Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Abdul Rayan masih 16 tahun saat ia ditahan dalam satu sel bersama pembunuh berdarah dingin, bandar narkoba, dan narapidana kasus kriminal kelas berat lainnya di penjara Australia pada tahun 2009. Setelah tiga kali menjalani sidang, Rayan dinyatakan bersalah atas tuduhan penyelundupan penyelundupan imigran gelap dan divonis dengan hukuman 5 tahun penjara.
Erwin Prayoga (15) setahun lebih muda dari Rayan, ditahan di penjara Hakea dan Albany, di Australia Barat setelah tertangkap pada tahun 2009. Saat dalam masa tahanan Erwin menderita sakit di bagian perut, sempat diberikan perawatan dan menjalani operasi, kemudian Erwin dipulangkan dengan alasan terbukti masih usia anak.
Erwin pulang, diantar sampai Bali, masih ratusan kilometer dari kampung halamannya di pedalaman Rote, Nusa Tenggara Timur. Ternyata saat dipulangkan, Erwin belum benar-benar sembuh, siang malam mengerang kesakitan. Hingga meninggal beberapa minggu kemudian.
Tahun 2010, Demus Ndoen (17) ditahan dari penjara ke penjara, dua penjara maximum security Parklea dan Silverwater, hingga sebuah penjara bawah tanah yang tidak pernah ia tahu nama dan lokasinya.
Dipenjara itu Demus diperlakukan sebagai napi dewasa. Dijebloskan ke dalam sel dengan tangan terborgol, pernah satu sel dengan pembunuh berantai, dikurung 3 hari 3 malam di dalam sel yang dilengkapi kamera CCTV, sampai dimasukan dalam sel bawah tanah saat musim dingin.
“Mengerikan, otak saya terasa tertekan terus,” kata Demus bercerita kepada kumparan, Minggu (25/8). Satu tahun penuh Demus dipenjara sampai kemudian pengadilan memutuskan ia tidak bersalah. Walau begitu, hingga kini pengalaman pahit itu masih melekat “sejak saat itu saya tidak mau ke laut lagi, trauma, bisa mati saya,” tutur Demus sambil bergidik.
Sandi (14) ditangkap di perbatasan Australia pada tahun 2011 dan ditahan selama 2 tahun di detensi imigrasi Pulau Christmas dan Darwin. Di Darwin tangan kanannya patah, hanya sekali dibawa ke rumah sakit, jika rasa sakitnya datang ia hanya menelan pill bulat putih bertuliskan ‘panadol’.
Hasto (16) ditahan di detensi imigrasi Australia di Pulau Chrismast dan di Darwin. Berbulan-bulan tanpa kepastian, hingga depresi dan mencoba bunuh diri.
Ada ratusan anak lainnya tertimpa kasus serupa. Menurut laporan Komisi HAM Australia (AHRC) berjudul An Age of Uncertainty yang dirilis pada tanggal 27 Juli 2012 di Sydney, pemerintah Australia memenjarakan lebih dari 180 anak Indonesia dalam kurun waktu 2008-2011. Beberapa diperlakukan secara kasar dan bahkan mendapat pelecehan seksual.
Banyak dari mereka telah melalui masa panjang di tahanan imigrasi tanpa dakwaan ada mendekam di penjara dewasa menunggu masa sidang. Beberapa dari anak-anak tersebut telah menjalani masa penahanan lama di fasilitas-fasilitas penjara dewasa di Australia setelah didakwa dan dalam beberapa kasus setelah diputus bersalah sebagai orang dewasa yang telah melakukan penyelundupan manusia.
Proses pengadilan
Anak-anak Indonesia di penjara Australia ini tanpa perlindungan hukum yang jelas dan tanpa kekuatan untuk membantu mereka membuktikan bahwa mereka masih anak-anak.
Keberadaan anak Indonesia di penjara Australia pertama kali diketahui Colin Singer. Colin saat itu adalah seorang relawan yang memiliki akses untuk mengunjungi penjara secara berkala (Independent Prison Visitor) yang bekerja sama dengan Inspektur Sipir, Prof Neil Morgan.
Saat itu, 27 April 2010, Colin mengunjungi penjara Hakea di Australia Barat. Colin bertemu dengan Rayan dan Erwin. Saat pertama kali melihatnya Colin langsung mengetahui bahwa mereka ini masih dibawah umur.
Colin lalu langsung menghubungi ED Syarief Syamsuri sebagai Konsul Jenderal di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Perth. Mereka kemudian bertemu pada Jumat (30/4/2010) di kantor KJRI Perth.
“I said, they are very young kids. they are scared and I think you should send someone to the prison,” tutur Colin kepada kumparan Senin (11/8) di The Westin Jakarta., ia menirukan bagaimana dia bebincang dengan Syarief.
Selanjutnya Colin merasa kecewa dengan respon KJRI di Perth yang dinilainya lamban. Ia lantas memunculkan kasus ini kepada awak media sehingga kabar ini berhasil menyita perhatian publik di Australia.
Dalam catatan resmi yang dipegang Colin, Pemerintah Indonesia pertama kali mengontak penjara di Australia adalah April 2011, satu tahun setelah Colin membawa kabar ini langsung ke kantornya.
Pelaksana harian Dirjen perlindungan WNI Judha Nugraha mengatakan bahwa negara sudah melakukan tugasnya untuk memberikan perlindungan pada warganya yang mengalami masalah di luar negeri. Pemerintah telah melakukan pendekatan hukum sesuai aturan setempat yang berlaku dan perkara telah diselesaikan dengan baik.
“Artinya kita sudah bisa mengintervensi sesuai aturan hukum setempat. Kita prioritaskan mereka untuk kita bebaskan dan kita pulangkan. Dan itu semua sudah selesai, sudah kembali,” tutur Judha.
Mengenai kelambatan KJRI dalam merespons informasi yang mereka terima soal keberadaan anak Indonesia di penjara Australia, Judha tidak bisa menjelaskan lebih lanjut dan detail. Dia mengatakan kasus itu sudah lama berlalu. Sementara saat kasus berjalan, dia belum menjabat dan menangani kasus ini langsung.
Pemerintah Federal Australia diduga telah melakukan kesalahan dengan memenjarakan anak-anak di bawah umur. Alasannya, bagi pemerintah Australia mereka adalah laki-laki dewasa menurut pengukuran usia melalui metodologi X-ray pergelangan tangan.
Masalahnya adalah pengecekan usia dengan menggunakan X-ray ini adalah sistem dan teknik yang telah usang. Sempat digunakan di masa Perang Dunia II, metode ini kemudian ditolak oleh berbagai dokter ahli bedah, ilmuwan, dan pengadilan di Eropa.
Dalam laporannya, Komnasham Australia menuliskan bahwa beberapa instansi seperti Royal Australia and New Zealand College of Radiologists; Kelompok Endokrin Pediatrik Australasia; dan Divisi Pediatri, Royal Australasian College of Physician, menyatakan pandangan bahwa teknik ini tidak dapat diandalkan dan tidak dapat dipercaya.
“It was a crank science,” kata Mark Plunkett kepada kumparan dalam sambungan telepon Skype, Kamis (29/8). Mark Plunkett adalah pengacara yang mengawal kebebasan empat ABK anak Indonesia asal Rote, NTT.
Menurut Plunkett AFP mempercayai bahwa anak-anak ini pasti berbohong soal usia mereka. Apalagi tubuh mereka kelihatan kekar dengan tangan yang kasar karena telah hidup dalam kemiskinan dan bekerja sejak belia.
“So the people making the decision have their bias,” tutur Plunkett.
Plunkett mengatakan dia dan timnya mampu membawa data-data yang menyatakan mereka adalah anak-anak. Dokumen tersebut diambil saat mendatangi Plunkett mengunjungi kampung halaman anak-anak tersebut di NTT. Baginya, polisi bisa melakukan verifikasi itu dengan lebih mudah dan lebih cepat sehingga anak-anak tak perlu lama mendekam di penjara. Hal tersebut menurutnya telah merenggut hak asasi manusia mereka (hak akan kebebasan).
Saat mendatangi kampung halaman anak-anak ini, tim mereka menanyakan kepada imam masjid di sana apakah ada pihak Australia yang pernah datang untuk menanyakan usia kliennya. Jawabannya, tidak pernah.
“Polisi tidak melakukan kontak apapun dengan orang tua korban, itu perbuatan yang sangat tidak bertanggung jawab,” kata Plunkett dalam kesempatannya bicara di rapat komite referensi hukum konstitusi yang dilakukan pemerintah Australia atas kasus penahanan pada anak-anak Indonesia ini, Jumat (24/8/2012).
Atas kesalahan besar yang dilakukan oleh Pemerintah Australia beberapa rekomendasi dan masukan dari Komite, salah satunya adalah permintaan maaf secara publik dan pemberian kompensasi kepada tahanan yang ternyata terbukti anak-anak.
Plunkett mengatakan parlemen Australia pada tahun 2009 meminta maaf atas perlakuan terhadap anak-anak yang dilecehkan antara 1920-an dan 1970-an dan membuat janji serius untuk tidak membiarkan kejadian serupa terulang. Tetapi beberapa tahun berikutnya, hal ini malah terjadi pada anak-anak indonesia.
“Noda memalukan pada reputasi Australia tidak akan dibersihkan sampai Australia membuat permintaan maaf serupa untuk anak-anak ini, kepada orang tua mereka dan untuk Indonesia. Saya tidak ragu bahwa klaim kompensasi akan ikuti ini,” tegas Plunkett.
Namun pemerintah Australia menolak kedua rekomendasi tersebut. Dengan alasan dalam membuat keputusan tentang investigasi terhadap awak penyelundup manusia, Lembaga Pemerintah Australia bertindak dengan itikad baik pada bukti yang paling dapat diandalkan yang tersedia saat itu.
Di bawah kebijakan pemerintah saat ini, dalam kasus di mana usia tidak dapat ditetapkan dengan jelas. Orang yang sedang diinvestigasi atau dituntut diberikan keuntungan dari keraguan dan dikembalikan ke negara asal mereka tanpa biaya. Mereka bisa jadi sebenarnya sudah usia dewasa, tetapi dikembalikan karena ada keraguan dalam menentukan apakah mereka orang dewasa atau anak di bawah umur.
“Lagi pula menaksir usia seseorang adalah hal sulit. Orang dengan mudah berbohong dan mengaku anak-anak,” jawabnya dalam dokumen Australian Government response to the State Legal and Constitutional Affairs References Committee report , Desember 2012.
Pemerintah Australia juga menolak beberapa rekomendasi antara lain, untuk membuka data dan me-review kembali kasus ini untuk mengetahui jumlah total anak-anak yang telah ditahan secara tidak benar termasuk berapa lama masa tahanan mereka.
Dalam hal ini pemerintah Australia menolak dengan alasan pada Mei 2012, Jaksa Agung telah mengumumkan peninjauan terhadap kasus ini sebagai masalah pada tahap tertentu selama masa investigasi dan/atau penuntutan. Mereka juga menyebut total pemerintah Australia telah meninjau 28 kasus yang ditemukan oleh Komnas HAM Australia, Pemerintah Indonesia, dan CDPP.
Sampai saat ini belum ada data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia maupun KBRI di Canberra mengenai jumlah anak-anak Indonesia yang ditahan di penjara dewasa Australia . Privacy Act selalu dijadikan alasan atas ketiadaan database tahanan-tahanan WNI di Australia.
Erwin yang pulang membawa luka lalu mati beberapa minggu setelahnya, Sandi yang patah tangan dan hanya diobati ‘panadol’, Iwan yang pulang dengan sambungan ring di tulang punggungnya dan setelah bertahun-tahun tak pernah cukup mampu untuk membayar operasi. Mereka menanggung malang seorang diri setelah lepas dari jeruji besi, tanpa permintaan maaf apalagi kompensasi atas ketidakadilan yang dialami.