Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Minggu malam, 19 Mei 2024, dua pria bermasker masuk ke restoran Prancis di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Satu berkaus hitam, satu lagi berkaus putih dibalut jaket berkelir cokelat dengan topi hitam di kepala.
Beberapa saat sebelum keduanya masuk, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus ) Febrie Adriansyah tiba lebih dulu bersama dua pengawal dari Polisi Militer dan langsung naik ke ruangan VIP di lantai dua restoran. Sementara dua pria bermasker yang datang belakangan, menuju meja di samping kaca di lantai satu. Mereka duduk berhadapan dan memesan penganan.
Tak lama setelah pesanannya tiba, dua pria bermasker itu minta pindah ke lantai atas dengan alasan ingin merokok. Di lantai dua, mereka memilih meja di bagian outdoor yang beralaskan rumput sintetis, tak jauh dari ruangan VIP tempat Febrie berada. Di situ, keduanya merokok sambil diam-diam mengarahkan alat yang diduga penyadap ke ruangan VIP.
Para pengintai itu tak sadar bahwa mereka juga diintai. Dari dalam ruangan VIP, ajudan Febrie mengawasi dengan hati-hati. Ia merasa gerak-gerik kedua pria itu mencurigakan. Bagaimana tidak, sebab mereka merokok sambil tetap mengenakan masker! Usai mengisap rokok, mereka langsung menaikkan kembali maskernya, seolah-olah tak mau wajahnya diketahui.
Ajudan Febrie tak tinggal diam. Ketika ada dugaan alat penyadap diarahkan ke ruangan VIP, salah seorang ajudan langsung menghampiri kedua pria bermasker. Pria berkaus hitam ia tangkap, sedangkan pria berkaus putih kabur.
Dua sumber kumparan yang mengetahui peristiwa memata-matai yang gagal tersebut mengatakan, “operasi ” penguntitan Jampidsus tak hanya dilakukan oleh dua orang—yang kurang lihai—itu, melainkan oleh sekelompok personel yang diduga berjumlah 6-12 orang, dengan beberapa anggota di antaranya berasal dari satuan kepolisian di Jawa Tengah.
Pria berkaus hitam yang tertangkap ajudan Febrie lalu dibawa ke Kejaksaan Agung untuk diinterogasi. Identitas sang mata-mata pun terkuak. Namanya Iqbal Mustofa, pangkatnya Brigadir Polisi Dua (Bripda), satuannya Detasemen Khusus 88 Antiteror. Iqbal membawa kartu identitas pegawai BUMN telekomunikasi dengan foto dirinya, namun menggunakan nama berbeda.
“Kemudian diperiksa HP-nya, ternyata memang ada profiling Pak Jampidsus dan beberapa orang lain,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung saat itu, Ketut Sumedana, kepada kumparan di kantornya, Kamis (30/5).
Data-data di ponsel Bripda Iqbal lantas diambil, sedangkan Febrie menelepon Kabareskrim Komjen Wahyu Widada untuk mengetahui maksud penguntitan terhadapnya. Namun Wahyu mengaku tidak tahu-menahu. Begitu pula dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat ditanya Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Kapolri dan Jaksa Agung kemudian berkoordinasi. Sesudahnya, Bripda Iqbal dijemput personel Biro Pengamanan Internal Divisi Propam Polri malam itu juga.
“Kami serahkan ke Paminal sesuai dengan jalurnya. Biar mereka (Polri) yang menyelesaikan,” ucap Ketut.
Dari kantor Adhyaksa, Bripda Iqbal dibawa ke Mabes Polri yang hanya berjarak sekitar 1 km. Ia kembali diperiksa, kali ini oleh Propam.
“Hasil pemeriksaannya tidak ada masalah. Berarti dari sisi disiplin etika dan pelanggaran lain juga tidak ada,” ucap Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugraha.
Keesokan malamnya, 20 Mei, gedung Kejaksaan Agung diputari konvoi Brimob bersirine. Tiga hari kemudian, konvoi serupa berulang, bahkan disebut-sebut ada drone misterius yang ikut memantau.
Ketut Sumedana menyatakan, aksi tersebut masih terkait dengan upaya penguntitan terhadap Jampidsus. Menurutnya, “... semuanya sudah dilaporkan kepada pimpinan. Pimpinan sudah menyelesaikannya dengan baik.”
Sementara menurut Irjen Sandi, konvoi tersebut merupakan patroli rutin biasa.
“Kegiatan patroli yang dilaksanakan oleh anggota kepolisian di mana pun berada,” tuturnya Sandi.
Motif dan Aktor Misterius di Balik Penguntitan Jampidsus
Meski insiden penguntitan Jampidsus telah dikonfirmasi Kejagung dan Polri, sosok pemberi perintah maupun motif di baliknya masih misteri sehingga memunculkan berbagai spekulasi, antara lain dugaan bahwa hal tersebut berhubungan dengan kasus di Kejagung yang melibatkan 3 perwira tinggi Polri (2 aktif dan 1 purnawirawan), atau dugaan bahwa petinggi Kejagung bermanuver ke sejumlah pihak yang terlibat kasus.
Seorang anggota Komisi Hukum DPR menyatakan bahwa ragam dugaan itu masih simpang siur dan karenanya perlu diuji, walau bukan tak mungkin salah satunya bisa jadi benar. Anggapan itu sejalan dengan sejumlah informasi lain.
Lima sumber kumparan—dua di antaranya pejabat di lingkar Polri dan Istana—menyatakan bahwa operasi penguntitan itu terindikasi kuat terkait akses pemanfaatan tambang yang terganggu oleh proses hukum di Kejagung.
Kasus pertambangan yang tengah ditangani tim Jampidsus saat ini adalah dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015–2022 yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun.
Kerugian sebesar itu berasal dari tiga komponen, yakni: 1) Kemahalan harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp 2,85 triliun; 2) Pembayaran bijih timah ilegal oleh PT Timah ke mitra penambang sebesar Rp 26,64 triliun; dan 3) Kerugian karena kerusakan lingkungan sebesar Rp 271 triliun.
Kejagung sejauh ini telah menjerat 22 tersangka dalam kasus tersebut, antara lain Dirjen Minerba ESDM periode 2015–2020 Bambang Gatot Ariyanto; pengusaha tambang Harvey Moeis yang merupakan suami aktris Sandra Dewi; dan crazy rich PIK Helena Lim.
Dua sumber kumparan, yang salah satunya di lingkup Istana, mengatakan ada pihak yang terusik dengan penanganan kasus di Kejagung itu, sebab pihak tertentu yang selama ini menikmati hasil tambang ilegal berpotensi tergusur pihak lain, baik yang melibatkan pribadi maupun institusi.
Sumber-sumber itu menengarai ada mantan perwira tinggi Polri dalam daftar pihak yang terusik. Senada, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus dalam sebuah siniar menyebut ada keterlibatan purnawirawan jenderal bintang empat berinisial B pada kasus timah.
Penanganan kasus timah bahkan dibumbui isu politik terkait adanya niat untuk mengincar kursi Jaksa Agung di pemerintahan Prabowo mendatang.
Dugaan pertama soal adanya perebutan pengaruh pengelolaan tambang antarpejabat di balik aksi penguntitan terhadap Jampidsus diamini eks perwira tinggi Polri Irjen (Purn) Ansyaad Mbai. Menurutnya, operasi penguntitan itu berkelindan dengan pergantian tauke atau bos di tambang timah.
“Dari medsos, saya lihat ternyata betul ada tauke baru yang muncul sebagai penguasa dari pengelolaan sumber daya alam ini. Anehnya—atau mungkin tidak aneh, pergantian tauke ini terjadi pada masa transisi penguasa politik,” kata Ansyaad dalam sebuah dialog.
Sumber yang mengetahui perkara timah tersebut menambahkan, upaya menguntit Jampidsus juga diduga terkait kesaksian salah satu tersangka pada Berita Acara Pemeriksaan Kejagung soal aliran dana. Fulus itu disebut mengalir ke dua perwira tinggi Polri aktif.
Sementara terkait hasil interogasi terhadap Bripda Iqbal terkait motif dan pemberi instruksi menguntit, Ketut enggan menjawab. Menurutnya, begitu tahu Iqbal anggota Polri, pihaknya tidak mendalami lagi. Apalagi dari komunikasi Kejagung dengan Kapolri dan Kabareskrim, kedua pejabat Polri itu pun tidak tahu soal operasi tersebut.
Dalam konferensi pers, Jampidsus Febrie enggan menjawab gamblang pertanyaan apakah ada purnawirawan Polri yang mungkin terlibat dalam kasus dugaan korupsi timah. Ia hanya menekankan bahwa dalam mengusut perkara timah, pihaknya bersikap profesional.
Irjen Sandi pun ketika ditanya selalu merujuk pada pemeriksaan Bripda Iqbal oleh Propam yang hasilnya menunjukkan tidak ada masalah. Sandi juga merujuk ke pernyataan Kapolri usai bertemu Jaksa Agung pada 27 Mei, sepekan usai penguntitan, bahwa tidak ada masalah antara keduanya.
Berdasarkan amatan Guru Besar Kriminologi UI Adrianus Meliala, penguntitan Jampidsus oleh Densus dilatarbelakangi oleh hubungan informal, bukan atas perintah institusi.
Hubungan informal yang ia maksud adalah penggunaan pengaruh kedekatan, semisal senior-junior atau atasan-bawahan. Terlebih, sekalipun senior atau atasan sudah pensiun, pengaruh kedekatan itu masih melekat di Polri.
“Diduga kuat yang memerintah [menguntit] sebenarnya orang lain yang memiliki kedekatan dengan Bripda itu, sehingga ketika dia punya agenda, punya kepentingan, maka digunakanlah yang bersangkutan (Bripda Iqbal) untuk melakukan penguntitan,” kata Adrianus, Jumat (31/5).
Eks Komisioner Kompolnas dan pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) itu menambahkan, banyaknya hubungan informal di Polri berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan di kemudian hari.
“Awalnya saling memberi, saling menguntungkan, lalu lama-lama jadi hubungan emosional. Kemudian ketika ada kebutuhan, si anggota Polri yang [masih aktif] bertugas ini bersedia membantu betapa pun bantuan itu sebetulnya di luar tugas dan fungsinya,” ujar Adrianus.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyatakan, operasi penguntitan Jampidsus telah melenceng dari tugas inti Densus, yakni pemberantasan terorisme. Kecuali jika Jampidsus dicurigai terkait dengan kegiatan terorisme.
“[Melakukan] klarifikasi penting bagi kepolisian agar Densus yang tugasnya di ranah pemberantasan terorisme benar-benar fokus melakukan tupoksinya, tidak melebar ke mana-mana. Tugas lain sudah ada [wewenangnya] di satuan lain seperti Intelijen atau Bareskrim,” kata Bambang pada kumparan.
Sumber kumparan di lingkar Polri berpendapat, pelibatan Densus dalam pengintaian sah saja asalkan berdasarkan surat perintah. Tanpa surat perintah, itu artinya menyalahgunakan alat negara. Dalam hal ini, menyalahgunakan keahlian Densus dalam menyusup dan menganalisis (profiling) seseorang—dua keahlian yang biasa dipakai pada operasi non-terorisme.
Ansyaad mengatakan, berdasarkan hasil diskusinya dengan tokoh-tokoh senior Densus, upaya penguntitan Jampidsus dilakukan oleh kelompok Densus sempalan di luar komando Kepala Densus Irjen Sentot Prasetyo.
Menurut Ansyaad, penugasan Densus yang resmi pasti diawali dengan perencanaan matang, bahkan Kadensus kadang mengundang tokoh-tokoh senior—termasuk yang sudah pensiun—untuk meminta masukan mengenai orang yang menjadi target agar tidak salah tangkap.
“Jadi pengintaian [terhadap Jampidsus] ini di luar perintah resmi dari komandannya,” ucap Ansyaad.
kumparan menghubungi Jubir Densus Kombes Aswin Siregar untuk bertanya lebih lanjut soal ini, namun belum direspons.
Hati-Hati Jadi Bara dalam Sekam
Saat kasus penguntitan mencuat, Presiden Jokowi memanggil Kapolri Jenderal Listyo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin, Senin (27/5). Listyo kemudian menegaskan Polri tidak punya masalah dengan Kejagung. Burhanuddin pun mengunggah foto kebersamaannya dengan Listyo di akun medsos.
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto turut meredam isu penguntitan. Saat berjalan keluar Istana pada Senin itu, Hadi merangkul Burhanuddin dan Listyo.
“[Situasi] adem, dingin. Media harus bantu mendinginkan suasana,” ucapnya.
Kejagung dan Polri kemudian menyampaikan pernyataan resmi masing-masing terkait isu penguntitan Jampidsus. Kedua institusi kompak menyebut masalah penguntitan sudah selesai.
“Masak kita harus bergelut dengan situasi [kesalahpahaman] seperti itu. Yang penting antara pimpinan sudah ketemu, selesai,” kata Ketut.
Irjen Sandi sepakat. Menurutnya, “Karena pimpinan sudah mengatakan tidak ada masalah, berarti antara kejaksaan dan polisi baik-baik saja. Kalau masalah diperpanjang, justru kami curiga ada pihak-pihak tertentu yang memang ingin mengadu domba antara kejaksaan dan kepolisian.”
Di sisi lain, Bambang Rukminto berpendapat keputusan menganggap selesai masalah yang sebetulnya belum tuntas memiliki konsekuensi buruk, sebab suatu saat kasus serupa bisa muncul lagi dengan gesekan yang lebih besar.
“Elite Polri-Kejaksaan bersalaman seolah-olah clear. Ini hanya menimbun bara dalam sekam dan suatu saat bisa membakar semuanya,” kata Bambang.
Ansyaad tidak yakin Jaksa Agung dan Kapolri akan mengungkap persoalan sebenarnya di balik perkara penguntitan Jampidsus. Ia juga tak yakin masalah serupa tak akan muncul lagi.
“Sekarang di [kasus] timah. [Kalau nanti terjadi di kasus] batu bara, tidak tahu [bagaimana]. Kalau nikel booming, belum tahu lagi. Akan muncul situasi yang sama—ada tauke-tauke, dan tauke-tauke itu ada yang mengamankan,” kata Ansyaad.
Sikap Polri yang tidak menjelaskan motif penguntitan maupun aktor di baliknya, dan justru menekankan bahwa si penguntit—Bripda Iqbal—dari hasil pemeriksaan tidak melanggar etik, justru bisa memunculkan persepsi bahwa tindakan penguntitan oleh Densus adalah sesuatu yang wajar.
“Ini jadi blunder kepolisian, artinya hal-hal seperti itu (penguntitan) bisa dilakukan kepada siapa saja. Kalau kepada Jampidsus yang selevel bintang 3 saja bisa, apalagi masyarakat,” ucap Ansyaad.
Sementara Adrianus menilai, keputusan menganggap kasus ini selesai adalah karena faktor ewuh pakewuh alias memendam sungkan, sebab sosok di balik kasus timah diduga merupakan senior setara bintang 4 yang pernah memiliki jabatan tinggi.
“Kalau tidak ‘bintang empat’, Polri juga tidak akan segan-segan melakukan proses [hukum], memenjarakan,” ucapnya.
Meski kasus penguntitan dianggap selesai, Bambang berharap suatu saat Polri dapat bersikap transparan kepada publik. Jangan sampai muncul anggapan bahwa Polri tidak tegas, sebab jika penegakan hukum tak tegas, hal itu akan berpengaruh ke bidang-bidang lain, termasuk ekonomi dan investasi.
“Salah satu prasyarat investasi itu penegakan hukum. Kalau penegakan hukumnya amburadul, orang takut investasi. Yang berani [investasi] ya orang-orang/korporasi yang berpotensi melanggar hukum karena bisa main mata dengan penegak hukum,” tutur Bambang.
Lebih lanjut bila itu terjadi, menurutnya, “Akan sangat bahaya karena artinya negara dijadikan alat mafia korporasi. Seolah-olah negara hukum, tapi nyatanya dikuasai mafia.”