Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Orang Tua Siswa SDN Pondok Cina 1 Minta Gedung Baru, Bukan Regrouping
10 November 2022 11:44 WIB
ยท
waktu baca 4 menit![Wawan, orangtua siswa kelas 4 di SDN Pondok Cina 1 Depok. Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01ghftpscqb2ajsjg3qcy9wjzd.jpg)
ADVERTISEMENT
Pemkot Depok berencana membangun Masjid Agung Kota Depok di Jalan Margonda Raya, meski saat ini masih berdiri SDN Pondok Cina 1. Rencana relokasi sekolah tersebut ditolak keras oleh para orang tua siswa.
ADVERTISEMENT
Sekolah rencananya akan memecah 362 siswa ke dua sekolah atau regrouping, di SDN Pondok Cina 3 dan SDN Pondok Cina 5. Tetapi para orang tua khawatir regrouping akan mengganggu pembelajaran siswa.
"Yang kami mau relokasi ke satu titik. Kalau gedung belum berdiri, beri kami kesempatan sampai gedung jadi," kata orang tua dari siswa, Wawan, kepada kumparan.
"Kami belum punya target, karena kita tidak tahu gedung pemerintah mana, swasta mana, itu tanah mereka. Tapi kami ingin 362 siswa dari A ke titik B tanpa dipecah. Dan regrouping ini ada siswa yang masuk kelas siang dan Sabtu masuk. Aduh, awur-awuran," imbuh dia.
Orang tua siswa lain, Yuli, juga berharap relokasi bisa di satu bangunan untuk 362 siswa SDN Pondok Cina 1. Ia juga tak sepakat ada kelas siang.
"Harapannya harus ada gedung baru, tidak dipisah-pisah anak belajar. Dan tetep pagi seperti semula. Mudah-mudahan deket sini. Tapi kayaknya enggak mungkin. Saya [tinggal] di Margonda," kata Yuli.
ADVERTISEMENT
Pemberitahuan Mendadak, Tak Sesuai Aturan
Relokasi SDN Pondok Cina 1, imbas dari rencana pembangunan Masjid Agung Kota Depok yang dimulai sejak Februari lalu. Wawan mengatakan, ini berujung pada pertemuan besar yang dihadiri Dinas Pendidikan, kelurahan, dan perwakilan orang tua murid pada 26 Agustus 2022.
Namun pertemuan berlangsung alot dan tak mencapai kesepakatan. Sehingga akan dibahas dalam rapat lanjutan. Tetapi, surat pemberitahuan Belajar Dari Rumah (BDR) tiba-tiba disampaikan Plt kepala sekolah, Sri Widayati, kepada orang tua pada 4 November lalu.
"Rapat 26 Agustus belum ketemu, kesimpulan tunggu rapat lanjutan. Tunggu punya tunggu, taunya muncul surat dari Kepsek agar BDR. Jadi cukup lama dari 26 Agustus ke 3 November, tanpa ortu audiensi," kata Wawan.
ADVERTISEMENT
"Dikatakan ada rapat 21 Oktober, mereka sendiri (Disdik dan kelurahan), ortu tidak ada. Dan saya pun enggak diberi tahu. Tahu-tahu muncul surat pemberitahuan BDR dan tatap muka di dua SD beda atau regrouping," imbuh dia.
Selain itu, Wawan menilai rencana regrouping pun menyalahi aturan. Ia mengatakan regrouping dilakukan disdik atas dasar 'menindaklanjuti' surat wali kota terkait pengalihan fungsi lahan SD Pondok Cina 1.
"Padahal ini surat admin serahkan badan milik daerah, setelah barang diserahkan ke sekda, nanti sekda lakukan pemusnahan admin dan fisik. Dan surat ini baru usulan penghapusan inventaris dari Disdik Depok ke sekda. Dari sekda ke kita belum ada surat apa pun. Akhirnya tau-tau dari surat sekda 3 November muncul regrouping. Jadi mereka kekeuh berdasar surat ini mereka punya otoritas BDR dan regrouping," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Padahal, menurut Wawan, regrouping hanya bisa dilakukan apabila jumlah siswa kurang dari 120 dan sudah tidak ada kegiatan belajar.
"Peraturan Kemendikbud Nomor 36 Tahun 2014, regrouping hanya bisa jika jumlah siswa kurang dari 120, satuan pendidikan sudah tidak ada kegiatan belajar sekarang. Jadi penutupan bila tidak penuhi persyaratan satuan pendidikan dan tidak ada kegiatan pembelajaran," terangnya.
"Orang pembelajaran masih ada, kok. Seandainya sekolah ini ditutup, di Bab 6 Pasal 4 baru didaftarkan penyerahan aset milik negara satuan pendidikan ke pemerintah, sekda. Ini kebalik. Serah terima dulu Juli, baru regrouping. Harusnya regrouping dulu baru serah terima barang. Aneh sih," terang dia.
Terlebih, Wawan menekankan seharusnya BDR tak bisa diterapkan di luar alasan COVID-19.
ADVERTISEMENT
"BDR sekarang yang keluarkan bisa disdik, padahal BDR itu kalau pandemi, dan yang keluarkan satgas. BDR enggak dikenal dunia pendidikan," ujarnya.
Kepsek hingga Guru Tak Terlihat di Sekolah
Hingga saat ini tak ada satu pun guru, staf, hingga Plt Kepala Sekolah, Sri Widayati. Mereka hanya menindaklanjuti BDR dengan memberikan tugas melalui chat atau voice note WhatsApp.
"Saat ini kami mereka ajak bicara enggak muncul, enggak komunikasi jadi kami ajak DPRD. Kemendikbud datang Senin kemarin, mereka hanya fasilitasi tapi belum mediasi. Kemarin enggak ada undakan tangga mereka berkilah, 'kan BDR. Kenapa masuk?' Nah, dasar hukum BDR kita mau gugat," jelas dia.
"Karena guru ASN, mereka ikut atasnya. Diinstruksikan BDR, mereka patuh lah. Jadi guru relawan partai, ortu, dan anak UI [yang ngajar di sekolah]. Saya juga ngajar. Saya ngurus anak saya, kasihan baru kelas 4," tandasnya.
ADVERTISEMENT