news-card-video
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Navayo Minta Aset Pemerintah RI di Paris Disita Terkait Orbit 123, Yusril Protes

20 Maret 2025 16:21 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jumpa pers Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, terkait polemik slot satelit 123 derajat bujur timur, Kamis (20/3/2025). Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jumpa pers Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, terkait polemik slot satelit 123 derajat bujur timur, Kamis (20/3/2025). Foto: Jonathan Devin/kumparan
ADVERTISEMENT
Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, melayangkan protesnya terkait upaya penyitaan sejumlah aset milik Pemerintah Indonesia di Paris oleh Navayo International.
ADVERTISEMENT
Penyitaan ini terkait putusan Arbitrase Singapura yang memutus Kemhan membayar USD 24.152.855,23 kepada Navayo terkait pengadaan satelit untuk slot satelit orbit 123 derajat bujur timur.
Karena Indonesia tak kunjung membayarkannya, Navayo kemudian permohonan eksekusi sita ke Pengadilan Paris terkait penyitaan aset Pemerintah Indonesia di Paris pada 5 Desember 2022.
Hingga akhirnya, pada 4 Maret 2024, Pengadilan Prancis memberikan kewenangan penyitaan itu ke Navayo.
"Persoalan ini adalah perusahaan yang serius bagi kita, karena kita kalah di forum arbitrase negara lain, dan kita harus menghormati putusan pengadilan," ujar Yusril dalam jumpa pers, Kamis (20/3).
Yusril mengatakan, Indonesia akan melakukan sejumlah upaya untuk menghambat proses penyitaan tersebut. Pasalnya, penyitaan ini telah melanggar Konvensi Wina.
ADVERTISEMENT
"Karena itu menyalahi Konvensi WINA untuk pelindungan terhadap aset diplomatik yang tidak boleh disita begitu saja dengan alasan apa pun. Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh Pengadilan Prancis tapi pihak kita tetap akan melakukan satu upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi," tegas Yusril.
Untuk membahas proses penyitaan itu juga, Yusril akan menemui langsung Menteri Kehakiman Prancis saat menghadiri Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) 2025 di Paris pada 28 Maret mendatang.
"Masalah ini juga menjadi satu agenda agar menjadi perhatian bagi Pemerintah Prancis. Oleh karena bisa menjadi preseden di seluruh dunia ketika terjadi dispute dengan satu perusahaan swasta, lantas kemudian oleh pengadilan negara tertentu kemudian diberikan kesempatan untuk melakukan penyitaan terhadap aset-aset yang sebetulnya dilindungi oleh konvensi tentang aset diplomatik," tutur dia.
ADVERTISEMENT

Polemik Slot Orbit 123

Perkara ini berawal saat terjadi kekosongan dalam di slot orbit 123 derajat BT usai Satelit Garuda 1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Satelit Garuda 1 telah merampungkan tugasnya selama 15 tahun, sejak diluncurkan pada 12 Februari 2000.
Saat itu, Satelit Garuda dioperasikan oleh AceS, perusahaan internasional yang dimiliki bersama oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Lockheed Martin Global Telecommunication (LMGT), Phillippine Long Distance Company (PLDT) dan Jasmine Internasional Public Company Ltd. Satelit ini mengorbit di atas langit Sulawesi.
Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Kemhan kemudian mengajukan hak pengelolaan atas slot orbit satelit 123 derajat BT tersebut. Program yang dibawa Kemhan bernama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Untuk mengisi kekosongan sementara, Kemhan mengadakan kontrak sewa satelit floater (satelit sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications Ltd untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat BT. Akhirnya Avanti menempatkan Satelit Artemis pada orbit 123 derajat BT pada November 2016.
Avanti dan Navayo menggugat Kemhan ke Pengadilan Arbitrase internasional terkait kontrak. Kemhan pun divonis membayar Rp 515 miliar plus USD 20.901.209 (sekitar Rp 298 miliar) atas putusan pengadilan.