Ortu Terdakwa Klitih Gedongkuning Duga Kasus Tak Adil: Korban Anak Dewan

8 Maret 2023 16:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim advokasi bersama ibu-ibu dari para terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning datang ke Amnesti Internasional, minta dukungan internasional, Menteng, Selasa (7/3).  Foto: Thomas Bosco/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tim advokasi bersama ibu-ibu dari para terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning datang ke Amnesti Internasional, minta dukungan internasional, Menteng, Selasa (7/3). Foto: Thomas Bosco/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Orang tua dari 3 terdakwa kasus klitih yang menewaskan pelajar bernama Daffa Adzin Albasith (17), di Jalan Gedongkuning, Kotagede, Kota Yogyakarta 3 April lalu, mendatangi kantor Amnesty International di Indonesia, Menteng, Jakarta, Selasa (7/3).
ADVERTISEMENT
Bersama tim advokasi, mereka meminta bimbingan Amnesty Internasional terkait mekanisme mana yang harus ditempuh agar mereka mendapat keadilan.
Anak-anak mereka disidang di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta dengan dakwaan melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian. Namun, dalam persidangan para terdakwa menyatakan dakwaan yang diutarakan JPU tidak benar. Bahkan salah satu terdakwa, Ryan, bersumpah tak terlibat dalam aksi yang merenggut nyawa Daffa ini.
"Tidak benar. Demi Allah bukan (pelaku), Yang Mulia," kata Ryan.
Lima terdakwa sudah dijatuhkan vonis oleh hakim. Hanif Aqil Amrulloh (19), Andi Muhammad Husein Mazhahiri (20), Fernandito Aldrian Saputra (18), dan M. Musyaffa Affandi (21) divonis 6 tahun penjara. Sedangkan terdakwa Ryan Nanda Saputra (19) 10 tahun penjara.
Vonis dijatuhkan pada November 2022 lalu. Mereka mengajukan banding.
ADVERTISEMENT
Ortu duga kasus tak adil karena pengaruh kuasa
Bersama tim advokasi, 3 dari 5 orang tua yang hadir ke Amnesti Internasional di Menteng mengatakan ada ketidakadilan dalam pengusutan kasus ini. Hal itu diduga karena korban merupakan anak pejabat.
"Korban itu juga, karena mungkin ada atensi kepentingan korban orang tuanya itu DPRD, jadi mungkin," ujar Subadriyah (51), Ibunda dari Hanif, 1 dari 5 anak yang terlibat dalam kasus salah tangkap klitih Gedongkuning.
"Kami menduga karena orang penting, ya. Jadi polisi pengin cepat-cepat tangkap," sambung Andayani ((50) Ibu salah satu terdakwa, Andi.
Para ibu dari 3 terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning yang datang ke Amnesti Internasional. Baju Abu-abu, Andayani ((50) Ibu dari Andi), Kerudung Merah, Subadriyah ((51) Ibu dari Hanif), Kerudung Ungu, Siti Wahyuni ((51) Ibu dari Fandi). Foto: Thomas Bosco/kumparan
Anak-anak disiksa, ditodong pistol
Saat melakukan pengaduan untuk meminta bantuan Amnesti Internasional, Ibunda Fandi ---salah satu terdakwa-- Sri Wahyuni (50), menceritakan bagaimana anaknya ditangkap dan disiksa selama penyidikan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya Hanif adalah anak terakhir yang tanda tangan BAP usai disiksa terus-terusan.
"Jadi anak Ibu Meni (panggilan akrab Siti Wahyuni) ini, anak yang paling akhir mau mengiyakan konstruksi kasus yang di dalam BAP yang disusun oleh kepolisian. Jadi penyiksaannya yang paling luar biasa ini," ungkap Andayani.
Ibu Meni menjelaskan saat anaknya ditangkap tak ada surat perintah yang ditunjukkan kepolisian. Anaknya langsung dibawa ke Polsek Sewon.
Para ibu dari 3 terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning yang datang ke Amnesti Internasional. Baju Abu-abu, Andayani ((50) Ibu dari Andi), Kerudung Merah, Subadriyah ((51) Ibu dari Hanif), Kerudung Ungu, Siti Wahyuni ((51) Ibu dari Fandi). Foto: Thomas Bosco/kumparan
Di Polsek tersebutlah dugaan penyiksaan mulai terjadi. Matanya ditutup, badannya dipukul, bahkan ditodong pistol.
"Anak saya langsung dibawa ke Polsek Sewon. itu mengalami kekerasan, di antara kekerasannya itu anak saya dibawa ke lantai dua ditutup matanya langsung dipukuli, langsung mau dibawa turun tangga lagi mau di bawa sektor sewon itu," cerita Ibu Meni dalam diskusi yang berlangsung di kantor Amnesti Internasional di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Di anak tangga itu karena ditutup matanya jadi tidak bisa lihat anak tangga, anak saya ditarik sambil ditodong pistol kakinya. Sama diberi pertanyaan, pilih riwo apa tengen, kanan apa kiri? Itu langsung dipukuli terus," lanjutnya.
Usai dari Polsek Sewon, Hanif dibawa ke Kafe Piramid. Di sana berdasarkan cerita yang diterima Weni dari anaknya itu bertemu dengan teman-temannya di sana.
"Setelah dari Polsek Sewon anak saya dibawa ke Kafe Piramid dan di Kafe Piramid itu mungkin bertemu dengan teman-temannya karena cuma mendengar suara karenakan diplaster matanya. Nah itu dipukuli," beber Weni.
Hanif ditangkap pada 10 April 2022 hingga 9 Mei 2022. Usai Lebaran Hanif baru berani menceritakan kekerasan yang dialaminya.
"Itu sudah sebulan, di tanggal 9 Mei, abis lebaran. Anak saya baru berani ceritakan kekerasannya setelah pelimpahan di Polresta Jogja, berpisah dengan anak-anak yang lain," cerita Weni.
ADVERTISEMENT
Polisi bantah
Kabid Humas Polda DIY, Kombes Pol Yulianto, sebelumnya pernah mengatakan bahwa dia yakin tim penyidik tak melakukan kekerasan dalam proses pemeriksaan dan telah menjalankan tugasnya secara profesional.
Jika memang pihak terdakwa dan penasihat hukumnya mengeklaim telah terjadi salah tangkap dan terjadi tindak penyiksaan oleh aparat, maka dia mempersilakan untuk membuktikannya secara hukum di persidangan.
“Jadi silakan dibuktikan saja lewat proses peradilan yang sedang berjalan,” kata Kombes Pol Yulianto (4/11/2022) lalu.