Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Nestapa Perempuan Korban Perang Sudan: Diperkosa Tentara Bahkan di Rumah Sendiri
7 Juni 2023 11:47 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Seiring dengan berlangsungnya pertempuran berdarah di Sudan yang menewaskan ribuan orang, kekerasan seksual terhadap perempuan pun merajalela.
ADVERTISEMENT
Kaum perempuan dari segala usia — baik mereka yang masih di bawah umur hingga seorang ibu sekalipun merasa tidak aman akibat mengerikannya situasi di negara Afrika Utara itu.
Menurut laporan AFP pada Rabu (7/6), perang Sudan yang berawal sejak pertengahan Mei ini telah merenggut sedikitnya 1.800 nyawa dan mengakibatkan lebih dari 1,5 juta orang mengungsi dari tempat tinggalnya.
Para penyintas, petugas medis, dan aktivis mengungkapkan kengerian konflik semakin diperparah oleh meluasnya gelombang kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap warga sipil.
Ketika diwawancarai, sebagian besar meminta untuk tidak disebutkan identitas atau juga menggunakan nama samaran lantaran takut keselamatan mereka terancam.
Sebut saja Zeinab, seorang perempuan yang tinggal di Ibu Kota Khartoum. Dia melarikan diri dari tempat tinggalnya yang menjadi titik tempur utama dan berharap untuk menemukan tempat berlindung.
Namun, Zeinab justru mendapati dirinya terdampar di lokasi antah-berantah dengan senapan di dada, sementara seorang tentara paramiliter memperkosanya.
ADVERTISEMENT
Zeinab menceritakan bagaimana dirinya, adik perempuannya, dan dua perempuan lain — salah satunya memiliki anak yang masih bayi, semuanya dilecehkan secara seksual.
Sebulan setelah perang dimulai, kata dia, mereka melarikan diri dari Khartoum dengan sebuah minibus untuk mengungsi.
Namun, minibus tersebut dihentikan di pos pemeriksaan Rapid Support Forces (RSF) — kelompok paramiliter pimpinan Mohamed Hamdan Daglo (Hemedti) yang sampai sekarang berperang dengan tentara nasional Sudan di bawah komando Jenderal Abdul Fattah al-Burhan, Sudanese Armed Forces (SAF).
"Mereka Semua Diperkosa"
Lebih lanjut, dengan rasa ketakutan menggerogoti sekujur tubuh para perempuan malang itu lalu digiring ke sebuah gudang, di mana seorang pria berpakaian sipil memerintahkan Zeinab untuk tiarap di tanah. Menurut Zeinab, pria tersebut adalah komandan yang bertanggung jawab atas kekuasaan di daerah asing itu.
ADVERTISEMENT
“Saya ditindih oleh satu orang sementara yang lain memperkosa saya. Ketika dia selesai, mereka berganti posisi,” ujar Zeinab.
“Mereka ingin membawa saudara perempuan saya bersama mereka. Saya memohon kepada mereka dengan berlutut untuk melepaskannya,” sambung dia.
Zeinab dan adiknya kemudian diizinkan pergi dan melarikan diri ke Kota Madani yang berjarak sangat jauh, sekitar 200 km dari Khartoum. Di sana, mereka melaporkan kekerasan yang menimpa mereka kepada polisi dan pergi ke rumah sakit.
“Tetapi bahkan ketika saya mengajukan laporan polisi, saya tahu tidak akan ada hasilnya. Mereka tidak akan pernah menangkap orang-orang yang melakukan hal ini,” kata Zeinab.
Ketika Zeinab kemudian menceritakan pengalaman pahit yang dia dan adiknya alami, kini mereka menemukan tempat perlindungan di negara lain, lantaran Sudan bukan lagi tempat yang aman untuk tetap bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
“Kami bukanlah orang pertama yang mengalami hal ini, atau yang terakhir,” ujarnya.
Namun, Zeinab bukan satu-satunya penyintas kekerasan traumatis yang menimpa perempuan di Sudan. Menurut seorang pembela hak asasi manusia setempat, Amna, dalam sebuah kasus ada 12 wanita yang dihentikan oleh kelompok bersenjata pada akhir April lalu.
Rombongan wanita tersebut diperintahkan untuk ikut menjarah sebuah gudang. Namun begitu mereka berada di dalam, mereka mendengar pintu dikunci. “Mereka semua diperkosa,” kata Amna.
“Mereka membawa para pria, yang dipaksa oleh para pejuang berseragam RSF untuk memperkosa para wanita itu,” sambung dia.
Amna menambahkan, dia dan para pembela HAM lainnya telah mencatat lebih banyak kasus serupa terjadi di Kota Darfur, dengan korban termuda berusia 14 tahun.
ADVERTISEMENT
Di Rumah Sendiri Bahkan Tidak Aman
Sementara itu, lembaga penelitian Sudanese Women Rights Action (SUWRA) mengatakan dalam kasus lain seorang wanita berusia 30-an di Khartoum juga mengalami hal serupa.
Namun, wanita itu tidak dalam perjalanan ke luar — dia dan anak-anaknya justru sedang berada di rumah sendirian, lalu tiba-tiba terdengar suara tetangga berteriak di lantai bawah.
“Tiga wanita di sana diperkosa beramai-ramai sebelum para pejuang naik ke lantai atas,” kata seorang penyintas kepada SUWRA.
“Empat orang bersenjata mendobrak pintu, dan kemudian salah satu dari mereka mengunci diri di dalam kamar bersamanya,” imbuhnya.
Seorang aktivis lainnya mengatakan, dalam serangan pada bulan lalu tiga tentara menggerebek sebuah rumah di Khartoum. Tentara itu memukuli anak laki-laki, lalu memperkosa ibu dan anak perempuannya.
ADVERTISEMENT
“Tetangga mereka mendengar mereka berteriak selama berjam-jam,” ungkap aktivis tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam satu insiden di Mei lalu, tentara RSF dilaporkan memperkosa seorang gadis remaja berusia 15 tahun di sebuah jalan di Khartoum.
Puluhan perempuan pun telah melaporkan serangan serupa — di rumah mereka, di pinggir jalan, dan di hotel-hotel yang dikuasai sejak perang antara RSF dan SAF meletus. Sebagian besar dari korban selamat mengatakan, mereka diserang oleh para pejuang RSF yang diketahui juga berada di lingkungan perumahan warga.
Pernyataan itu pun dibenarkan oleh Kepala Unit Kepolisian Sulaima Ishaq al-Khalifa. Dalam semua hal kecuali enam kasus, kata al-Khalifa, para penyintas mengidentifikasi para pelaku pemerkosaan mengenakan seragam sipil seperti RSF.
Dia juga menambahkan, selalu ada laporan kekerasan seksual atau pemerkosaan baru setiap harinya. “Kami telah melihat pemerkosaan terhadap gadis-gadis muda dan wanita tua, ibu-ibu dengan anak-anak mereka,” kata al-Khalifa.
ADVERTISEMENT
Unit Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang dibentuk pemerintah telah mendokumentasikan 49 serangan hanya dalam dua minggu pertama perang.
Namun, kenyataan di lapangan diprediksi jauh lebih besar, lantaran tidak semua penyintas melaporkan kejadian pahit yang menimpanya.
“Kasus-kasus yang terdokumentasi, seperti jumlah korban yang lebih luas, kemungkinan besar adalah ‘puncak gunung es’,” ungkap SUWRA.