Pakar: Pasal 2 dan 3 UU Tipikor Sangat Mungkin Dijadikan Alat Kriminalisasi

15 November 2024 16:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi terpidana di penjara. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi terpidana di penjara. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Pidana, Agustinus Pohan, menilai Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat mungkin untuk dijadikan alat kriminalisasi.
ADVERTISEMENT
"Sangat mungkin (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dijadikan alat kriminalisasi)," kata Pohan saat dihubungi, Jumat (15/11).
Pohan menyebut sudah banyak "korban" dari kedua pasal tersebut. Khususnya para pejabat daerah maupun pejabat perusahaan BUMN.
"Korban Pasal 2 dan 3 sudah terlalu banyak. Yang potensial (menjadi korban) tentu banyak ya, bisa kepala daerah atau pimpinan BUMN/BUMD. Salah satu yang menonjol eks Dirut Merpati," ujarnya.
Menurutnya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ini sedianya dibuat untuk memudahkan aparat penegak hukum menjerat koruptor. Memang, berbanding lurus dengan risiko yang ditimbulkannya.
"Dulu dibuat untuk memudahkan menjerat koruptor, risikonya mudah disalahgunakan. Jadi sejak lama kita mengetahui bermasalah," ungkap dia.
Sebelumnya, sejumlah pihak yang terdiri dari mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dan mantan Koordinator Tim Environmental Issues Seatlement PT Chevron Kukuh Kertasafari mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
ADVERTISEMENT
Gugatan itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada Senin (23/9). Permohonan itu disampaikan lewat kuasa hukum para Pemohon, yakni Maqdir Ismail, Illian Deta Arta Sari, dan Annissa Ismail. Selain itu, tampak juga mereka didampingi oleh Wakil Ketua KPK 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas.
Maqdir mengatakan kedua pasal dalam UU Tipikor itu merupakan pasal kunci yang sering digunakan aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku korupsi, mengingat cakupannya yang luas dan ancaman hukumannya yang cukup berat.