Noor Huda Ismail, dari Ngruki ke Monash University

30 Juni 2019 8:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pakar Terorisme dan Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail. Foto: Faisal Rahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pakar Terorisme dan Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail. Foto: Faisal Rahman/kumparan
ADVERTISEMENT
Noor Huda Ismail merasa tak kerasan kala belajar di Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah. Sebab, bukan karena keinginannya ia bersekolah pada tingkat SMP hingga SMA di sana.
ADVERTISEMENT
“Tidurnya di lantai, makannya antre, rebutan gitu ya. Dan yang paling susah itu kan cowok-cewek dipisah jadi bosen,” ungkap pria yang akrab disapa Huda tersebut dalam wawancara khusus dengan kumparan, Selasa (25/6).
Bukan juga karena keluarganya menganut aliran Islam tertentu sehingga Huda dimasukkan pesantren yang didirikan Abu Bakar Ba'asyir itu. Di umurnya yang baru 12 tahun, ia hanya tahu bahwa sang ayah berharap anaknya menjadi orang baik dengan nyantri. Huda hanya bisa menerima dengan lapang hati.
Titik balik hidup Huda justru terjadi ketika sudah menyandang status alumni Al Mukmin. Saat meliput Bom Bali I tahun 2002 sebagai jurnalis Washington Post, ia kaget mendapati karib sekamarnya di pesantren, Fadlullah Hasan alias Mubarok, terlibat.
ADVERTISEMENT
Padahal, Huda begitu mengidolakan Fadlul waktu di pesantren. Ia begitu kagum dengan kemampuan bela dirinya, penguasaan bahasa Arabnya, hingga hafalan Alqurannya. Lantas, keterlibatan Fadlul di Bom Bali I menyisakan tanda tanya yang sifatnya personal bagi Huda.
“Ketika itu saya heran, karena kan ini ada ikatan emosional, yang dulu idola saya terus kemudian (terlibat terorisme). Jadi saya ingin ngerti, ini kan kayak seperti Taichi Master gitu loh. Sesama satu guru satu ilmu, kok jadinya beda?” kata Huda.
Pertanyaan itulah yang kemudian membuat Huda menanggalkan profesinya sebagai jurnalis. Ia banting setir mendalami terorisme dengan mewawancarai mantan-mantan teroris yang dipenjara, sambil kemudian melanjutkan pendidikan tingginya ke jenjang S2 dan S3 di studi Hubungan Internasional (HI).
ADVERTISEMENT
“Kenapa saya ngambilnya HI, ya karena saya tuh percaya bahwa apa pun yang terjadi di lokal, di level lokal ini itu pasti ada kaitannya dengan internasional.” Ia melanjutkan, “Saya melihat bahwa apalagi di kajian saya di terorisme ini bagaimana itu semuanya itu irisannya selalu membawa isu-isu global.”
Pakar Terorisme dan Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail. Foto: Faisal Rahman/kumparan
Kala mengarungi petualangan akademik S2-nya di St. Andrews University, Skotlandia (2005-2006), Huda bercerita pengalamannya jalan-jalan ke Irlandia. Di sana, ia melakukan studi lapangan mengenai orang-orang Kristen versus Katolik yang sudah ratusan tahun berkonflik.
“Teman-teman kita Kristiani kan mengatakan bahwa ajaran yang paling penting dalam Kristen adalah kasih sayang begitu, pelayanan, kasih sayang, melayani. Tapi ini mereka berkonflik juga dan saling membunuh dan bahkan menggunakan teror,” kata Huda.
ADVERTISEMENT
Di Irlandia, ayah dua anak ini lantas menemukan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kecil yang berusaha memberikan kesempatan kedua bagi orang-orang yang terlibat konflik. Menurut Huda, LSM ini membantu orang-orang tersebut untuk memulai hidup baru.
“Kalau LSM kecil saja dan orang-orang kayak seperti ini bisa dikasih kesempatan kedua, berarti beberapa teman saya yang dulu pernah di pesantren Ngruki dan kebetulan mereka dipenjara (karena kasus terorisme) itu, kalau mereka seandainya bebas, layak enggak sih kita kasih kesempatan kedua?” tanya Huda pada dirinya sendiri.
Terinspirasi dari LSM di Irlandia itu, Huda pun menjawab pertanyaan tersebut dengan mendirikan Yayasan Prasasti Perdamaian pada 2008. Fungsinya serupa, yakni memberikan kesempatan bagi para mantan teroris untuk memulai kehidupannya yang baru sehingga tak jatuh di lubang yang sama.
Pakar Terorisme dan Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail. Foto: Faisal Rahman/kumparan
“Seringkali ketika para orang yang terlibat dalam kasus terorisme itu akan pensiun, masyarakat itu enggak siap begitu. Jadi orang enggak perlu menjadi cerdas banget untuk paham kenapa terjadi residivis, orang balik lagi jadi teroris sederhana aja, (karena) dia ke mana-mana ketutup,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tindakan Huda memberi kesempatan kedua bagi para eks teroris salah satunya diwujudkan lewat restoran Dapoer Bistik yang didirikannya di Solo. Huda memberdayakan mereka untuk menjalankan wirausaha sosialnya.
“Memberi kesempatan kedua itu tidak hanya bermanfaat kepada dirinya sang pelaku tapi juga keluarga tapi juga masyarakat. Bayangkan kalau misalnya orang-orang itu kemudian yang pernah terlibat dalam kasus apa pun saja, tidak hanya teroris, narkoba, itu kemudian kembali lagi ke komunitasnya?” katanya.
Sukses menjalankan usaha sosial tak membuat Huda berhenti mencari ilmu. Ia pun meneruskan ketertarikannya pada kajian terorisme dengan bergabung ke program doktoral Politik dan Hubungan Internasional, Monash University, Australia tahun 2014 hingga 2018.
Di Monash, Huda membuat disertasi berjudul "The Indonesian Foreign Fighters, Hegemonic Masculinity and Globalisation” yang mendapat serangkaian pujian.
ADVERTISEMENT
Kiprah Huda menangani terorisme di Indonesia juga diwujudkan dengan membuat sebuah platform bercerita bagi para eks teroris di ruangobrol.id. Kali ini penyabet gelar Ph.D dari Monash University, Australia, itu terinspirasi dari Ilmu Kesehatan Masyarakat menangani femona terorisme melalui kampanye positif.
Ilustrasi Teroris. Foto: Shutter Stock
“Artinya memperlakukan (terorisme) ini seperti penyakit gitu. Kalau ada penyakit berarti perlu ada orang yang bisa mengkampanyekan dengan yang baik. Orang yang pernah merokok kemudian bengek, kemudian sembuh, mesti akan bilang 'jangan ngerokok deh, ngerokok sekarang bengek nih'. Itu jauh lebih ampuh,” kata Dosen Tamu di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura itu.
Kiprah Huda dalam mengkaji dan menangani permasalahan terorisme masih akan terus berlanjut. Sebab, menurutnya tujuan melakukan itu belum sepenuhnya tercapai sebelum teman-temannya sendiri bisa merayakan perbedaan.
ADVERTISEMENT
Merayakan perbedaan terus kemudian bisa menerima bahwa perbedaan itu bukan sebuah ancaman. Enggak perlu harus berlomba-lomba mengkafirkan orang lain karena relasi sosial menjadi enggak asyik. Hubungan kita itu enggak asyik itu kalau tiba-tiba kita merasa paling benar,” terangnya.