Banjir bandang di Kabupaten Sukabumi

Nestapa Warga Sukabumi Dihantam Banjir Bandang hingga Longsor

23 Desember 2024 18:01 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jama baru saja pulang berkebun ketika ia melihat warganya berhamburan ke jalanan. Mereka lari kalang kabut dengan wajah cemas. Siang itu, Rabu (4/12), warga Desa Lembur Sawah, Kecamatan Pabuaran, Sukabumi, dikejutkan dengan pergerakan tanah hingga tebing terbelah imbas banjir bandang.
Wilayah itu memang baru saja dilanda hujan lebat selama 2 hari berturut. Bencana itu melanda 3 kampung yaitu Lemburtonggoh, Lemburpondok dan Rawagede dengan total 286 Kepala Keluarga (KK) terdampak.
Jama, yang juga Kepala Desa Lembur Sawah, lantas meminta warganya dievakuasi ke Balai Desa. Total warganya yang mengungsi hingga kini berjumlah ratusan jiwa dan belasan rumah rusak berat.
Menurut Jama, peristiwa pergerakan tanah di desanya bukan kali pertama terjadi. Ia pun mendapat informasi sejak 3 bulan lalu dari Badan Geologi bahwa wilayahnya sudah masuk zona merah pergerakan tanah. Kini, warganya menanti kepastian untuk direlokasi ke wilayah yang aman.
“Warga sudah gak mau [kembali] ke rumahnya masing-masing, apalagi sekarang musim hujan. Mereka masih menunggu di penampungan sampai ada titik kapan direlokasi ke tempat yang baru,” ujar Jama pada kumparan, Kamis (19/12).
Warga menaiki sepeda motor melintasi jalan darurat di jembatan jalur wisata Pelabuhan Ratu - Geopark Ciletuh yang terputus di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (7/12/2024). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
Keinginan untuk direlokasi juga disampaikan langsung oleh para pengungsi, salah satunya Dedah. Saat bencana terjadi, lantai rumah Dedah terangkat dan dindingnya retak-retak.
“Maunya dikasih bangunan lagi, gimana pemerintah saja. Sedihnya masih lama [mengungsi], tapi belum ada bangunan,” ucap Dedah.
Tak cuma di Desa Lembur Sawah atau Kecamatan Pabuaran, hampir seluruh wilayah Kabupaten Sukabumi terkena hantaman banjir bandang hingga tanah longsor pada Rabu (4/12). Tercatat bencana itu melanda 39 kecamatan dan 181 desa di Kabupaten Sukabumi.
Seperti di Desa Datarnangka, Kecamatan Sagaranten, sejumlah bangunan rusak tersapu banjir bandang akibat luapan sungai Cikaso. Dahsyatnya banjir bandang di Sagaranten bahkan sempat viral di media sosial karena membuat beberapa mobil hanyut.
Warga Datarnangka, Cicin (53), mengisahkan banjir yang merendam rumahnya saat itu tingginya mencapai satu meter. Menurut Cicin, banjir itu merupakan bencana terparah selama ia tinggal di sana.
“Sekitar 40 tahun (tinggal di Desa Datarnangka), (banjir) yang besar begini baru sekarang,” keluh Cicin.
Sejumlah warga menyaksikan dampak banjir bandang di Kampung Cieurih, Desa Datarnangka, Sagaranten, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (5/12/2024). Foto: Iman/ANTARA FOTO
Bencana yang menimpa kabupaten di selatan Jawa Barat itu juga berdampak terhadap infrastruktur jalan lintas selatan. Seperti di ruas Baros-Sagaranten, Kecamatan Nyalindung, sejumlah titik amblas.
Pantauan kumparan yang meninjau lokasi dua pekan pasca-bencana, nampak perbaikan kecil sudah dilakukan di jalan penghubung antara Kota Sukabumi dengan Kabupaten Sukabumi di sisi selatan itu. Aspal-aspal yang retak sudah ditambal.
Sementara di wilayah lain yakni Desa Kertajaya dan Desa Loji, Kecamatan Simpenan, banyak rumah warga yang rusak terkena longsor. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi mencatat 86 rumah di dua desa itu rusak berat.
Pantauan kumparan di lokasi pada Jumat (21/12), titik-titik longsoran masih terlihat di sepanjang jalan ruas Kiara Dua-Jampang Kulon. Selain menimbulkan kerusakan, longsor yang terjadi di Kecamatan Simpenan mengakibatkan 5 orang tewas.
Sejumlah personel SAR gabungan membawa kantong berisi jenazah korban bencana longsor saat pencarian di Kampung Cisarakan, Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (7/12/2024). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Warga Desa Loji, Teti (44), bercerita sebelum terjadi bencana, wilayahnya diguyur hujan terus menerus selama tiga hari. Kemudian pada Rabu (4/12) sekitar pukul 11.00 WIB, tanah beserta air dan bebatuan meluncur dari tebing menghantam beberapa rumah. Beruntung penghuninya sudah lebih dulu meninggalkan rumah.
Menurut Teti, longsor memang kerap kali terjadi di daerah tersebut karena banyaknya tebing. Namun longsor hingga menyebabkan kerusakan baru kali ini terjadi.
Selepas kejadian itu, warga pemilik rumah yang hancur serta warga sekitar lokasi memutuskan mengungsi hingga kondisi cuaca benar-benar aman. Di samping itu aktivitas warga masih terhambat karena beberapa jalan masih sulit dilalui sepeda motor, apalagi mobil.
“Kami was-was, longsor sering (terjadi) cuma baru tahun ini baru parah,” ucap Teti.
Sejak bencana terjadi, Pemkab Sukabumi menetapkan status tanggap darurat bencana di 39 kecamatan. Namun kini status tersebut diperpanjang hanya untuk tiga kecamatan yaitu Tegalbuleud, Kalibunder dan Pabuaran. Sedangkan 36 kecamatan lain berstatus transisi darurat ke pemulihan.
Suasana PT Generasi Muda Bersatu (GMB) di Sukabumi, Jawa Barat. Foto: kumparan
Banjir Bandang Imbas Tambang?
Bencana banjir bandang hingga longsor yang menerjang di penghujung tahun membuka fakta bahwa kondisi bentang alam Sukabumi sangat tidak baik-baik saja.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkap sekitar 65 persen hutan di lokasi bencana Sukabumi sudah gundul. Padahal kondisi topografi di Sukabumi mayoritas berbentuk lereng yang cukup curam. Penggundulan hutan diduga terjadi karena aktivitas pertambangan.
"Saya mendapat laporan adanya aktivitas tambang dan kegiatan di kawasan hutan yang tidak ramah lingkungan. Kami akan cek kembali, termasuk pengawasan dan penegakan hukum bila diperlukan," kata Hanif saat meninjau Desa Lembursawah, Minggu (15/12).
Hanif bakal berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Pemprov Jabar, dan Pemkab Sukabumi untuk mengawasi ketat upaya penggundulan hutan. Menurutnya kelestarian lingkungan hidup harus seimbang dengan urusan bisnis.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, melihat tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di Mandala Krida, Kota Yogyakarta, Senin (18/10/2024). Foto: Dok. Kementerian Lingkungan Hidup
Sementara bagi Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, salah satu pemicu utama bencana Sukabumi adalah pembukaan lahan yang besar untuk 3 proyek: program hutan tanaman energi di Kecamatan Waluran; proyek izin tambang di Ciemas dan Simpenan; dan program perhutanan sosial dan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK). Pembukaan lahan untuk tiga program tersebut disinyalir total mencapai 4.200 hektare.
Di samping itu, menurut Wahyudin, wilayah Gunung Guha di Kecamatan Jampangtengah dan kawasan Dano di Kecamatan Cikembar yang biasanya sebagai penyangga, kini sudah terdegradasi dan tak mampu lagi menyerap curah hujan yang tinggi.
Mengenai pembukaan lahan untuk izin tambang, Wahyudin menyebut ada 4 perusahaan yang disinyalir memberikan dampak buruk bagi perubahan bentang alam. Empat perusahaan itu bergerak di penambangan emas atau karst sebagai bahan baku semen. Empat perusahaan itu yakni PT Wilton, PT GMB, PT Clariant, dan PT TSS.
Di luar 4 perusahaan itu, kata Wahyudin, terdapat beberapa perusahaan tambang lain maupun penambangan rakyat yang beroperasi secara ilegal.
“Kawasan yang ditambang itu belum masuk pada wilayah pertambangan atau WP dan para penambang juga tidak memiliki IPR atau Izin Pertambangan Rakyat,” ucap Wahyuddin.
Pembukaan lahan untuk tambang yang diduga menjadi penyebab banjir bandang membuat Polres Sukabumi menggelar penyelidikan dengan memanggil 3 perusahaan. Polisi sejauh ini belum menyebut nama-nama perusahaan yang dipanggil, namun dari informasi yang dihimpun kumparan, ketiga perusahaan itu yakni PT Wilton, PT Generasi Muda Bersatu (GMB), dan PT Golden Pricindo Indah.
PT Wilton berada di Kecamatan Ciemas. Sementara PT GMB dan PT Golden berlokasi di Simpenan yang masih satu kecamatan dengan Teti, warga terdampak longsor.
Suasana PT Generasi Muda Bersatu (GMB) di Sukabumi, Jawa Barat. Foto: kumparan
kumparan mendatangi PT Golden dan PT GMB pada Jumat (20/12) lalu. Dua perusahaan itu rupanya sedang tidak beroperasi di hari itu dengan alasan hujan. Pantauan kumparan, suasana di luar area tambang nampak sepi, hanya ada beberapa penjaga yang siaga.
Kedua perusahaan tambang itu pun membantah bisnisnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan membawa bencana.
Direktur PT GMB, Rusli Beramsyah, mengeklaim operasional perusahaannya yang menambang batu galena sudah sesuai prosedur. Ia menyebut Dinas Lingkungan Hidup Sukabumi, Dinas Pertambangan serta kepolisian sudah mengecek operasional PT GMB. Ia mengaku terbuka apabila perusahaannya bakal dicek ulang.
“Kami meyakini tambang kami tidak mengakibatkan bencana alam masif. Di Kabupaten Sukabumi ada berapa puluh kecamatan, bukan satu titik Ciemas, bukan satu titik Simpenan,” kata Rusli.
Menurut Rusli, PT GMB yang berdiri dari tahun 2006 itu telah menaati seluruh regulasi dan semua aktivitas yang dilakukan telah berizin. Lahan pertambangan pun diklaim bukan berada di atas lahan hutan, melainkan perkebunan teh. Adapun sebelum ditambang PT GMB, area tersebut sebelumnya merupakan area tambang emas liar.
Suasana pertambangan PT Golden Pricindo Indah, Sukabumi, Jawa Barat. Foto: kumparan
Pembelaan senada disampaikan PT Golden yang mengaku sudah mengantongi IUP (Izin Usaha Pertambangan) sejak 2009, kemudian diperpanjang pada 2019 sampai 2029.
Humas PT Golden, Dede Kusdinar, menyatakan izin yang mereka miliki telah sesuai dengan UU Minerba. Dalam UU itu ditegaskan bahwa pertambangan harus mengedepankan dua hal yakni Good Mining Practice dan Sustainable Development. Sedangkan dari izin pertambangan PT Golden seluas 97 hektare, kata Dede, baru sekitar 10 hektare yang digunakan.
“PT Golden tidak berada di wilayah kehutanan atau Perhutani. PT Golden awalnya dari tanah milik masyarakat dan sebagian eks perkebunan Cigaru. Jadi tidak ada kegiatan penebangan hutan, apalagi penggundulan lahan,” ucap Dede.
Dede menyatakan, air dari kegiatan penambangan PT Golden tidak mengalir ke Ciemas yang merupakan lokasi terdampak bencana, melainkan ke sungai Ciseureuh dan bermuara ke Pantai Karang Embe.
Di samping itu, Dede berpandangan terlalu dini apabila muncul tudingan bahwa bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sukabumi merupakan efek tambang.
“Menyikapi isu bahwa bencana yang terjadi, khususnya banjir di wilayah dataran bawah diakibatkan oleh kegiatan penambangan. Menurut kami, itu terlalu dini untuk diambil sebuah kesimpulan,” ucap Dedi.
Petugas mengoperasikan alat berat untuk membersihkan material longsor di Jalan Raya Kiara Dua, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (7/12/2024). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Daerah Aliran Sungai Rusak
Walhi Jabar menyebut terdegradasinya kawasan karena bukaan lahan yang masif membuat sungai-sungai tak mampu menampung debit air. Di samping memang wilayah di sekitar daerah aliran sungai (DAS) juga semakin rusak. DAS yang sudah rusak di antaranya DAS Cimandiri, DAS Cikaso, serta 13 anak sungai lainnya.
“Anak sungai maupun sungainya mengalami kondisi yang sangat kritis. Jadi kalau misalnya ini tidak direspons secara serius oleh pemerintah, maka akumulasi ini tidak akan sampai berhenti, dan bisa saja memunculkan dampak bencana yang lebih besar,” tutur Wahyudin.
Pakar Mitigasi Bencana UPN Veteran Yogya, Prof Eko Teguh Paripurno, menyatakan secara teori apabila kualitas DAS di hulu berkurang, air hujan yang lebat tidak bisa diserap ke tanah dan mengalir ke bawah secara deras. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pemukiman di dataran bawah DAS.
Ia mengusulkan Pemkab Sukabumi dan pemerintah pusat untuk mengecek apakah penurunan kualitas DAS berhubungan dengan kegiatan penambangan.
“Semisal sungai yang ditambang selalu kuning, yang bukan tambang bisa bening, maka tambang harus bertanggung jawab. Sekarang banyak kejadian di tambang upaya pengelolaan risikonya belum direncanakan,” ucap Eko.
Banjir bandang luapan sungai Cikaso di Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi. Foto: Dok. Istimewa
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyebut tutupan lahan DAS di Indonesia untuk menangkap hujan sudah semakin berkurang. Bahkan, menurut Abdul, tutupan lahan DAS di seluruh Indonesia tak ada yang sampai 20 persen. “Sisanya sudah rusak semua,” kata Abdul.
Kondisi ini selaras dengan data yang dimiliki Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASLH) Citarum-Ciliwung. BPDASLH mencatat tutupan lahan di Sungai Cimandiri, salah satu sungai terbesar di Sukabumi, kini luasnya hanya 12 persen.
Di samping itu, kata Abdul, kawasan DAS juga terancam pendangkalan. Dia mencontohkan bencana banjir di Kabupaten Kapuas Hulu awal Januari 2024. Sungai Kapuas memiliki panjang 1.200 km, tetapi ketinggian antara hulu dan hilir hanya 20 meter. Kondisi sungai yang sangat landai inilah yang mengakibatkan banjir terjadi.
Sementara itu Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menyebut sejak awal pihaknya sudah mendeteksi potensi hujan ekstrem lebih dari 150 milimeter di Sukabumi pada awal Desember.
Ia mengatakan hujan hingga angin kencang hanya salah satu faktor yang mempengaruhi bencana alam. Sementara faktor penentunya, kata Guswanto, adalah kualitas lingkungan.
Sejumlah warga menyaksikan dampak banjir bandang di Kampung Cieurih, Desa Datarnangka, Sagaranten, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (5/12/2024). Foto: Iman/ANTARA FOTO
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten