Nyoman Nuarta: Saya Mau Berjalan, Tak Mau Bertahan

31 Januari 2018 21:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Seni adalah rasa dan pemaknaan.
Nyoman Nuarta, pematung legendaris asal Bali yang tengah merampungkan mahakarya Garuda Wisnu Kencana, tahu betul soal itu. Ia sadar, interpretasi tiap orang atas karya seni amat mungkin berbeda. Demikian pula antara sang seniman yang membuat suatu karya, dengan publik yang melihat hasil karya tersebut.
ADVERTISEMENT
Maksud sang seniman atas patung itu tak melulu diinterpretasikan sama oleh orang yang melihat karyanya. Tak jarang, banyak orang kesulitan menangkap makna yang terkandung pada karya-karya seni, sehingga mereka enggan mengunjungi galeri seni atau museum.
“Seni itu dirasakan. Terserah kita mau bagaimana mengartikannya, sesuai pengalaman masing-masing,” kata Nuarta saat berbincang dengan kumparan di galerinya, NuArt Sculpture Art, Bandung, Rabu (17/1).
Interpretasi yang subjektif, ujarnya, bukan masalah. Soal kedalaman makna pun dapat ditangkap setiap orang dengan membiasakan diri melihat ragam karya seni di museum.
Di sinilah arti penting museum. Museum, kata Nuarta, sesungguhnya bukan ditujukan untuk orang-orang yang mengerti seni, tapi bagi masyarakat awam yang ingin belajar atau tahu soal seni.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, harga tiket museum dijual murah, dan mal-mal ditutup setiap hari Minggu. Dengan demikian, setiap akhir pekan orang-orang akan berbondong-bondong ke museum.
Maka, menurut Nuarta, membiasakan diri pergi ke museum--yang membuat wawasan seni bertambah--sesungguhnya amat penting sebelum seseorang mulai mengomentari atau membuat karya seni.
Nyoman Nuarta (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Sebagai pelaku seni, Nuarta pun mendorong kiprah seniman-seniman muda tanah air. Salah satu dukungan bagi mereka ia tunjukkan dengan memajang lukisan-lukisan karya para seiman muda di galerinya.
Nuarta berharap, orang-orang yang mengunjungi galerinya akan melihat lukisan-lukisan tersebut dan tertarik untuk membelinya. Sehingga nama-nama seniman muda itu terangkat ke permukaan.
ADVERTISEMENT
Nuarta yakin, dunia seni, termasuk seni patung yang ia tekuni selama ini, memiliki masa depan cerah. Ia mengaku tak memiliki aliran spesifik dalam mematung, sebab menurutnya, ragam aliran itu tak terlalu relevan.
Itu pula sebabnya, patung-patung di galeri Nuarta amat beragam. Meski demikian, ia punya satu ciri khas yang dapat dikenali dengan mudah.
“Kalau orang lihat satu patung saya, mungkin enggak tahu (ciri itu). Tapi begitu melihat karya-karya saya yang lain, pasti tahu. Karena patung saya bolong-bolong atau tercabik-cabik, kecuali GWK,” kata Nuarta.
Patung karya Nyoman Nuarta. (Foto: Instagram/@nyoman_nuarta)
Ciri khas berupa koyakan-koyakan itu ialah representasi dari upayanya menangkap citra yang hadir dan bisa dirasakan, namun tak dapat dilihat secara kasat mata seperti angin.
Angin jelas ada, tapi untuk menggambarkan keberadaannya dalam wujud patung, sulit dilakukan. Untuk itu diperlukan citra yang lain--wujud benda seperti pohon bergoyang atau gulungan ombak. Melalui citra-citra tersebut, patung Nuarta meemperlihatkan bahwa angin benar-benar ada.
ADVERTISEMENT
Angin pun kian terlihat bila dipadupadankan dengan kecepatan. Dalam patung Rush Hour misalnya, sekilas tampak tiga pengendara sepeda yang membungkuk sambil mengayuh dengan kecepatan tinggi.
Padahal, patung tersebut hanya menggambarkan satu orang yang sedang mengendarai sepeda. Namun saking cepatnya, seolah-olah terlihat tiga orang yang sedang bersepeda. Dan cabikan logam yang terlihat seperti kain sobek-sobek sengaja dibuat untuk memperlihatkan betapa cepat sepeda itu melaju.
Patung Rush Hour karya Nyoman Nuarta. (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
“Dengan teknik itu, awan atau asap polusi bisa ditangkap dan diwujudkan dalam citra. Dulu yang seperti ini nggak bisa karena patung dulu harus masif (utuh, padat, tak berongga di dalam).”
Menurut Nuarta, semua orang sesungguhnya bisa membuat patung. Sebab patung tak mesti dibuat dari bahan logam. Ia juga bisa dibuat dari kertas maupun plastik.
ADVERTISEMENT
“Sesuatu yang jarang akan menjadi kejutan. Kalau sudah terlalu banyak kan kurang menarik,” kata dia.
Kejutan pula yang kerap terjadi dalam hidup Nuarta. Ia, yang dahulu sempat tiga kali hendak berhenti sekolah karena punya biaya, ternyata kini menjadi pematung kenamaan dengan ratusan karya.
Pengerjaan patung Garuda Wisnu Kencana di Bali. (Foto: Antara/Nyoman Budhiana)