak bisa menafkahinya. Alih-alih memberi nafkah, suami Ayu menumpuk utang gegara main judi slot.
“Ada titik ketika aku sama sekali enggak megang uang. Anakku kelaparan mau makan, air galon habis, token listrik bunyi,” ujar Ayu mengenang masa menyedihkan dalam hidupnya.
Di tengah krisis itu, Ayu kabur dari rumah kontrakan membawa anaknya. Ia pulang ke rumah orang tuanya. Di kemudian hari, suami Ayu tersadar dari candu judi. Namun pemasukannya belum menentu hingga kini.
Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, ibu dan salah satu kakak Ayu bersedia menerima Ayu dan anaknya. Hubungan mereka membaik.
Remaja Hamil di Luar Nikah Ada Puluhan Ribu Per Tahun
Prahara hamil di luar nikah seperti yang dialami Ayu merupakan fenomena gunung es di Indonesia. Jumlah remaja hamil di luar nikah mencapai puluhan ribu setiap tahunnya. Umur mereka bahkan banyak yang lebih muda dari Ayu, masih usia sekolah.
Angka puluhan ribu itu terlihat dari permohonan dispensasi nikah yang dikabulkan Pengadilan Agama. Dispensasi nikah adalah kelonggaran hukum bagi mereka yang tidak memenuhi syarat sah perkawinan, dalam hal ini belum mencapai batas usia yang ditetapkan oleh pemerintah untuk bisa menikah sesuai UU Perkawinan.
Permohonan dispensasi nikah diajukan oleh orang tua/wali dari anak yang ingin menikah atau dinikahkan namun usianya belum 19 tahun seperti disyaratkan pada UU Perkawinan.
Berdasarkan data Komnas Perempuan yang didapat dari Badan Peradilan Agama, angka permohonan dispensasi nikah yang dikabulkan hakim pada 2020 mencapai lebih dari 64 ribu.
Data terbaru pada 2022 menunjukkan dispensasi nikah yang dikabulkan hakim mencapai 52.338, dengan angka tertinggi berasal dari Jawa Timur, sebanyak 29,4% atau 15 ribu.
Salah satu kasus yang sempat bikin geger adalah dispensasi menikah dini untuk 191 anak di Ponorogo yang sebagian besar alasannya karena hamil di luar nikah. Mereka mayoritas berusia 15–19 tahun. Bahkan, 7 anak di antaranya belum berusia 15 tahun.
“Ini fakta yang memprihatinkan. Ribuan anak remaja hamil di luar nikah, dan supaya sah [bisa menikah] meminta dispensasi,” kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait di kantornya, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Hamil di luar nikah merupakan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Merujuk data Guttmacher Institute, LSM yang mempromosikan peningkatan kesehatan seksual, angka KTD di Indonesia pada perempuan berusia 15-49 tahun mencapai 40% dari total kehamilan per tahunnya yang mencapai sekitar 4,8 juta.
Sebanyak 40% KTD dari 4,8 juta kehamilan itu, separuhnya berakhir dengan aborsi.
Walau begitu, tak semua angka kehamilan tidak diinginkan disebabkan oleh kasus hamil di luar nikah. Ada pula KTD yang dialami pasangan menikah. Biasanya, mereka “kebobolan” sehingga hamil lagi meski tidak berencana menambah anak karena berbagai alasan, misalnya karena sudah punya cukup banyak anak, atau usia si perempuan yang tak lagi muda sehingga risikonya tinggi bila mengandung.
Pun begitu, angka kehamilan di luar nikah yang melibatkan remaja tak bisa diabaikan karena naik drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan, 80% dari permohonan dispensasi nikah terjadi karena kasus hamil di luar nikah. Artinya, jika setiap tahun angka dispensasi nikah di atas 50.000, maka jumlah remaja perempuan di bawah 19 tahun yang hamil di luar nikah mencapai 40.000 orang.
“Mereka (Pengadilan Agama) menyampaikan, 80% di antaranya karena hamil duluan. Jadi bagaimana tidak dikasih dispensasi? [Jadi dilematis karena] di satu sisi kami ingin spiritnya untuk jangan menikah dini, tapi di sisi lain dikasih dispensasi [untuk menikah karena terlanjur hamil],” ujar Kepala BKKBN Hasto Wardoyo kepada kumparan, Kamis (20/7).
Remaja Berhubungan Seks Lebih Dini, Hati-Hati
Angka dispensasi menikah dini meningkat tajam sejak 2020. Menurut Hasto, angka itu melonjak karena ada perubahan batas usia minimal perempuan menikah dalam UU Perkawinan, dari 16 tahun dalam UU No. 1 Tahun 1974 menjadi 19 tahun—sama seperti pria—dalam UU No. 16 Tahun 2019 yang merevisi aturan sebelumnya.
Selain itu, BKKBN menyoroti pergeseran usia saat kali pertama remaja berhubungan seks, dari 21 tahun pada 2008 (dialami sekitar 60% remaja pada masa itu) menjadi 16–17 tahun saat ini (dialami 60% remaja kini).
Hasto merinci, pada 2008 atau 15 tahun lalu itu, proporsi remaja yang pertama kali berhubungan seks pada usia 21 tahun sebanyak 60%, usia 23 tahun ke atas sebanyak 20%, dan di bawah 21 tahun sebanyak 20%.
Kala itu, rata-rata perempuan menikah di usia 21 tahun. Ini usia yang ideal menurut BKKBN karena pada usia ini, perempuan dianggap telah siap secara mental dan fisik sehingga mampu berpikir dewasa dan menimbang segala sesuatunya dengan matang.
Namun sekarang terjadi pergeseran usia. Proporsi remaja yang pertama kali berhubungan seks pada usia 19–20 tahun sebanyak 20%, usia 16–17 tahun bahkan sebanyak 60%, dan ada pula pada usia 14–15 tahun sebanyak 20%.
Meski usia remaja yang pertama kali berhubungan seks lebih maju (dini), namun usia rata-rata perempuan menikah saat ini mundur ke 22 tahun.
BKKBN dan Komnas Perempuan menilai kasus puluhan ribu remaja hamil di luar nikah terjadi karena beberapa faktor. Pertama, emosi seksual remaja yang tidak terkontrol.
Hasto menjelaskan, sisi emosional seksual pria dari pandangan, sedangkan wanita dari rabaan. Masalahnya, dengan gaya berpacaraan remaja yang semakin berani di era medsos saat ini, emosi seksual mereka pun lebih sulit dibendung.
“Dulu surat-menyurat, hati berdebar-debar. Kalau sekarang sudah enggak ngefek. Yang paling ngefek ketika boncengan bareng, pegang-pegangan, bahkan sampai ciuman,” ucap Hasto.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor berpendapat, konselor sekolah dan orang tua perlu berperan aktif dalam mengontrol hasrat seksual remaja yang sedang tinggi-tingginya. Caranya bisa dengan mengajak anak berolahraga atau berkegiatan fisik.
“Anak dibuat capek, jangan ada waktu untuk dia bengong nonton video porno atau berimajinasi berhubungan seks. Orang tua juga harus memotivasi anaknya supaya punya cita-cita tinggi, sehingga hasrat seksual bisa tereduksi,” ucap Maria.
Faktor kedua yang memengaruhi peningkatan kasus remaja hamil di luar nikah adalah keterbukaan informasi di media sosial, utamanya konten-konten vulgar yang makin marak dan turut andil mendorong hasrat seksual remaja.
Maria menceritakan pengalamannya tahun 2012 saat masih menjadi komisioner di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketika itu ia pernah menangani kasus pesta seks anak. Kasus itu disebabkan sekelompok anak laki-laki dan perempuan yang menonton video porno bersama-sama, kemudian mempraktikkannya.
“Seperti euforia. Sehabis nemu sesuatu [yang baru] terus coba-coba meniru adegan yang sama persis seperti yang dia tonton,” kata Maria.
Ia menyarankan agar Kementerian Komunikasi dan Informatika lebih rutin memblokir konten-konten berbau pornografi. Selain itu, tentu saja orang tua perlu berperan aktif dalam mengawasi dan mendampingi anak ketika berinternet.
Faktor berikutnya adalah rendahnya pengetahuan seks. Meski remaja perlu mendapat edukasi seks yang cukup agar tahu risiko-risiko pergaulan bebas, nyatanya pendidikan seks kerap dianggap tabu.
Hasto menekankan, pendidikan seks bukanlah edukasi tentang cara berhubungan seks, tetapi agar remaja laki-laki dan perempuan mengenal dan menjaga organ reproduksinya demi kesehatan mereka di masa depan.
“Seluruh jurnal internasional menyimpulkan bahwa semakin melek informasi tentang kesehatan reproduksi, maka semakin dia tidak menyalahgunakan organ reproduksi,” kata Hasto.
Faktor terakhir ialah pola asuh orang tua. Dari pengamatan Maria selama ini, mayoritas remaja yang hamil di luar nikah cenderung kurang dekat dengan orang tua atau keluarganya. Padahal seharusnya orang tua menjadi tempat pertama bagi anak untuk menceritakan keluh kesahnya dan mendapatkan bimbingan.
“Keluarga harus menjadi sahabat anak. Kalau [anak] mendapat godaan, diberikan pengertian, bukan larangan,” kata Arist.
Yang kemudian banyak terjadi, anak lebih nyaman bercerita kepada teman-temannya. Malahan, sebagian orang tua ada yang mendorong anak remaja mereka untuk menikah dini dengan alasan menghindari zina.
“Orang tua khawatir terjadi perzinaan, kemudian malah dikawinkan dengan pacarnya. Artinya sama dengan menjerumuskan anak. Harusnya dekaplah anak itu supaya menjadi lebih terbuka, lebih menghargai dirinya, lebih punya cita-cita. Solusinya bukan menikah, tapi memiliki mimpi sekolah sampai tingkat tertinggi,” terang Maria.
Remaja Hamil Tinggi Risiko, dari KDRT sampai Kematian
Kehamilan remaja, khususnya usia 15–19 tahun, berdampak negatif pada kesehatan dia dan janinnya. Risiko jangka pendeknya ialah terkena anemia. Ini karena tubuh remaja perempuan belum siap secara fisik untuk mengandung sehingga ia bisa kekurangan darah. Akibatnya, plasenta janin pun menipis.
“Kalau plasenta tipis, akhirnya anaknya jadi kecil sehingga stunting,” ucap Hasto yang juga dokter spesialis obgyn.
Sementara dampak jangka menengahnya lebih fatal, yakni dapat menyebabkan kematian saat persalinan. Ini karena diameter kepala bayi yang baru lahir umumnya 9,6–9,9 cm, sedangkan diameter tulang panggul wanita baru mencapai 10 cm pada usia 20 tahun. Artinya, jika persalinan dialami remaja berusia 15–19 tahun, bayi bisa lebih susah keluar dan berisiko merobek lebar mulut rahim.
“Kalau umurnya baru 15–16 tahun, mau melahirkan kepala bayinya tidak bisa lewat karena diameter panggulnya belum 10 cm. Akhirnya macet dan sering terjadi kematian bayi. Kalau lahir pun kepala bayi peang dan bayinya enggak sehat. Kemudian robekan mulut rahim juga sering mengakibatkan pendarahan dan kematian ibu,” jelas Hasto.
Dampak jangka panjang dari kehamilan masa remaja adalah osteoporosis dini. Remaja usia 15–19 tahun seharusnya masih bisa lebih panjang dan padat pertumbuhan tulangnya. Namun karena hamil, pertumbuhan tulangnya terganggu.
“Sehingga ketika nanti berumur 50 tahun, saat menopause, tulang cepat keropos, pegal-pegal, linu karena osteoporosis. Kalau kepeleset di kamar mandi tulangnya mudah patah. Yang salah bukan karena kamar mandi licin atau istri tidak hati-hati, tetapi suami yang menghamili ketika istri masih terlalu muda,” kata Hasto.
Selain dampak buruk secara fisik, kehamilan remaja juga berimbas secara psikis. Komnas Perempuan kerap menerima aduan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung perceraian dari remaja yang terpaksa menikah karena hamil duluan.
“Pada umumnya yang terjadi adalah KDRT. Sama-sama masih memiliki ketergantungan tetapi harus bertanggung jawab [kepada keluarga]. Mereka belum siap. Perbedaan faktor sosial dan relasi kuasa juga membuat perempuan dianggap subordinat, menjadi objek kekerasan seksual,” ujar Maria.
Bila pun sang perempuan memilih untuk tidak menikah dengan lelaki yang menghamilinya, alias menjadi single parent, ia akan rentan mengalami diskriminasi, sebab kondisi sosial di Indonesia masih memegang budaya patriarki.
Adapun bagi sang anak, dalam akta kelahirannya hanya tercatat sebagai anak ibunya, tanpa dicantumkan nama ayah biologisnya. Konsekuensinya, anak tak bisa mendapatkan hak pengasuhan, pendidikan, dan nafkah dari ayahnya.
“Secara hukum, anak tidak mendapat perlindungan dari ayahnya. Dia juga tidak bisa mengeklaim kepada ayahnya karena tidak jelas identitas ayahnya secara biologis. Jadi risikonya mencakup fisik, psikis, sosial, dan hukum,” kata Maria.
Pendidikan Seks Perlu Jadi Ekstrakurikuler Wajib
BKKBN dan Komnas Perempuan menekankan perlunya memberikan pendidikan seks sedari dini untuk mencegah kehamilan remaja. Untuk murid SMP dan SMA misalnya perlu diterangkan bahaya berhubungan intim pada usia 15–17 tahun.
Pada usia tersebut, mulut rahim perempuan masih menghadap keluar (ektropion). Jika terjadi penetrasi, maka sekitar 15–20 tahun kemudian, bisa menimbulkan kanker mulut rahim atau kanker serviks. Pengetahuan ini penting bagi remaja perempuan karena mulut rahim baru menutup sempurna (entropion) pada usia 20 tahun.
“Makanya di Indonesia kanker mulut rahim peringkat kedua [kasus kanker tertinggi pada perempuan]. Peringkat kesatu kanker payudara,” jelas Hasto.
Ia pun mengusulkan untuk memasukkan pendidikan seks ke dalam ekstrakulikuler wajib seperti Pramuka, bila tidak bisa dimasukkan sebagai intrakurikuler.
“Namanya tidak usah pendidikan seks, bisa jadi pendidikan kesehatan reproduksi, sehingga yang dibicarakan tentang organ reproduksi,” kata Hasto.
Harapan Hasto tampaknya masih jauh panggang dari api. Plt. Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek Zulfikri Anas menyatakan pendidikan seks masih dianggap tabu di masyarakat. Alhasil, belum secara eksplisit dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal di Indonesia.
Meski demikian, Zulkifri menyatakan pendidikan seks sudah masuk secara implisit pada beberapa mata pelajaran intrakurikuler seperti IPA, IPS, Biologi, PJOK (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan), Agama, dan Pancasila.
“Penguatan dalam intrakurikuler antara lain dengan memuat materi tentang perilaku hidup sehat, bagaimana menjaga diri, serta memahami dampak fisikal, psikologis, ekonomi, dan sosial dari perilaku seks yang berimbas pada kehamilan di luar nikah,” ujar Zulkifri, Januari lalu.
Ayu, sebagai perempuan yang hamil di luar nikah saat masih muda, berpesan kepada para remaja, khususnya perempuan, agar tidak kebablasan dalam berpacaran, agar jangan mudah terbawa hawa nafsu hanya karena alasan klise: cinta.