Noken, Tas Khas Papua yang Mendunia

19 Desember 2020 7:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan Papua yang sedang membuat Noken Foto: Dok. Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Papua yang sedang membuat Noken Foto: Dok. Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Awal Desember 2020 lalu, corak berbeda muncul di halaman muka mesin pencarian daring populer dunia, Google. Tampak dua wanita berjalan dengan latar gunung dan alam nan hijau. Mereka menggendong bawaan menggunakan tas khas Papua yang membentuk dua huruf ‘o’ sehingga melengkapi kata Google.
ADVERTISEMENT
Tas itulah yang dinamakan noken. Tas tradisional Papua tersebut tampil menjadi Google Doodle pada 4 Desember. Tanggal itu bertepatan dengan diakuinya noken sebagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) UNESCO sehingga ditetapkan sebagai Hari Noken Sedunia.
Ilustrasi Noken Papua dalam Doodle Foto: Google
Noken biasanya terbuat dari bahan-bahan alam yang ada di Papua. Misalnya, serat pohon, kulit kayu, batang anggrek, hingga daun-daunan. Bahan tersebut kemudian diolah menjadi benang kuat, lalu diikat atau dirajut menjadi tas.
Hasil rajutan tas noken dapat digunakan untuk membawa berbagai macam barang. Selain itu noken juga digunakan untuk mengangkut kebutuhan sehari-hari, makanan atau kayu bakar. Bahkan ia dapat difungsikan sebagai gendongan bayi.
Dalam program Mari Cerita Papua (MaCe) oleh Yayasan Econusa, Ketua Noken Ania Merry Dogopia menyebut bahwa noken adalah tas tradisional yang harus dimiliki oleh semua orang Papua.
ADVERTISEMENT
“Noken adalah identitas Papua. Di dalam noken itu kita mengisi semua kebutuhan seperti hasil bumi, harta benda, juga sebagai gendongan bayi. Semua itu ada dalam noken,” terang Merry mengutip situs Yayasan Econusa.
Noken Lab tampil dalam acara Mace Papua (Mari Cerita Papua) Foto: Helinsa Rasputri/kumparan.com

Bukan Sekadar Tas

Tak seperti tas yang digunakan masyarakat pada umumnya. Fungsi noken bukan sekadar tas untuk membawa barang saja. Ada banyak nilai-nilai yang diajarkan nenek moyang Papua dari generasi ke generasi melalui noken.
"Kita harus kembali mendalami ilmu noken ini. Noken mengajarkan kita tentang berbagi, demokrasi, dan kebenaran," kata Titus Christoforus Pekei, ketua Yayasan Noken Papua, dilansir situs Kemendikbud.
Awalnya, noken dianggap sebuah benda yang remeh di mata orang. Namun, bagi Titus Pekei, tersimpan banyak makna atau nilai bagi masyarakat Papua. Misalnya, makna bahwa di Papua, kemahiran seorang perempuan merajut noken dianggap sebagai tanda kedewasaan.
Pengrajin noken di Papua Barat. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
Dalam artikel jurnal 'Noken dan Perempuan Papua: Analisis Wacana Gender dan Ideologi' yang ditulis dosen Universitas Papua Elisabeth Lenny Marit, disebut bahwa pada umumnya perempuanlah yang merajut hingga menjual noken di sela-sela aktivitas hidupnya.
ADVERTISEMENT
Elisabeth menulis bahwa perempuan Papua mampu merajut noken sambil menyusui dan menimang anaknya. Mereka juga mampu menganyam noken sambil menjaga barang dagangan (jualan) serta mampu menjual noken bersamaan dengan menjual hasil kebunnya.
Aktivitas perempuan di Papua yang terkait dengan noken menunjukkan bahwa perempuan mampu melakukan peran reproduktif (domestik), produktif (publik), dan sosial (kemasyarakatan) sekaligus.
“Seluruh aktivitas perempuan dalam kaitannya dengan noken senantiasa dilakukan tanpa meninggalkan tanggung jawab domestik seperti memasak, mengasuh anak, dan memastikan anggota keluarga dalam kondisi sehat,” tulis dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unipa itu.

Warisan Budaya Dunia

Pada 2012 noken masuk pada daftar warisan budaya UNESCO yang perlu dijaga kelestariannya. Sebab, pengetahuan dan kecakapan menciptakan noken dapat terancam jika tidak ada upaya melestarikannya.
ADVERTISEMENT
“Proses pembuatan Noken membutuhkan keterampilan manual yang hebat, perhatian dan rasa artistik, dan membutuhkan beberapa bulan untuk menguasainya. Namun, jumlah orang yang membuat dan menggunakan Noken semakin berkurang,” tulis UNESCO di situs resminya.
Pengrajin noken di Papua Barat. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
Pembuat noken tradisional semakin berkurang diduga karena adanya celah antargenerasi yang tak lagi menguasai pembuatannya. Selain itu, produk noken juga berkompetisi dengan masuknya produk modern serta bahannya yang semakin langka digantikan dengan material sintetis.
“Faktor yang mengancam kelangsungan noken antara lain kurangnya kesadaran, lemahnya transmisi tradisional, berkurangnya jumlah pengrajin, persaingan dari tas buatan pabrik, masalah dalam memperoleh bahan baku tradisional dengan mudah dan cepat, dan pergeseran nilai-nilai budaya Noken,” terang UNESCO.
Diakuinya noken sebagai warisan budaya dunia membuat produk ini makin dikenal masyarakat internasional. Desainer fesyen nasional Yurita Puji bahkan percaya diri mengenalkan noken di London Fashion Week 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Yuri mengatakan, belum banyak orang awam yang mengenal noken secara dalam, sehingga itu menjadi alasan utama Yurita untuk mempromosikan rajutan khas Papua ini, baik ke dalam maupun luar negeri.
“Buat saya dengan mempromosikannya seperti memberi identitas untuk produk itu, bahwa noken adalah kepunyaan Indonesia,” ujar Yuri mengutip situs Yayasan Econusa.