Napas Budaya Jawa di Selatan Pasifik: Dari Nyadran hingga Tahlilan

2 Mei 2018 11:53 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bawa aku ke pantaimu kekasih hati, pulau idamanku….ajak aku ke pantaimu,” nyanyi seorang warga Kaledonia Baru dalam panggung pagelaran budaya di Kaledonia Baru.
ADVERTISEMENT
Saat ini masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru sudah memasuki generasi kelima dan keempat. Mereka pun sudah bercampur baur dengan kelompok masyarakat lain di Kaledonia Baru. Meski hidup di lingkungan begitu plural, masyarakat keturunan Jawa di sana tetap fasih berbahasa Jawa.
Dengan sesama komunitasnya, masyarakat keturunan ini berdialog dalam Bahasa Jawa. Namun, bila sudah berbaur dengan masyarakat lain, mereka berbincang dengan Bahasa Prancis. Ya, mereka harus menggunakan bahasa tersebut karena merupakan bahasa nasional di sana. Kaledonia Baru sendiri hingga saat ini tercatat sebagai wilayah negara Prancis yang berada di Pasifik.
Masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru (Foto: Dok. Widyarka Ryananta)
Meski begitu, nuansa Jawa di Kaledonia Baru tetap begitu terasa. Orang-orang Jawa di sana walau hidup berkilo-kilo meter jauh dari tempat asal, tetap melestarikan budaya aslinya. Bahkan, oleh keturunan mereka saat ini, budaya tersebut masih dilestarikan, salah satunya adalah Nyadran.
ADVERTISEMENT
“Keturunan mereka sudah generasi keempat kelima itu, masih melestarikan tradisi yang di buku ini juga saya tulis, yang dinamakan Nyadran,” sebut Widyarka Ryananta, Konsul Jenderal RI di Kaledonia Baru tahun 2014-2017, sekaligus penulis buku ‘Jejak Orang Jawa di New Caledonia’, kepada kumparan (kumparan.com) saat ditemui di kediamannya Jumat (27/4).
Widyarka Ryananta, Konjen RI untuk Kaledonia Baru. (Foto: Tomy W Utomo/ kumparan)
Dari asal usul katanya, Nydaran berasal dari Bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya keyakinan. Setiap menjelang puasa Ramadan, masyarakat Jawa biasa datang ke makam leluhurnya dan kemudian berdoa. Di Indonesia, umumnya tradisi ini dilakukan oleh umat muslim. Namun, di Kaledonia Baru ada potret berbeda yang unik dari pelaksanaan tradisi Nyadran.
“Di sana karena keturunan kita sudah kawin campur dengan komunitas lain bahkan mereka ikut dengan pihak suaminya dan sebagiannya mereka berpindah agama. Tapi satu hal yang menarik di Nyadran itu, selesai membersihkan makam bersama-sama, setelah Pak kiai berdoa secara Islam, dilanjutkan doa secara Katolik (agama mayoritas di Kaledonia Baru),” cerita Widyarka.
Masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru (Foto: Dok. Widyarka Ryananta)
Selain Nyadran, Widyarka bercerita bahwa masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru juga masih melaksanakan tahlilan untuk memperingati meninggalnya seseorang.
ADVERTISEMENT
“Di Tanah Air kita mungkin mengenal setelah seorang meninggal ada 7 harian, 40 hari, 100 hari, sampai 1.000 hari. Dan itu masih ada yang melestarikan. Itu mayoritas banyak yang justru sudah keturunan keempat, kelima,” ungkap Widyarka.
“Saya diundang oleh salah seorang keturunan kita di sana bahkan yang setahu saya beliau tidak menjalankan syariat Islam. Tapi karena itu pesan dari istilah beliau waktu itu neneknya bahwa kamu harus melakukan itu ya diikuti,” lanjut Widyarka.
Dalam tahlilan kala itu, banyak masyarakat keturunan Jawa diundang untuk hadir. Sebelum tahlilan dilaksanakan, masyarakat keturunan itu juga melaksanakan berbagai persiapan yang dinamakan rewang.
Biar pun masyarakat keturunan Jawa ini tinggal berjauhan, itu bukalah halangan untuk hadir Rewang. Mereka saat ini sudah banyak yang memiliki kendaraan seperti mobil. Jumlahnya pun tak hanya satu dua, bahkan bisa tiga buah.
ADVERTISEMENT
“Tapi keinginan untuk saling membantu ini yang luar biasa. Mereka datang rewang. Mereka datang dengan membawa sumbangan materi bahkan natura (semacam beras, gula dan lain-lain) macam-macam. Ya ini bentuk satu keguyuban di antara mereka ya kan,” kata Widyarka.
Hasil kesenian masyarakat Kaledonia Baru. (Foto: Tomy W Utomo/ kumparan)
Widyarka kemudian menambahkan, dia sempat melihat pemandangan unik saat diundang tahlilan. Di salah satu acara 100 hari kematian tersebut, didatangkanlah semua anak cucunya. Ada yang berwajah bule dan ada juga yang hitam.
“Jadi anak dari yang ngundang saya ini kawin dengan berbagai komunitas yang lain, yang dengan komunitas kita tidak ada. Kebanyakan komunitas putih Eropa sama ada juga yang dari Kanak (penduduk asli Kaledonia Baru). Mereka hanya melihat kita yang sedang tahlil itu dari balik jendela gitu kayak nonton gitu. Karena mereka sendiri enggak menjalani,” terang Widyarka.
ADVERTISEMENT
“Tapi mereka datang ya karena itu perintah gitu istilahnya dari para nenek moyang mereka,” tambah Widyarka.
Tradisi Nyadran Ruwah (Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin)
Saat tahlilan dilaksanakan, para anak cucu itu diperkenalkan kepada tamu undangan yang hadir. Berbagai hidangan pun disajikan untuk para tamu undangan selama acara.
“Makanan tradisi yang zaman kita sekarang mungkin sudah berkurang di Tanah Air kita. Di sana masih ada ingkung, masih ada jenang abang, jenang putih dengan segala macam kelengkapannya yang luar biasa,” sebut Widyarka.
Makanan tradisional Jawa di Kaledonia Baru (Foto: Dok. Widyarka Ryananta)
Setelah puja-puji doa berakhir, satu persatu tamu kemudian diberikan berkat, semacam, kotak atau besek makanan yang lazim diberikan orang Jawa kepada para tamu yang telah datang ke acara mereka.
Mendapati pengalaman tersebut, Widyarka kala itu, sebagai wakil pemerintah RI di Kaledonia Baru begitu tersentuh. Ya, masyarakat keturunan Jawa itu hidup jauh berkilo-kilometer dari tanah leluhur, tetapi mereka masih menjalankan tradisi.
ADVERTISEMENT
Di samping nyadran dan tahlilan, masyarakat Jawa di Kaledonia Baru juga terkenal senang bersilaturahmi satu sama lain. Salah satu wujud silaturahmi yang dilakukan saat ini adalah dalam bentuk arisan.
“Arisan itu diikuti baik yang keturunan yang lahir di sana maupun yang dari pendatang. Nah dalam pertemuan itu mereka biasanya bawa potluck, bawa makanan macam-macam. Makanan dari makanan Jawa sampai makanan campuran Prancis dan semua. Nah tidak lupa mereka bawa kue,” kenang Widyarka yang pernah sekali dua kali diundang dalam arisan masyarakat keturunan Jawa.
Masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru (Foto: Dok. Widyarka Ryananta)
Dalam arisan tersebut kadang di antara mereka ada yang ulang tahun. Saat itu pasti ada ritual tiup lilin dan potong kue. Dalam momen itu, seringkali terdengar ucapan Bahasa Jawa yang dicampur dengan Bahasa Prancis dan hal itu hanya ada di Kaledonia Baru.
ADVERTISEMENT
“Jadi potong kuenya jadi, kue itu Bahasa Prancisnya adalah gâteau, potong adalah coupé, Jadi gâteau-ne di-coupé ya, gâteau-ne kan kuenya dipotong,” ucap Widyarka sembari tertawa mengenangnya.