Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ombusdman meragukan proses hukum kasus Baiq Nuril berjalan secara benar dan tepat, khususnya di tingkat Mahkamah Agung (MA). Ombudsman menganggap ada potensi maladministrasi dalam proses hukum kasus ini, mulai dari pengabaian Peraturan MA (Perma) hingga pelanggaran atas prosedur penanganan.
ADVERTISEMENT
“Saya berkali-kali mengatakan, Mahkamah Agung mengabaikan Perma yang dikeluarkan tahun 2017. Justru ketika melihat kasus ini, bagaimana Baiq Nuril diposisikan sebagai tersangka, perlu dilihat ada diskriminasi gender atau tidak,” jelas anggota Ombudsman bidang peradilan, Ninik Rahayu, di Kantor Ombudsman, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (17/7).
Terkait pelanggaran Perma, Ninik merujuk Pasal 9 Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam aturan itu, MA dituntut mempertimbangkan faktor bias gender dalam suatu kasus perempuan yang kemungkinan terjebak dalam relasi kuasa yang merugikan pihak perempuan. Hal inilah yang menurut Ninik tak dilakukan MA.
Selain itu, Ninik menilai MA juga melakukan kesalahan prosedur, karena MA tidak saja melakukan proses judex juris atau penanganan hukum dengan pemeriksaan atas penerapan hukum suatu perkara, namun juga melakukan judex facti atau penanganan perkara dengan pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang ada. Padahal judex facti merupakan ranah pengadilan tinggi dan pengadilan tinggi negeri.
ADVERTISEMENT
“Ada kesalahan prosedur karena Mahkamah Agung melakukan judex facti. Harusnya di tingkat banding dan Mahkamah Agung itu hanya melakukan judex juris. Nah ini juga ada potensi mal (administrasi) di situ menurut kami,” tutur Ninik.
Namun, Ninik tidak merinci lebih jauh seperti apa pelanggaran prosedur yang dilakukan MA ini. Yang jelas, ia mengingatkan agar penegak hukum dari berbagai lingkup betul-betul menjalankan konstruksi hukum sesuai dengan aturan yang menaunginya.
Ninik menyebut proses hukum kasus Baiq Nuril ini sebagai alarm bagi publik terhadap penanganan kasus hukum terhadap perempuan dan anak.
“Ini wake up call bagi sistem pemidanaan proses pemidanaan kasus perempuan dan anak, mulai dari tingkat kepolisian kejaksaan dan terutama Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah palang pintu terakhir keadilan,” pungkasnya.
Kasus Baiq Nuril kembali menjadi sorotan publik setelah Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya ditolak MA. Ia pun terancam dieksekusi dan menjalani 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap menyebarkan rekaman percakapannya dengan Muslim, mantan kepala sekolah tempat ia bekerja, yang diduga melecehkannya secara seksual verbal.
ADVERTISEMENT
Baiq Nuril dijerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya terkait penyebaran informasi elektronik yang muatannya dinilai melanggar norma kesusilaan.
Baiq Nuril pun telah meminta amnesti kepada Presiden Jokowi. Saat ini, surat pertimbangan pemberian amnesti Baiq Nuril dari Jokowi telah diberikan ke pihak DPR. Komisi III pun akan segera menggelar rapat pleno pembahasan pertimbangan amnesti pada Rabu (24/7). Sehari setelahnya, pertimbangan tersebut akan dibacakan dalam rapat paripurna.