Ombudsman: Rapid Test Corona Jadi Ladang Bisnis, Hapus Saja!

9 Juli 2020 14:19 WIB
comment
20
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi rapid test. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rapid test. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Anggota Ombudsman RI Alvin Lie mengkritisi soal masih diterapkannya rapid test corona di berbagai lapisan masyarakat. Padahal, menurutnya rapid test bukan lagi terkait kesehatan, tetapi menjadi ladang bisnis.
ADVERTISEMENT
"Rapid test menjadi ladang bisnis ini karena disyaratkan. Surat keterangan nonreaktif dijadikan syarat bepergian, syarat untuk mendaftar perguruan tinggi dan sebagainya," kata Alvin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/7).
Sehingga menurut Alvin, rapid test bukan lagi dilakukan sebagai deteksi dini corona. Sebab, masyarakat butuh untuk berbagai hal.
Lagi pula menurut Alvin, hasil nonreaktif rapid test tak menggaransi seseorang bebas dari COVID-19. Untuk itulah ia mendorong rapid test dihapuskan oleh pemerintah.
"Rapid test ini kan tidak menunjukkan kita ini kena COVID atau tidak. Sudahlah, kalau perlu hapus saja ini rapid test, nggak ada di Indonesia," tegas eks anggota DPR ini
"Hapus saja, standarnya swab test PCR. PCR itu hanya untuk orang kategori berisiko tinggi misalnya orang yang kontak dekat dengan kasus positif. Atau tinggalnya di daerah merah bahkan hitam," sambungnya.
Komisioner Ombudsman Alvin Lie Foto: Mustaqim Amna/kumparan
Beberapa kali rapid test juga ditemukan hasil false negative. Ini juga disorot oleh Alvin.
ADVERTISEMENT
"Tes untuk yang menunjukkan gejala, kalau tidak, ya nggak perlu. Jadi tes ini PCR maupun rapid ini jangan dijadikan syarat, semua dihapuskan. Itu sudah penyalahgunaan," jelasnya.
"Misal saja setelah tes negatif kita naik angkot berdesakan, setelah naik angkot bisa saja kan positif. (Tes) Itu kan seolah-olah garansi setelah 14 hari dijamin bebas COVID," tutup Alvin.
Kata Gugus Tugas soal Rapid Test
Sebelumnya, tim komunikasi gugus tugas dr Reisa Broto Asmoro menjelaskan rapid test masih dibutuhkan karena 3 hal. Yaitu, Indonesia belum mampu swab test massal seluruh penduduk; untuk mendeteksi potensi siapa yang tertular; dan menekan biaya untuk uji spesimen.
“Pada prinsipnya rapid test ditujukan kepada orang yang pernah kontak erat dengan pasien positif. Rapid test tetap dilakukan yang berisiko tinggi, pelacakan yang berkontak dengan yang positif, atau disebut tracing,” kata dr Reisa saat konferensi pers update penanganan virus corona secara live streaming di YouTube BNPB, Sabtu (20/6).
ADVERTISEMENT