Opium, 'Teman Jahat' Orang Jawa di Masa Kolonial

6 Maret 2019 16:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pria pengguna opium berfoto bersama. Foto: Dok. KITLV 1405294
zoom-in-whitePerbesar
Pria pengguna opium berfoto bersama. Foto: Dok. KITLV 1405294
ADVERTISEMENT
Penangkapan elite Partai Demokrat Andi Arief karena kedapatan memakai narkotika jenis sabu pada Minggu (3/3) menyita perhatian publik. Ini bukan kali pertama elite politik tersandung kasus narkotika.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan kumparan, setidaknya dalam kurun waktu empat tahun terakhir, ada 6 politikus lain yang terjerat kasus narkoba. Ada yang harus merasakan jeruji besi, ada pula yang hanya direhabilitasi.
Narkotika sendiri telah menjadi candu di Indonesia sejak abad ke-16. Bahkan, kala itu, opium menjadi primadona di kalangan elite dan kaum pekerja Jawa.
Jenis candu yang bentuknya seperti ampas rokok, berwarna coklat kehitaman. Bisa membuat penggunanya ketagihan dan berdampak pada penurunan imunitas tubuh. Jika mengkonsumsi terus-menerus, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Biji Opium. Foto: Dok. Pixabay
Lantas, bagaimana awal mula ‘barang haram’ itu masuk ke Nusantara?
Pada tahun 1596, saat orang-orang Belanda pertama kali mendarat di Jawa, opium juga sudah menjadi bagian penting bagi perdagangan regional. Pemerintah Belanda membawa masuk opium ke Nusantara melalui pedagang swasta di Levant, Belanda.
ADVERTISEMENT
Dari Belanda, opium dibawa dengan kapal dan dimasukkan ke pelelangan di Calcutta, India. Dari sana kemudian dibawa ke agen-agen di British Singapore.
Dari sanalah, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membawanya masuk ke Jawa lalu menyimpannya di gudang-gudang opium di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Berdirinya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Amsterdam pada 20 Maret 1602 pun membuat penguasaan Belanda pada opium semakin besar. Kemudian, para kongsi dagang Belanda berhasil mendominasi perdagangan, termasuk opium di Nusantara.
“Pada tahun 1677 di Batavia, VOC berhasil mendapat persetujuan dengan Raja Amangkurat II untuk memonopoli dengan mengimpor perdagangan opium. Dari titik ini awal monopoli perdagangan opium Belanda di Jawa,” kata James Rush dalam Candu Tempo Doeloe (2012).
ADVERTISEMENT
Pada awal kebijakannya monopoli ini dijalankan melalui badan Amfioen Societeit yang berfungsi sebagai perantara VOC. Harga opium kala itu dijual sekitar 430 gulden per bungkus.
Harga mahal itu membuat perdagangan opium tak menguntungkan pemerintah Belanda. Alhasil, Amfioen Societeit dibubarkan. Belanda pun membentuk lembaga baru bernama Amfioen Directie untuk memberantas perdagangan gelap opium.
Seiring berjalannya waktu, keuangan VOC semakin karut-marut. Mereka bangkrut hingga bubar pada tahun 1799. Akibatnya, sistem perdagangan opium kembali berubah. Mereka kemudian menggunakan sistem pemborongan atau opium pacht.
Ladang Opium. Foto: Dok. Pixabay
Opium Kian Berkembang
Ketika Inggris berhasil menguasai Hindia Belanda pada 1811, perdagangan opium awalnya akan berakhir. Wakil Gubernur Thomas Stamford Raffles yang berkuasa kala itu berpendapat, opium berdampak sangat buruk pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Namun hal tersebut ditentang dan tidak disetujui oleh pimpinan Raffles di Calcutta,” tulis Abdul Anzis Nugroho dalam Peredaran Opium di Karesidenan Jepara (2015).
Sejarawan Peter Carey menyebut, pada periode 1811 hingga tahun 1824 nilai penjualan opium justru meningkat tajam di Hindia Belanda. Salah satunya, di Yogyakarta.
Peningkatan harga itu sangat terpengaruh inflasi dan penerapan monopoli Inggris yang lebih keras. Pajak dari perdagangan candu meningkat hingga lima kali lipat.
Tapi, kekuasaan Inggris di Nusantara hanya berlangsung hingga tahun 1816. Saat itu, Inggris harus menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda kepada Belanda sebagai bagian dari persetujuan mengakhiri Perang Napoleon.
Masuk kembalinya pemerintah Hindia Belanda membuat pengaruh opium di kehidupan masyarakat kian bertambah besar. Hal ini tampak pada kebiasaan kalangan bangsawan yang memandang opium sebagai bagian dari keramahtamahan.
ADVERTISEMENT
“Di pesta-pesta kalangan atas para tetamu pria disuguhi opium,” kata Abdul Anzis.
Kala itu, bandar-bandar membagi opium menjadi dua jenis yakni Cako dan Cakat. Cako merupakan jenis opium yang dikonsumsi dengan diisap langsung pakai pipa. Sementara Cakat, jenis opium yang berasal dari Turki. Kualitasnya lebih rendah dari Cako.
Biasanya opium jenis Cakat ini dicampur dengan sirup gula dan daun awar-awar yang sudah dirajang halus. Opium yang telah dicampur dengan daun awar-awar itu disebut Tike. Jenis inilah yang sering dikonsumsi oleh orang-orang atau kalangan pekerja di Jawa.
Ladang bunga opium. Foto: Dok. Pixabay
Sementara kalangan bangsawan, biasanya menggunakan opium jenis Cako yang dicampur penguat rasa kualitas tinggi. Kebiasaan lain yakni menyeduh kopi yang dicampur serbuk opium.
ADVERTISEMENT
“Candu dapat menghilangkan rasa tidak enak badan, penyakit kelamin dan menambah fantasi seksual. Di sisi lain candu bagi orang Jawa merupakan teman yang jahat. Meskipun membawa dampak kesenangan terkadang juga menimbulkan kebencian,” kata Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa (2008).
Pada tahun 1860-1890 wilayah Jawa terutama daerah-daerah Karesidenan Jepara yang meliputi Jepara, Juwana, Pati, dan daerah sekitarnya menjadi pusat perdagangan opium. Itu karena, pasokan opium dari Pemerintah Hindia Belanda disambut baik oleh raja-raja lokal.
Kondisi itu dimanfaatkan pemerintah kolonial untuk memonopoli perdagangan opium. Mereka membatasi opium di pasaran sehingga harga semakin mahal. Harga mahal itu pun berjalan beriring dengan penarikan pajak yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT