Orang Utan Sumatera Makin Sedikit, Kejahatan Hewan Langka Makin Marak

15 Agustus 2021 19:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Narasumber perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar di Kantor YOSL-OIC Medan. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Narasumber perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar di Kantor YOSL-OIC Medan. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Jumlah orang utan Sumatera diperkirakan hanya 14.470 ekor. Turunnya populasi orang utan disebabkan karena banyak oknum yang melakukan jual beli dan untuk dipelihara secara pribadi.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar di Kantor YOSL-OIC, Kepala Bidang Teknis KSDA Balai BBKSDA Sumut Irzal Azhar mengatakan kejahatan terhadap orang utan semakin marak.
Acara diskusi digelar memperingati Hari Orang utan Sedunia 2021 atau World Orangutan Day oleh sejumlah lembaga seperti Sumatera Tropical Forest Journalism (STFJ), Forum Orang utan Indonesia (Forina) dan Forum Konservasi Orang utan Sumatera (Fokus).
Ia menambahkan, sudah 31 orang utan yang dikembalikan oleh masyarakat. Pihaknya mencoba melakukan pendekatan secara persuasif kepada masyarakat yang pelihara hewan tersebut.
Orangutan Sumatra (Pongo abelii) dilepasliarkan kembali kehabitatnya di kawasan hutan reintroduksi cagar Alam Jantho, Aceh Besar, Aceh, Kamis (13/2). Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
"[Kalau] dipelihara masyarakat, kemudian kami melakukan penyuluhan dan sebagainya. Bisanya mereka akan menyerahkannya kepada kami, kecuali memang 'orang-orang kuat' yang memelihara dan kami susah untuk mendobrak mereka," kata Irzal.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga disampaikan Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Subhan. Sampai saat ini pihaknya terus, bertekad untuk memburu aktor intelektual dalam praktik kejahatan terhadap satwa dilindungi.
"Saya lebih senang menangani penegakan hukum terhadap aktor intelektual yang punya skala besar, berdampak, itu akan lebih enak," tegas Subhan.
Orangutan Sumatra (Pongo abelii) saat dilepasliarkan kembali kehabitatnya di kawasan hutan reintroduksi cagar Alam Jantho, Aceh Besar, Aceh, Kamis (13/2). Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Meski begitu, lanjut Subhan, bukan berarti pelaku kejahatan kecil diabaikan. "Tapi jika dalam proses itu dia sebutkan aktor di atasnya, kami buru yang di atas itu. Intinya bagaimana kami selesaikan persoalan. Jangan cuma sekadar selesaikan pekerjaan," ujar Subhan.
Ia menambahkan aktor intelektual kejahatan hewan langka memiliki sejumlah modus. Mulai dari adanya back up dari oknum aparat hingga pemasangan jerat babi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mereka juga menggunakan media sosial untuk melancarkan aksinya. Mereka kadang juga, mengelabui petugas dengan mencampur satwa ilegal dengan satwa legal saat proses penyelundupan.
Subhan menegaskan penanganan kejahatan terhadap satwa dilindungi bersifat Ultimum Remedium. Artinya penerapan penjara merupakan alternatif terakhir, bila upaya preventif atau pencegahan tidak berjalan baik.
"Jadi ingat, penegakan hukum itu bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan. Banyak langkah bisa dilakukan. Tindakan hukum sebenarnya alternatif terakhir dalam menyelesaikan masalah," ujar Subhan.
Orang utan Sumatera, masuk kategori kritis atau critically endangered versi Internasional Union for Conservation of Nature. Berdasarkan Population and Habitat Viability Assessment 2016, jumlahnya di alam liar hanya tersisa sekitar 14.470 individu.
Jumlah tersebut sudah termasuk orang utan Tapanuli yang jenisnya baru dinyatakan berbeda dari orang utan Sumatra pada 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Orang utan Sumatra berhabitat asli di hutan dengan pepohonan tinggi.10 populasi orang utan yang tersebar di tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara dan Jambi.
Populasi terbanyak ada di Leuser Barat, yakni 5,920 individu. Lalu ada di Leuser Timur dengan 5,780 individu dan Trumon-Singkil dengan 1,270 individu.