Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Orang Indonesia Ternyata Sudah Kenal Minyak Goreng Sejak 200 Tahun Terakhir
29 Maret 2022 13:50 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana awalnya orang Indonesia mengenal minyak goreng? Sejak kapan pula kita familiar dengan teknik menggoreng dalam memasak?
Mari kita bahas.
Dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia (2008), Denys Lombard menyebutkan teknik menggoreng berasal dari orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa juga memperkenalkan alat yang digunakan untuk menggoreng, yakni kuali serta penggorengan. Hal inilah yang kemudian diadopsi oleh orang Indonesia.
Berdasarkan dokumen sejarah, bukti bahwa masyarakat Indonesia mengenal minyak goreng dimulai sejak 200 tahun lalu. Hal tersebut terekam dalam naskah Serat Centhini.
Dalam buku Kuliner Dalam Serat Centhini (2014) yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) Yogyakarta, disebutkan bahwa Serat Centhini merupakan karya besar sastra Jawa kuno yang banyak mengandung berbagai macam pengetahuan. Mulai dari sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur, hingga makanan tradisional dibahas dalam naskah tersebut.
ADVERTISEMENT
Serat Centhini itu ditulis atas perintah Sunan Pakubuwana V dari Kerajaan Surakarta. Penulisan menghabiskan waktu selama 9 tahun, dari 1814 hingga 1823.
Dalam naskah tersebut, berbagai jenis makanan dan dalam peristiwa apa makanan itu dihidangkan, diceritakan secara cukup detail, khususnya pada masa kerajaan di Jawa. Makanan dalam naskah ini digolongkan ke dalam beberapa kategori, seperti makanan pokok, makanan nyamikan atau camilan, makanan jajanan, dan buah-buahan.
Salah satu kisah, misalnya, merujuk sosok Raden Jayengsari (anak dari Sunan Giri Prapen) yang melakukan perjalanan melewati wilayah Surabaya, Kediri, Bojonegara, Rembang, Purwadadi, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Purwakarta, Krawang dan Bogor.
Ketika sampai di desa Prawatadi wilayah kerajaan Undakan, Raden Jayengsari disambut dan diberi berbagai macam makanan dan minuman oleh Ki Darmajati, pengusaha Dukuh Prawata. Makanan dan minuman yang disajikan yakni terong, pare, timun, kacang, berbagai buah-buahan, pecel ayam, dan lain-lain.
Naskah ini juga menceritakan menu makanan yang disajikan dalam upacara-upacara besar, bahkan, banyak makanan yang digoreng. Yakni seperti dendeng goreng, gepuk goreng, nasi goreng, sambal goreng, emprit goreng, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Tak hanya saat upacara, dikisahkan juga banyak yang menjual makanan saat acara pementasan wayang pada masa itu. Salah satu yang dijual adalah kupat goreng.
Dalam naskah tersebut, santapan goreng ditemukan di 9 lokasi di pulau Jawa. Yakni di Bogor, Wirasaba, Undhakan, Mataram, Wanagiri, Wanamarta, Desa Lemahbang, Lembuasta (Trenggalek), dan Tembayat.
Meski begitu, serat tersebut tak menjelaskan muasal dari minyak goreng tersebut. Namun, kuat dugaan bahwa masyarakat saat itu memanfaatkan minyak kelapa untuk menghasilkan minyak goreng. Sebab, pohon kelapa sawit saat itu belum dimanfaatkan di nusantara.
Kelapa sawit sendiri baru diboyong Belanda pada abad 19 ke Indonesia. Peneliti minyak kelapa sawit, Josie Phillips, dalam tulisannya di China Dialogue, mengatakan bahwa Belanda membawa lalu menanam empat bibit pohon kelapa sawit di Kebun Raya Bogor pada 1848. Seperti yang kita ketahui pula, minyak sawit merupakan bahan pembuatan minyak goreng.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, keberadaan minyak sawit menjadi berlimpah di Indonesia. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Tentu hal ini menjadi alasan yang mendorong budaya menggoreng di Indonesia.
Melihat peran minyak goreng dalam sejarah kuliner Indonesia, sangat menggambarkan bahwa orang Indonesia tidak bisa lepas dari makanan goreng.
Wajar, ketika stok minyak goreng menipis, banyak masyarakat yang merasa kesulitan dalam memenuhi konsumsinya. Apalagi menjelang bulan Ramadhan, tak sedikit dari kita yang 'mengincar' takjil berupa gorengan.