SQ- Imbauan tidak mudik

Paguyuban Perantau: Bagaimana Bisa Bertahan di Jakarta Jika Tak Ada Pekerjaan?

30 Maret 2020 16:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mudik bawa petaka. Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mudik bawa petaka. Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
“Jika panjenengan sayang sama keluarga di kampung, jika penjenengan semua pingin keluarga tetep sehat lan slamet, urungkan niat untuk pulang kampung. Tidak usah pulang kampung,” ucap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam akun instagramnya @ganjar_pranowo, pada Jumat (27/3) malam.
Pernyataan itu ia keluarkan setelah melihat lonjakan kasus warga Jateng yang positif COVID-19 bersamaan dengan tren peningkatan pemudik dari Jabodetabek. Menurut catatannya, hingga 26 Maret 2020 ada 66.871 pemudik memasuki Jateng dari berbagai daerah. Dari jumlah tersebut, 42.383 atau 63 persen di antaranya berasal dari Wonogiri.
Para perantau asal Wonogiri yang disebut Boro itu lebih memilih pulang ketimbang bertahan di Jakarta dan sekitarnya. Sebab pekerjaan mereka lenyap semenjak virus corona jenis SARS-CoV-2 yang sempat diremehkan pemerintah ini mewabah. Meski banyak imbauan untuk tak pulang, tapi hilangnya pendapatan dan tiadanya jaminan dari pemerintah membuat para perantau ini tetap memilih mudik.
“Ini jadi dilema buat para perantau, sebagian besar mereka buruh lepas atau buruh harian. Bertahan artinya menghabiskan waktu tanpa pekerjaan dan pemasukan,” ucap anggota Paguyuban Wonogiri Manunggal Sedya (Pawonmas) Priyo Hadi Wahyono saat dihubungi kumparan akhir pekan kemarin. Pawonmas sendiri merupakan komunitas dengan jumlah anggota mencapai 2.000 orang dengan jumlah pengikut di Facebook hingga lebih dari 59 ribu.
Deretan bus Antar Kota Antar Provinsi di Terminal Pulo Gebang, Jakarta, Minggu (29/3). Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Berikut cerita Priyo tentang nasib para boro kepada kumparan di masa pandemi ini.
Seperti apa kondisi yang dialami para perantau hingga memutuskan untuk mudik?
Ini sesuatu yang dilematis bagi para perantau ketika dilakukan pemberhentian kegiatan (ekonomi) di Jakarta sementara sebagian dari mereka adalah buruh harian dan buruh lepas. Pasti jadi dilema antara bertahan di sini, berarti dia menghabiskan waktu tanpa ada pekerjaan dan pemasukan, atau pulang. Itu menjadi dasar pemikiran dari semua teman-teman yang balik kampung.
Yang kedua, (mudik) memang agak sulit untuk dicegah apalagi sudah ada masa perpanjangan masa darurat sampai sekitar 90 hari ke depan. Artinya mereka sudah berpikir pulang, apalagi mudik gratis sudah ditiadakan, maka konsekuensi mereka akan lebih nyaman dengan segala risiko mereka untuk bersama dengan keluarga di rumah.
Rata-rata yang pulang hari ini, yang balik ke Wonogiri, pada hari ini itu mereka yang punya tanggungan di rumah, tidak bersama keluaga di Jakarta.
Makanya kami-kami yang minimal sedikit agak paham tentang fenomena ini kan terus melakukaan sosialisasi di media-media sosial, juga ikut memberikan imbauan kepada teman-teman dan sedulur semua yang pulang kampung itu untuk tetap menjaga protokol dengan segala hal yang menjadi prosedur.
Ganjar Pranowo meminta semua yang pulang kampung untuk melapor kepada ketua RT/RW dan mengisolasi diri selama 14 hari.
Surat edaran Dishub Wonogiri terkait angkutan umum untuk cegah corona. Foto: Dok. Dishub Wonogiri
Seperti apa komunikasi antara paguyuban dengan para perantau yang sudah pulang?
Karena beberapa saudara saya juga pulang, alasan paling krusial ya itu: pekerjaannya disetop. Tidak ada lagi aktivitas yang bisa mereka kerjakan karena mereka kebanyakan kuli, buruh bangunan. Kalau mereka tetap di kota, berarti mereka hanya menghabiskan uang saja. Jadi mereka lebih memilih mengambil risiko untuk pulang, karena posisi sebelumnya kan di lokasi-lokasi proyek itu netral (belum ada wabah). Hanya yang dikhawatirkan kan ketika bercampur di kendaraan umum dan seterusnya.
Jangan mudik saat wabah corona. Desainer: Kiagoos Aulianshah/kumparan
Edukasi yang dilakukan seperti apa?
Kalau edukasi kebetulan saya mengelola beberapa grup komunitas ya di Facebook itu, setiap saat, setiap hari kita ikut monitoring dan ikut juga memberikan edukasi soal corona. Edukasi terhadap mereka tentang seharusnya apa yang mereka lakukan ketika sampai di rumah dan seterusnya.
Kalaupun mereka harus pulang, tetap protokolnya harus dilakukan ya. Sebelum sampai rumah mereka tidak boleh bersalaman, mereka harus melepaskan baju yang dipakai, mereka harus langsung merendam pakaiannya, mereka harus langsung mandi, mereka harus mengkarantina diri dengan orang-orang yang ada di rumahnya, dan seterusnya.
Bagaimana respons warga ketika ada perantau yang pulang?
Bahkan di salah satu desa di tempat kami itu pulang itu justru menjadi bahan kecurigan semua orang. Jadi masyarakat itu apakah dengan pulangnya teman-teman yang lain resah atau tidak? Sangat resah sekali, karena mereka juga khawatir ya.
Tapi sih kalau saya berharap, ini wabah semua orang harus waspada, tapi tidak juga harus dibarengi dengan kepanikan yang tinggi.
Lockdown Jabodetabek Sekarang Juga. Foto: Argy Pradypta/kumparan
Harapan teman-teman perantau terhadap kebijakan pemerintah seperti apa?
Harapan kami ada kejelasan protapnya seperti apa tentang mudik, baru bisa disikapi oleh masyarakat lah. Beberapa kota kan sudah melakukan penutupan, Tegal sudah melakukan (lockdown), sekarang Sidoarjo melakukan blokade jalan.
Kalau menurut saya tetap diizinkan mudik. Tapi dibuat protokolnya. Misalnya di Wonogiri itu proses pengawasan sampai tingkat RT. Siapapun yang mudik itu pertama mereka harus melaporkan diri, kedua dia harus mengisolasi diri selama 14 hari. Kalau ada gejala mereka harus lapor langsung ke puskesmas, itu standar SOP yang sudah dipunya.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu mencegah penyebaran coronavirus COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten