Operasi Alpha: Saat Indonesia Diam-diam Beli Jet Tempur dari Israel

20 Mei 2021 18:03 WIB
Ilustrasi pesawat tempur Israel. Foto: JACK GUEZ/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesawat tempur Israel. Foto: JACK GUEZ/AFP
ADVERTISEMENT
Alutsista menjadi kebutuhan mutlak bagi suatu negara untuk mempertahankan wilayahnya dari ancaman. Makin kuat dan modern alutsista yang dimiliki suatu negara, makin besar pula kekuatan pertahanan yang dimiliki suatu negara, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun bagaimana bila suatu negara membeli kebutuhan alutsista negaranya dari negara yang notabene tak menjalin hubungan diplomatik atau bahkan lebih parah tak diakui sebagai negara oleh si negara pemesan.
Hal itu ternyata pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Tentara Israel berjaga setelah warga Palestina diduga menyebabkan kobaran api di Jalur Gaza. Foto: Amir Cohen/REUTERS
Ketika itu, Pemerintah Indonesia menjalankan sebuah operasi intelijen yang dikenal dengan sebutan Operasi Alpha pada 1978. Operasi itu dilakukan Indonesia berkaitan dengan pembelian pesawat Skyhawk milik Israel. Tak sendiri, pembelian pesawat Skyhawk itu turut melibatkan Badan Intelijen ABRI (BIA).
Kala itu Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani, atau L.B. Moerdani yang jadi otak pengadaan tersebut. Moerdani merancang operasi rahasia kala ia masih menjabat sebagai Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan. Pembelian Skyhawk saat itu memang dilakukan secara diam-diam mengingat sentimen anti-Israel yang masih kencang berembus bahkan hingga kini di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Operasi rahasia TNI Angkatan Udara (TNI-AU) ini dilakukan untuk membeli 32 unit pesawat tempur Douglas A-4 Skyhawk dari militer Israel. Tak hanya membeli, Indonesia turut mengirimkan orang ke Israel untuk menjalani pelatihan pilot dan menyamarkan kedatangan pesawat tempur itu agar bisa dibawa pulang ke tanah air pada 1980 silam.
Eks Panglima ABRI, L. Benny Moerdani. Foto: Dok. Istimewa
Operasi tersebut turut diungkap oleh mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas), Marsda Djoko Poerwoko lewat biografinya berjudul 'Menari di Angkasa'. Menurut Poerwoko, peristiwa tersebut adalah merupakan 'operasi clandestine (rahasia) terbesar yang dilakukan oleh ABRI'. Kendati demikian, TNI tidak pernah mengakuinya hingga saat ini.
Untuk dapat tiba ke Indonesia, pesawat itu diketahui dikirim secara berkala melalui jalur laut. Empat pesawat di antaranya dikirim langsung dari Israel menggunakan kapal.
ADVERTISEMENT
Untuk mengelabui sejumlah pihak, selama pengiriman di perjalanan nama pesawat Skyhawk dibungkus plastik bertuliskan F-5, jenis pesawat tempur buatan Amerika. Hal itu dikarenakan di saat yang bersamaan Indonesia juga membeli pesawat jenis F-5 dari Amerika Serikat.
Soal spesifikasi yang jempolan, jadi alasan utama kenapa kala itu TNI AU menjatuhkan pilihan pada Skyhawk. Jet tempur Israel dikenal sebagai pesawat tempur yang terbilang unggul berdasarkan pertimbangan matang yang dilakukan TNI Angkatan Udara.
Ilustrasi pesawat tempur Foto: Reuters/Yonhap
Salah satu keunggulan pesawat asal Israel itu yakni air refueling, yakni kemampuan untuk mengisi bahan bakar sekalipun dalam kondisi mengudara. Tak hanya itu, A-4 Skyhawk juga diklaim dapat meluncurkan rudal anti-radiasi. Atas pertimbangan itulah pilihan jatuh kepada Skyhawk untuk menggantikan F-86 Sabre dan T-33 Thunderbird yang tergolong uzur.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, saat itu Amerika Serikat dapat memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II, tetapi hal itu dianggap belum dapat mencukupi kebutuhan AU. Ditambah lagi, Indonesia saat itu harus menghadapi operasi militer lanjutan di Timor Timur.
Pihak intelijen saat itu mendapat informasi, bahwa Israel akan menjual 32 pesawat A-4 Skyhawk. Akan tetapi masalahnya saat itu selain tidak ada hubungan diplomatik yang dijalin kedua negara, pembelian pesawat tempur ke Israel jelas akan menuai protes keras dari masyarakat. Tapi pihak ABRI memutuskan untuk tetap melanjukan operasi itu.

Mengirimkan 10 Pilot TNI AU ke Israel

Tak cukup hanya membelinya dari Israel, Indonesia dalam hal ini TNI AU juga mengirimkan 10 pilot untuk menjalani pelatihan termasuk di dalamnya mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsda Djoko Poerwoko. Hal yang menarik, tak satu pun dari 10 pilot tersebut termasuk Djoko yang mengetahui bahwa mereka akan diberangkatkan ke Israel.
ADVERTISEMENT
10 perwira itu akhirnya diberangkatkan melalui Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia menuju Pangkalan Udara Paya Lebar, Singapura. Setibanya di Singapura, mereka langsung dijemput oleh sejumlah petugas intel ABRI.
Lanud Halim Perdana Kusuma. Foto: Ricky Febrian/kumparan
Saat makan malam, salah seorang perwira Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI meminta paspor mereka dan menggantinya dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP).
Saat itulah Kepala BAIS ABRI Mayor Jenderal Benny Moerdani, memberikan perintah. Dalam kesempatan itu pula Moerdani menyatakan bahwa operasi tersebut merupakan misi rahasia. Jika gagal, pemerintah Indonesia mengancam tidak akan mengakui kewarganegaraan mereka lagi. Moerdani pun turut memberikan pilihan bagi perwira yang ragu untuk menjalankan misi tersebut.
Operasi ini dianggap berhasil jika pesawat tempur A-4 Skyhawk milik Israel yang diberi kode 'merpati' berhasil dibawa pulang ke Indonesia. Malam itu juga sepuluh perwira langsung diganti identitasnya. Seluruhnya dikantongi identitas bukan dengan nama Indonesia dan bukan sebagai tentara warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT

Pelatihan Bagi 10 Perwira di Israel

Setibanya di Israel, 10 perwira langsung ditangkap dan digiring oleh petugas keamanan bandara Ben Gurion Tel Aviv, Israel. Diketahui petugas itu merupakan agen rahasia Mossad dan ditugaskan untuk membawa 10 perwira AU itu ke ruang bawah tanah dimana para perwira BAIS ABRI sudah menanti mereka.
Saat dalam penyekapan, kesepuluh penerbang dijelaskan informasi singkat soal hal-hal apa saja yang harus mereka lakukan saat proses belajar nantinya berlangsung. Karena Indonesia tak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, mereka pun diminta untuk mengaku sebagai penerbang asal Singapura.
Percakapan dalam bahasa Ibrani seperti seperti 'Ani tayas mis Singapore' yang artinya 'aku penerbang dari Singapura' hingga sapaan 'boken tof' yang berarti selamat pagi jadi beberapa dialog yang diajarkan kepada penerbang Indonesia.
ADVERTISEMENT
Atas kesepakatan, selama latihan Pangkalan Udara itu dinamai Arizona. Karena resminya memang para penerbang itu akan dikirim ke Arizona. Di sana mereka berlatih dengan pesawat A-4 Skyhawk. Melakukan berbagai manuver, mengoperasikan pesawat tempur sebagai mesin perang, hingga menembus perbatasan Suriah.
Sekitar 4 bulan berselang, latihan terbang berakhir tanggal 20 Mei 1980. Para perwira pun dinyatakan lulus dan berhak mendapatkan ijazah dan brevet penerbang tempur. Namun para perwira intelijen ABRI yang hadir justru membakarnya di depan para pilot itu. Hal itu dilakukan tentu saja untuk menghilangkan bukti bahwa pernah ada kerja sama militer antara Indonesia dan Israel.
Untuk mengelabui sejumlah pihak, para penerbang juga dibawa ke Amerika Serikat untuk sekedar berfoto-foto. Hal itu dilakukan agar terlihat seolah-olah bahwa mereka memang dikirim ke AS, bukan ke Israel. Kepada para komandan di kesatuan pun, para pilot ini harus mengaku telah dilatih di AS, bukan Israel.
ADVERTISEMENT
Hingga pada akhirnya, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama yang terdiri dari dua pesawat single seater dan dua pesawat double seater tiba di Tanjung Priok pada 4 Mei 1980. Pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, lengkap balutan plastik pembungkus, berlabel F-5. Pesawat A-4 Skyhawk pertama kali dipamerkan pada publik, Oktober 1980.
Pesawat ini pun pernah dipakai dalam 'Operasi Seroja' atau lebih dikenal dengan pendudukan Indonesia atas Timor Timur sejak 1975 sebelum akhirnya dipensiunkan pada 2004.
Sampai saat ini, 'Operasi Alpha' tak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia.