Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ombudsman Ungkap Masalah Limbah Medis: Tak Ada Perda hingga Diangkut Ojol
4 Februari 2021 20:18 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kajian Ombudsman berangkat dari tahapan pengolahan limbah medis berdasarkan Peraturan Pemerintah 101 dan peraturan KLHK 56 Tahun 2015. Ombudsman melihat setiap tahapan dalam aturan tersebut apakah sudah sesuai atau belum dipraktikkan di lapangan.
Adapun dalam aturan tersebut, tahapan pengolahan limbah medis terdiri dari proses pengurangan; pemilahan; pengangkutan (internal); penyimpanan; pengolahan (mandiri); pengangkutan (eksternal); pengolahan (pihak ketiga); diakhiri penimbunan.
Berikut temuan Ombudsman dari hasil kajian yang dilakukan:
Perizinan dan Regulasi
Peneliti Ombudsman Mory Yana Gultom menyampaikan, dari sisi regulasi, tidak ditemukan adanya peraturan daerah yang mengatur soal pengelolaan limbah medis. Hal ini, kata dia, berimplikasi pada buruknya pengawasan dan tak punyanya instrumen bagi daerah mengawasi limbah B3.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya TPS (Tempat Penyimpanan Sementara) yang tak berizin hingga berimplikasi pada TPS yang tak standar. Selain itu, ditemukan juga penggunaan insinerator (tempat pembakaran sampah) yang tak berizin.
"Kemudian Pemda terhadap pengelolaan limbah medis di beberapa daerah antara Dinas Kesehatan dan Dinas LH punya pemahaman berbeda tentang limbah B3," kata Mory dalam konferensi pers "Penyampaian Hasil Kajian Ombudsman RI terkait Pengelolaan dan Pengawasan Limbah Medis", Kamis (4/2).
ADVERTISEMENT
"Dinas Lingkungan Hidup misalnya, beranggapan bahwa hasil insinerasi dari pengolahan limbah medis merupakan limbah B3, Sementara Dinas Kesehatan bukan lagi limbah B3 sehingga bisa diperlakukan sebagai limbah biasa," sambungnya.
Pengurangan Limbah
Pada tahap ini, Ombudsman menemukan secara umum belum adanya usaha konkret dari fasyankes (Fasilitas Pelayanan Kesehatan) dalam melakukan pengurangan limbah medis. Mory mengatakan, dalam temuannya, beberapa puskesmas juga tidak mencatat timbulan limbah medis yang dihasilkan. Sehingga tidak diketahui apakah neraca limbahnya mengalami penurunan atau sebaliknya.
Pemilahan dan Pewadahan
Sementara dalam tahap ini, Mory membeberkan bahwa petugas yang langsung melakukan pemilahan dan pewadahan limbah medis tidak memahami secara utuh perihal pemilahan ini. Sebab, kata dia, banyaknya petugas yang bekerja adalah cleaning service biasa.
ADVERTISEMENT
"Karena yang bertugas seperti cleaning service seperti biasa. Ini berimplikasi pada pengelolaan berikutnya. Karena satu limbah infeksius saja tercampur dengan limbah lain maka semuanya harus dianggap sebagai infeksius dan pengelolaannya juga harus disesuaikan," kata Mory.
Sedangkan pada tahap penyimpanan, kata dia, terdapat juga implikasi dari TPS yang tak berizin. Selain itu, temuan Ombudsman ada dugaan penyimpanan dilakukan di lokasi yang tak seharusnya.
"Ada juga yang banyak tak miliki TPS sehingga limbah yang dihasilkan tidak disimpan di gudang, (tapi) di bawah tangga, tong sampah. dan lain-lain," kata dia.
Kondisi tersebut berpengaruh pada proses dan waktu penyimpanan limbah yang tak sesuai prosedur. Menurut Mory, berdasarkan aturan pemerintah, limbah medis bila disimpan dalam suhu lebih dari 0 derajat celsius hanya boleh 2x24 jam saja.
ADVERTISEMENT
"Proses penyimpanan melebihi waktu maksimal seperti yang di awal disampaikan tadi, seharusnya limbah itu maksimal disimpan 2x24 jam. Ada yang sampai misalnya hanya dalam satu tahun pengambilan hanya sekali dalam satu tahun," ucapnya.
Pengangkutan
Pada tahap ini, Ombudsman juga menemukan sejumlah permasalahan. Pengangkutan ini terbagi menjadi dua, yakni dari unit penghasil limbah ke TPS dan dari fasyankes ke pengelolaan berikutnya.
"Kami menemukan ada fasyankes yang tidak menyediakan pengangkutan khusus atau jalur khusus di sekitar fasyankes," kata Mory.
Selain itu, pengangkutan dari fasyankes ke pengelolaan lanjutan pun tidak ada jadwal yang rutin. Hal ini dikarenakan penekanan biaya yang dilakukan fasyankes yang menunggu limbah banyak baru diangkut dalam sekali angkut.
"Fasyankes untuk tekan biaya sehingga berpengaruh kepada durasi penyimpanan yang butuh waktu lebih lama," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ombudsman juga menemukan adanya praktik pengangkutan limbah yang tidak sesuai standar. Bahkan ada yang mengangkutnya dengan ojek online.
"Di tahap pengangkutan alat angkut yang digunakan untuk mengangkut limbah medis ini di beberapa tempat kami temukan tidak berstandar," ucapnya.
"Misalnya menggunakan alat angkut ambulans, ojek online, atau dilakukan dengan kendaraan yang tidak dilengkapi dengan simbol sehingga pengawasannya menjadi tak sesuai dengan yang seharusnya," sambungnya.
Selain itu, ada juga penggunaan manifes yang tidak seragam dalam proses pengangkutan. Tidak semua pengangkutan tercatat di festronik, dan juga apabila menggunakan lembar manual, tidak dilaporkan sesuai prosedur.
Pengolahan
Temuan ombudsman menunjukkan bahwa pengolahan limbah B3 cenderung paling banyak di Pulau Jawa. Hal itu membuat fasyankes mengakali biaya pengiriman limbah dengan menunggu TPS penuh terlebih dulu.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya banyak fasyankes harus mengeluarkan biaya yang mahal, dan untuk menekan biaya itu akhirnya penyimpanannya diperlama, jadi ditunggu dulu penyimpanannya hingga TPS penuh baru disampaikan ke pengelola untuk menekan cost yang ada," ujar Mory.
Pada tahap ini juga, Ombudsman menemukan adanya penggunaan insinerator tanpa izin hingga rumah sakit mengolah limbah dari fasyankes lain.
Selain itu, Ombudsman menemukan bahwa ada pengelolaan limbah medis yang dilakukan di pabrik semen.
"Pengolahan limbah medis oleh pabrik semen karena tak ada pengelolaan lanjutan jadi sampai pembakaran residunya tidak ada dan tidak dilakukan pengolahan lanjutan, padahal merujuk pada pengelolaan yang kami sampaikan di awal harus sampai penimbunan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Dan kalau tak ada residunya kami meragukan baku mutu udara di sekitar pabrik semen yang mengelola limbah medis yang dimaksud," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Penguburan
Dalam tahap ini, Ombudsman menemukan adanya fasyankes yang tanpa izin dan tidak sesuai standar melakukan penguburan. Padahal, kata Mory, bila ingin melakukan penguburan, harus ada izin dari pemerintah daerah.
"Ada juga ini kasus khusus dilakukan penguburan sendiri oleh Pemkot Ambon. Padahal Pemkot adalah sebagai regulator dan pengawas, harusnya fasyankes, bukan pemkot," ucapnya.
Penimbunan
Lalu, Ombudsman juga menemukan di tahap penimbunan hanya ada satu badan usaha penimbun di Indonesia namanya PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI). Lokasinya di Jawa Barat dan ini jadi satu-satunya badan usaha penimbun yang memiliki izin.
Sehingga, semua fasyankes yang akan melakukan penimbunan harus mengirimkannya ke PPLI ini.
"Kembali lagi ke kendala yang tadi terkait pengelolaan yang terkesan di jawa, ini juga sama meningkatnya cost karena harus membayar biaya yang mahal ke penimbunan di tahapan yang ini," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Kondisi ini membuat beberapa fasyankes yang mengelola secara mandiri melakukan penimbunan sendiri tanpa izin tentunya, dan tidak sesuai standar," ucapnya.
Pengawasan
Ombudsman menilai bahwa terkait pengawasan pengelolaan limbah medis minim dilakukan. Bahkan sebagian pemda ditemukan tidak melakukan sama sekali tidak melakukan pengawasan.
"Dengan argumentasi anggaran tidak memadai, SDM yang tak sesuai dengan kebutuhan, dan kewenangan yang sangat sedikit," ucapnya.
Selain itu, temuan Ombudsman, pengawasan hanya untuk yang berizin saja. Sehingga berpotensi pembiaran terhadap kegiatan lain yang bersifat ilegal.
Temuan lainnya, pemda yang tidak memiliki data timbulan limbah medis yang jelas baik yang dihasilkan, yang diangkut, hingga yang terolah; kurangnya sosialisasi terkait pengelolaan limbah medis.
Lalu, proses pembuatan akun festronik sulit, dan tidak disosialisasikan dengan baik; Pemda tidak menindaklanjuti surat edaran KLHK tentang pengelolaan limbah B3 dan sampah rumah tangga dari penanganan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Saran Ombudsman
(1) Ombudsman menyarankan Peraturan Menteri LHK nomor P.56/MENLHK-setjen/2015 tentang tata cara persyaratan teknis pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dari fasilitas pelayanan kesehatan untuk dikaji dan ditinjau ulang, khususnya mengenai:
- Waktu maksimal penyimpanan limbah medis diperpanjang dari semula 2x24 jam. Apabila dimungkinkan berdasarkan hasil kajian ilmiah.
- Jenis fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat disesuaikan dengan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang tertera di Peraturan Pemerintah RI nomor 47 tahun 2016 tentang fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Meninjau ulang Surat Edaran (SE) Menteri LHK nomor SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang pengelolaan limbah B3 dan sampah rumah tangga dan penanganan COVID-19 mengenai:
- Masa berlaku SE dimaksud agar menjadi acuan dispensasi penggunaan insinerator tanpa izin di fasilitas pelayanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
- Implementasi SE terhadap pengolahan limbah medis yang bukan berasal dari penanganan COVID-19.
(3) Mengevaluasi penggunaan sistem manifes elektronik untuk ditinjau ulang. Khususnya pembuatan akun serta melakukan sosialisasi secara masif.
(4) Mengevaluasi pengolahan limbah medis yang dilakukan di pabrik semen. Termasuk mengenai masa berlaku surat keputusan hingga pengelolaan lanjutan oleh pabrik semen agar disesuaikan dengan tahapan sebagaimana dalam pengaturan dan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Mendorong BUMN/BUMD atau swasta bergerak di bidang penimbunan limbah medis terutama di luar pulau Jawa.
(6) Melakukan evaluasi kepada petugas yang mengangkut dan pengolah limbah medis agar menaati prosedur dan standar keselamatan pengelolaan limbah.
Membuat aturan menteri yang mengatur SOP di seluruh Fasyankes tidak hanya di rumah sakit. Sebab, Ombudsman menemukan peraturan secara teknis di lingkungan fasyankes yang terbit hanyalah untuk RS saja.
ADVERTISEMENT
Menkes diminta melakukan bimbingan dan pembinaan kepada Fasyankes terkait pengelolaan limbah medis.
Pertama, mendorong pemda untuk membuat peraturan daerah pengelolaan limbah medis B3, termasuk yang bersumber dari rumah tangga.
Kedua, bagi pemerintah provinsi yang wilayahnya tidak ada badan usaha pengolah limbah medis agar secara proaktif mengupayakan pengadaan fasilitas dan lahan pengolahan limbah medis yang dimanfaatkan untuk wilayah masing-masing.
Ketiga, mutakhirkan data timbulan limbah medis yang faktual dan laporkan ke KLHK agar data yang ada di pemerintah pusat valid.
Keempat, melakukan bimbingan teknis kepada OPD agar memiliki pemahaman sama atas tanggung jawab perizinan dan pengawasan pengelolaan limbah medis.
Kelima, menyediakan pengangkutan di daerah yang tidak memiliki badan usaha pengangkut agar pengelolaan limbah medis tidak berhenti di tahap penyimpanan dengan tetap berpedoman pada standar pengangkutan limbah B3.
ADVERTISEMENT