Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Aktivis berbondong-bondong masuk di seputar istana dan pemerintahan. Namun rezim mengubah arah, mereka harus berubah?
Abetnego Tarigan mengacungkan jempol pada Dewi Kartika ketika perempuan itu turun dari podium di Istana Negara, Jakarta. Dewi membalasnya dengan sumpah serapah, lalu tertawa bersama. Keduanya adalah sohib di dunia LSM.
Abet saat itu sudah duduk di Kantor Staf Presiden. Dulu dia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Sedangkan Dewi masih menjadi aktivis selaku Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Kala itu Kamis, 20 September 2018, Dewi berdiri di podium dalam rangka soft launching Global Land Forum (GLF) yang akan digelar pada 28 September 2018 di Bandung, Jawa Barat. Organisasi yang dipimpin Dewi, KPA, didapuk menjadi panitia organisasi pertanahan internasional, International Land Coalition (ILC). Helat inilah yang mengantar Dewi di podium Istana hari itu.
Pidato Dewi, bagi Abet, merupakan puncak kiprah aktivis yang berkelindan di Istana. Dewi tetap menyampaikan kritik, tak ada sensor sedikit pun atas pidatonya. Keluh kesah atas perampasan tanah, konflik agraria, dan janji kosong pembuatan Perpres Reforma Agraria pun mengalir dalam pidato.
“Siapa aktivis yang pidato di Istana selain Dewi Kartika? Buat saya itu momentum politik, buat orang (lain) itu simbol ketaklukan itu urusan dia,” ucap Abet mengenang peristiwa itu ketika ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, pada Jumat lalu (21/2).
Kritik Dewi memantik rasa ingin tahu Presiden Jokowi soal konflik agraria. Lantas melalui berbagai pembicaraan, Perpres Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria pun terbit pada Oktober 2018.
Abet menganggap kehadiran Dewi di Istana merupakan keberhasilan kerja sama antara aktivis yang kini duduk di Istana dengan aktivis yang masih bergelut bersama organisasinya.
Abet melenggang ke halaman belakang Istana, tempat KSP berkantor, setelah diajak Teten Masduki. Mantan Sekjen Transparency International-Indonesia (TII) itu sudah sejak lama berkelindan di sekeliling Jokowi. Teten didapuk menjadi Kepala KSP pada 2 September 2015, ia pun lantas mengajak rekan aktivisnya untuk membantu.
Tugas utamanya simpel, mengurusi reforma agraria. Program ini merupakan salah satu hasil pertautan antara Presiden Jokowi dengan para aktivis. Sejak terpilih menjadi presiden pada 2014 lalu, Jokowi merumuskan reforma agraria dan perhutanan sosial menjadi bagian program utamanya dalam Nawa Cita. Banyak aktivis masuk Istana untuk mengawal kebijakan presiden terkait isu ini.
Program ini terbilang cukup ambisius. Jokowi mencanangkan angka cukup besar, yakni 12,7 juta hektare untuk perhutanan sosial dan 9 juta hektare Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Tak heran jika Jokowi membutuhkan tangan-tangan aktivis yang bergelut di isu ini untuk menyelaraskan kebutuhan masyarakat dengan birokrasi dan kekuatan politik di sekelilingnya.
Abet kala itu duduk bersanding dengan Noer Fauzi Rachman, Iwan Nurdin, dan Usep Setiawan. Ketiganya merupakan pegiat KPA, organisasi yang sama dengan Dewi.
Abet sendiri duduk sebagai Tenaga Ahli Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Sosial, Ekologi, dan Budaya Strategis KSP kala itu. Tetapi ketika periode kedua Presiden Jokowi, ia naik jabatan sebagai Deputi II.
“Saya masuk sebenarnya bareng Usep Setiawan, mantan sekjen KPA juga, lebih dulu beberapa bulan. Jadi itu saja proses teknisnya,” ucap Abet.
Teten mengaku dirinyalah yang mengajak para aktivis berkecimpung di Istana ketika mulai menjabat sebagai Kepala KSP pada 2015. Menurutnya selama ini agenda reforma agraria hanya ditangani oleh kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam LSM.
“Perhutanan sosial itu saya kawal, makanya saya tarik tuh teman-teman reforma agraria untuk masuk ke Istana semua,” akunya ketika ditemui kumparan di Gedung Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah di Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat (21/2).
Ia mengaku program ini potensial karena menyangkut akses ekonomi petani. Apalagi selama ini penanganan konflik agraria cenderung tidak berpihak pada masyarakat.
Menurut perhitungannya saat ini tanah yang dikuasai industri besar mencapai 15 juta hektar. Jika alokasi pembagian reforma agraria sebesar 12,7 juta hektare dan 9 juta hektare untuk rakyat tak dikawal oleh aktivis, ia khawatir program ini tak berjalan.
“Dan ini juga kalau dibiarkan begitu saja belum tentu berjalan. Tim pemerintahan juga banyak kepentingan yang akan menghambat program-program untuk kerakyatan itu,” tandas Teten.
Iwan Nurdin, mantan Sekjen KPA yang pernah duduk sebagai Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria KSP bersama Abet sebagai tenaga ahli, mengaku ketika Teten duduk sebagai Kepala KSP pada rentang 2015-2017 euforia atas janji Jokowi di masa kampanye 2014 membesar. Ia sendiri tertarik bergabung dengan KSP ketika ditawari seniornya di KPA.
Iwan mengaku mengikuti perjalanan visi Jokowi-JK sejak masa kampanye 2014. Jokowi semasa menjadi capres bertandang ke berbagai kantor LSM seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Serikat Petani Indonesia (SPI), Bamus Tani,dan Walhi. Hasil pembicaraan dengan berbagai LSM itu kemudian masuk dalam Nawa Cita.
Lantas usai meraup kemenangan, Tim 11 mulai memperdalam Nawa Cita ke dalam program kerja pemerintah.
Tak cuma mengikuti perjalanan politik Jokowi di tengah aktivis, Iwan juga ikut terlibat mendiskusikan soal reforma agraria ketika diundang tim tersebut. Makanya tawaran untuk bergabung ke KSP yang datang di kemudian hari ia sambut baik.
Namun perjalanan untuk mengawal reforma agraria ini tidak mudah. Iwan mengaku birokrasi pemerintah di kementerian terkait dan kelompok politik seringkali menghambat perjalanan reforma agraria.
Misal saja soal redistribusi tanah, program ini tidak berjalan. Pemerintah, melalui Kementerian ATR cenderung memilih program yang mudah seperti bagi-bagi sertifikat gratis. Program ini hanya ditujukan untuk pemberian sertifikasi tanah milik perorangan tanpa menjangkau tanah-tanah sengketa antara masyarakat dengan korporasi atau negara.
“Reforma agraria itu itu 9 juta hektar, dibagi 4,5 juta hektare namanya sertifikasi dan 4,5 juta lain namanya redistribusi. Nah karena keduanya dinamakan reforma agraria, yang paling gencar dijalankan sertifikasi,” jelasnya.
Hal sama diakui oleh Abetnego, ia mencontohkan peliknya perdebatan ketika membicarakan syarat pengajuan Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres No. 88 Tahun 2017). Kementerian LHK waktu itu meminta syarat bahwa warga harus memiliki KTP jika ingin mendapatkan tanah padahal tidak semua penduduk kawasan hutan memilikinya.
“Pertanyaan kita, ada enggak jaminan bahwa negara ini memastikan setiap warga negara yang 17 tahun ke atas atau sudah menikah punya KTP. Itu enggak bisa dijawab. Akhirnya diputuskan boleh dengan keterangan kepala desa,” ucap Abet.
Keluhan pun juga disampaikan oleh aktivis di luar istana. Pasalnya laju berbagai kasus konflik agraria maupun kriminalisasi petani akibat konflik tak menoreh banyak keberhasilan. Ketua YLBHI Asfinawati menyebutkan berbagai pendampingan yang dilakukan lembaganya belum menemukan titik terang.
Menurutnya keberadaan aktivis ataupun mantan aktivis di lingkaran Presiden Jokowi tak memberikan banyak manfaat. Beberapa rekannya telah bertandang ke KSP, bahkan tidak hanya sekali namun berbagai permasalahan hukum yang melilit petani tak kunjung selesai.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengaku sering geregetan dengan kondisi penuntasan konflik agraria. Dari 580 konflik agraria yang meletus selama 2014-2019, KPA mencatat hanya empat kasus yang bisa terselesaikan dalam periode pertama Jokowi.
Hal serupa juga diungkap oleh peneliti Sajogyo Institut, Roy Murtadho. Menurutnya, aktivis di sekeliling Istana kehilangan taji. Keberadaan mereka sia-sia karena laju angka penuntasan kasus agraria dan kriminalisasi tak kunjung menurun.
“Lebih baik mereka keluar dari sana karena tidak ada gunanya,” jelas Roy.
Mati Suri Pemberantasan Korupsi
Kekecewaan tak hanya dialami oleh aktivis agraria. Para aktivis anti korupsi juga menelan hal yang sama, lebih-lebih setelah terbitnya revisi UU KPK pada akhir 2019 lalu dan performa pimpinan baru KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu.
Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, menyebut lembaganya kecewa dengan Teten Masduki karena tak berdaya ketika revisi UU KPK bergulir pada September 2019. Upaya mencegat surat presiden agar pembahasan revisi UU KPK tak berlanjut juga gagal.
Ketika isu revisi UU KPK bergulir pun tak banyak pembicaraan soal dugaan pelemahan KPK. Para aktivis itu malah sibuk berbicara soal ekonomi.
“Kalau kami sih dia (Teten) juga harus menerima kenyataan bahwa teman-teman di luar kecewa dengan situasi saat ini. Itu kan terlihat saat ini, KPK-nya ompong, itu kan jelas. Sayangnya tidak ada sikap yang tegas dari teman-teman di dalam pemerintahan,” ucap Adnan ketika ditemui di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta pada Senin (17/2).
Selama ini Teten dikenal sebagai aktivis antikorupsi. Namanya moncer sejak ia memimpin ICW dan membuktikan dugaan suap kepada mantan Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Kala itu Teten menyodorkan bukti transfer rekening Ghalib dari dua pengusaha.
Teten sendiri menganggap kekecewaan itu tak perlu berkelanjutan. Menurutnya, kekuatan aktivis di lingkaran kekuasaan masih kecil. Kekuatan ini belum mumpuni jika diharapkan dapat memberi keberhasilan dalam sekejap.
“Jumlah aktivis di kekuasaan itu masih sedikit dan yang dihadapi itu beragam kekuatan politik maupun birokrasi,” jawab Teten.
Abetnego sendiri menolak jika keberadaannya di lingkaran Istana sia-sia. Menurutnya perhitungan strategis tak melulu dilihat dari penuntasan kasus di lapangan. Paling tidak perubahan kebijakan sedikit demi sedikit tetap dilakukan.
“Ini kan cara lihatnya kita langsung ke ujung. Tapi kalau lihat secara keseluruhan. Misalnya produk-produk kebijakan yang lebih akomodatif terhadap penyelesaian kasus, kan muncul juga,” jawab Abet.