Narasi Wabah dalam Sejarah Ibadah Umat Islam

8 Januari 2021 11:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bubonic black death. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bubonic black death. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Gagasan tentang protokol kesehatan di rumah ibadah merupakan hal yang lumrah untuk saat ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah menerbitkan Fatwa Nomor 14 tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin dalam fatwa itu membolehkan seseorang meninggalkan salat Jumat di masjid. Dengan ketentuan apabila wilayah itu memiliki potensi penularan virus corona yang tinggi.
Di ranah global, kebijakan serupa juga telah dilakukan. Di Singapura, misalnya, ada fatwa tentang izin penutupan masjid dan penangguhan Salat Jumat. Sementara itu, Arab Saudi memutuskan untuk memangkas khotbah Jumat menjadi hanya 15 menit.
Umat Islam bersiap melakukan ibadah salat Jumat dengan menerapkan jaga jarak fisik di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Jumat (11/9/2020). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Sementara itu, sebuah komunitas muslim di Finlandia memiliki cara tersendiri untuk beribadah di tengah pandemi. Imam Ramil Belyaev mengajak jemaahnya untuk salat Jumat secara online. Menurut dia, itu adalah solusi bagi umat Islam yang menganggap Jumatan sebagai sebuah kewajiban.
Meski demikian, kesadaran tentang pentingnya menjaga protokol kesehatan tidak terjadi sejak dulu. Sejarah menunjukkan bahwa umat Islam pernah menyikapi wabah secara berbeda. Itu terjadi saat wabah Black Death delapan abad lalu.
ADVERTISEMENT
Begini kisahnya.

Dari Damaskus ke Ottoman

Black Death merupakan wabah yang menyebabkan kulit penderita menghitam. Penyakit mengerikan itu disebabkan bakteri Yersinia pestis yang diduga disebarkan oleh lalat. Lebih dari sepertiga penduduk Eropa tewas akibat wabah tersebut. Wabah ini melanda benua biru itu pada pertengahan abad ke-14.
Sebuah lukisan yang mengilustrasikan sebuah wabah di London, Inggris Foto: Getty Images/Hulton Archive
Dalam perjalanannya, wabah itu tiba di Timur Tengah. Damaskus adalah salah satu kota yang terdampak. Dikutip dari orias.berkeley.edu, sejarawan Ibnu Battuta mencatat korban tewas di Damaskus mencapai 2 ribu orang per hari.
Saat wabah terjadi di Damaskus, pemerintah setempat tak melarang orang untuk berkerumun. Kala itu, otoritas ulama di Damaskus justru menyerukan publik untuk lebih rajin beribadah. Itu yang membuat masjid-masjid di Damaskus justru penuh sesak.
ADVERTISEMENT
Dilansir themaydan.com, ada keterangan dari sejarawan Ibnu Kathir akan mengapa kerumunan itu bisa terjadi. Menurut kesaksiannya, ada sebuah peristiwa khusus bagaimana Black Death mulai menyatukan kota dan menciptakan rasa spiritualitas baru. Peristiwa itu terjadi saat penguasa meminta warga Damaskus untuk berpuasa tiga hari dan keluar pada hari Jumat. Perintah itu diserukan pada 21 Juli 1348.
Selama tiga hari berikutnya, kata Ibnu Khatir, orang-orang mulai berpuasa dan tidur di masjid. Persis seperti yang dilakukan selama bulan Ramadhan. Mereka berdoa kepada Allah untuk mengangkat penyakit menular itu dari kota mereka.
Suasana Kota Damaskus Foto: Matthew Daniels/REUTERS
Pada setiap Jumat, penduduk kota berbondong-bondong ke masjid. Membuat sebuah kerumunan yang tak hanya diisi oleh orang Islam. Tetapi juga ada orang Yahudi dan Kristen.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, orang tua, anak-anak, orang miskin, penguasa, tokoh dan hakim juga hadir pada pertemuan itu. Masjid berfungsi sebagai situs lintas iman. Mereka berdoa kepada Allah sampai matahari terbit.
Situasi tak jauh beda juga dialami di wilayah kekaisaran Ottoman. Di sana, jumlah korban tewas bahkan lebih banyak lagi, yaitu mencapai 3 ribu orang per hari. Wabah Black Death membuat orang-orang Turki hampir kehilangan harapan.
Namun di bawah kepemimpinan sultan pertama Ottoman, Selim I, keputusasaan itu diubah menjadi satu kekuatan spiritual. Selim I memandang wabah bukanlah murka Allah kepada umat Islam. Tetapi kebutuhan manusia untuk memuji Allah dalam doa bersama. Kerumunan atas nama iman pun kembali terjadi.
Hagia Sophia, Turki. Foto: Ozan Kose/AFP
Dalam tesis berjudul The Black Death in Early Ottoman Terrirories: 1347:1550 (2009), Giselle Marien mengutip kesaksian pelancong Turki Evliya Çelebi. Berdasarkan kesaksian Çelebi, Selim I disebut menginstruksikan warganya untuk datang ke Masjid Hagia Sophia untuk berdoa. Lautan manusia pun tak terhindarkan di masjid itu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pemerintahan Ottoman juga disebut tak berbuat apa-apa selama pandemi. Tidak ada kebijakan seperti karantina/isolasi atau bahkan jaga jarak sekalipun yang diterapkan. Pemerintah sepenuhnya mempercayakan wabah ini kepada pemuka agama.

Belajar dari Sejarah Masa Lalu

Sejarawan AS Michael W. Dols dalam The Comparative Communal Responses Tothe Black Death in Muslim And Christian Societies menyebut ada tiga faktor mengapa umat Islam di masa lalu pasrah menerima keadaan.
Pertama, wabah dianggap rahmat dari Tuhan dan kemartiran bagi Muslim yang beriman. Kedua, seorang Muslim tidak boleh masuk atau melarikan diri dari negeri yang terkena wabah. Ketiga, tidak ada penularan wabah karena penyakit datang langsung dari Tuhan.
Meski demikian, ini bukan berarti seluruh umat Islam pada saat itu pasrah menerima keadaan. Salah seorang ahli hadist terkemuka, Ibnu Hajar al-Asqalany, justru menentang adanya kerumunan di tempat ibadah.
Ilustrasi masjid. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Ibnu Hajar al-Asqalany merupakan ulama dari mazhab syafi’i. Dia lahir pada 18 Februari 1372 di Kairo, Mesir. Ibnu Hajar menjadi saksi bagaimana mengerikannya wabah Black Death. Dia pun menulis buku berjudul Bażl al-ūn fi Fadhli al-Thāun. Isinya berupa sejarah Black Death dan pandangan dia terhadap wabah tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal berjudul Kredibilitas Hadis dalam COVID-19:Studi atas Bażl al-ūn fi Fadhli al-Thāun (2020) yang ditulis Saifuddin Zuhri Qudsi dan Ahmad Sholahuddin, pandangan Ibnu Hajar cukup revolusioner. Pandangan-pandangannya sesuai dengan protokol kesehatan modern.
Dikisahkan bahwa warga Damaskus berkumpul di padang pasir. Mereka melakukan salat istighosah menolak pandemi. Ibnu Hajar pun diajak untuk datang ke acara tersebut.
Namun Ibnu Hajar menolak undangan itu. Dia memilih berdiam diri di rumah. Dalam bukunya, Ibnu Hajar mencatat bahwa mulanya korban tewas adalah 200 orang per hari. Tapi kerumunan itu membuat korban tewas menjadi seribu orang per hari.
Tiga putri dari Ibnu Hajar sendiri meninggal karena wabah. Mereka adalah Fatimah, Aliyah, dan Zin Khatun. Itulah mengapa Ibnu Hajar tak ingin ada korban lainnya. Dari Ibnu Hajarlah kita belajar tentang protokol kesehatan di rumah ibadah.
ADVERTISEMENT
****