Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Nomor Dua di Dunia: Sepak Terjang Wabah Difteri di Indonesia
14 Desember 2017 16:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB

ADVERTISEMENT
Difteri kembali mewabah di Indonesia.
Sampai Selasa kemarin (12/12), setidaknya telah ditemukan 622 kasus difteri di 20 provinsi di seluruh Indonesia, dengan 32 orang di antaranya meninggal dunia. Akibatnya, Kementerian Kesehatan menetapkan wabah difteri ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
ADVERTISEMENT
Seperti diberitakan Antara, Senin (04/11), Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi, menyatakan ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya wabah difteri di wilayah mereka sejak Oktober 2017. Kesebelas provinsi tersebut yaitu: Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, menurut peneliti Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Kemenkes, Kambang Sariadji, di The Conversation , kembali merebaknya difteri tak bisa disimpulkan karena satu alasan mutlak. Wabah tersebut kembali merebak karena beberapa hal yang saling berkaitan.
Dari semua itu, dua yang ia cermati adalah: 1) imunisasi anti difteri belum mencakup seluruh anak di Indonesia (baru mencakup sekitar 75%) dan 2) penurunan tingkat “keampuhan” antibiotik untuk melawan bakteri difteri ini.

Setelah wabah difteri ditetapkan sebagai KLB (11/12), Kemenkes telah melaksanakan program imunisasi ulang atau Outbreak Response Immunization (ORI) di tiga provinsi, yakni: DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
ADVERTISEMENT
Program imunisasi ulang itu, pada tahap yang pertama, akan menyerap anggaran dana sebesar US$ 112 juta atau sekitar Rp 1,4 trilyun. Ini diperlukan untuk menyediakan vaksinasi kepada sekitar 8 juta anak-anak dan remaja usia di bawah 19 tahun di tiga provinsi tersebut.
Langkah imunisasi ulang itu diambil Kemenkes karena adanya kesenjangan keikutsertaan warga dalam program vaksinasi. Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, tercipta sebuah immunity gap di tengah masyarakat yang memungkinkan KLB ini terjadi.
"Keadaan ini terjadi karena ada kelompok yang tidak mendapatkan imunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap sehingga tidak terbentuk kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri difteri, sehingga mudah tertular difteri," ujar Menkes dilansir Antara , Senin (11/12).
Berdasarkan catatan Kemenkes , kasus Difteri sebenarnya sudah tidak ditemukan lagi di sekitar tahun 1990 dan baru muncul kembali di tahun 2009. Pada tahun 2013, penyakit ini kembali hilang, dan malah menjadi wabah luar biasa di tahun 2017 ini.
ADVERTISEMENT
Dari pernyataan Menkes Nila Moeleok tersebut, tersingkap bahwa penyakit difteri bukanlah wabah penyakit baru di Indonesia. Keberadaan penyakit ini di Indonesia ternyata mengalami pasang surut. Bahkan, kroscek sumber data lain menunjukkan catatan Kemenkes yang menyebut difteri sempat hilang di Indonesia ternyata tidak tepat.
Lalu, bagaimana sejarah penyakit difteri di Indonesia?

Penyakit Mematikan
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut difteri sebagai salah satu penyakit berbahaya. Ia menjadi penyebab utama kematian anak-anak pada era sebelum vaksin (pre-vaccine era).
Namun, sejak vaksin ditemukan pada 1923 --dan digunakan secara besar-besaran dalam kurun waktu 1940-1950 di Amerika Serikat dan negara maju lainnya-- laporan mengenai penyakit difteri ini berkurang secara signifikan.
Difteri semakin jarang ditemukan sejak World Health Organization (WHO) meluncurkan program Expanded Programme on Immunization (EPI) pada 1977. Program tersebut bertujuan untuk menyediakan imunisasi secara universal ke anak-anak dunia pada 1990.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, seperti yang termaktub dalam laporan WHO mengenai penyakit ini, banyak ahli kesehatan tidak menyadari bahwa di setiap tahunnya ada sekitar 5.000 laporan terjadinya penyakit difteri di seluruh dunia.
Kambang Sariadji di The Conversation menyatakan, difteri sendiri tergolong sebagai penyakit yang mematikan.
Menurutnya, penyakit menular melalui udara yang terpapar bakteri corynebacterium diphteriae. Ketika tertular, bakteri ini akan menyerang sistem pernafasan bagian atas. Gejala-gejala yang dialami oleh pengidap difteri di antaranya: demam tinggi, sakit tenggorokan, susah menelan, dan kesulitan bernafas.
Selain udara, bakteri difteri juga dapat menyebar melalui ludah, batuk, dan benda atau makanan yang terkontaminasi bakteri itu. Ketika berada di dalam tubuh, bakteri ini akan melepaskan racun yang menyebar lewat darah. Racun bakteri difteri ini dapat merusak sistem tubuh, terutama organ jantung dan syaraf. Dalam taraf tertentu, kerusakan ini dapat menyebabkan kematian.
ADVERTISEMENT
Melihat bagaimana cara penyebaran dan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini, Kambang mengungkapkan, ketika satu saja penyakit difteri ditemukan menyebar, pemerintah sudah harus mengumumkannya sebagai KLB.
Indonesia Tertinggi Kedua
Difteri tergolong penyakit yang sudah sangat tua. Menurut catatan Centers for Disease Control and Prevention , keberadaan penyakit ini pernah tercatat di Yunani di sekitar abad ke-5 oleh Hippocrates dan di abad ke-6 oleh Aetius.
Di Indonesia sendiri, data mengenai penyakit ini baru tersedia di tahun 1980 --itupun lewat data yang dicatat oleh WHO . Sejak 1980, jumlah kasus difteri di Indonesia tercatat fluktuatif, meski secara kuantitas terus mengalami tren penurunan.
Namun demikian, secara global, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan kasus difteri tertinggi kedua di dunia setiap tahunnya --hanya India yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data WHO , terdapat setidaknya 19.686 kasus difteri yang dilaporkan dalam kurun waktu 1980-1989. Sementara, pada kurun waktu 1990-1999, jumlah kasus difteri turun menjadi 9.459. Angka itu terus berkurang pada periode 2000-2009, ketika hanya dilaporkan 2.329 kasus difteri.

Sedangkan pada beberapa tahun terakhir (2010-2016), kasus difteri yang dilaporkan justru meningkat menjadi 3.977 kasus. Apabila angka tersebut ditambah dengan yang terjadi di 2017 ini, jumlahnya meningkat menjadi 4.599 kasus.
Sebenarnya, apabila mengacu data yang dihimpun WHO, kasus difteri hampir terus tercatat di Indonesia, setiap tahun sejak 2010 sampai 2017. Hanya pada tahun 2015 saja, WHO tidak mencatat adanya kasus difteri.
ADVERTISEMENT
Meski tak cermat dalam menyampaikan data, tetap saja banyak yang disampaikannya adalah kebenaran. Kita perlu mendukung imbauan Nila Moeloek, yang menekankan pentingnya kesadaran orang tua untuk melakukan vaksinasi difteri kepada anak-anak mereka.
Ini penting: vaksinasi difteri bukan lagi soal kalian, Para Orang Tua. Ini soal hidup mati anak-anak dengan masa depan yang masih panjang itu.

===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline !