Pakar soal UU ITE Diperketat MK: Tidak Semua Hoaks Bisa Dipidana

30 April 2025 14:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengamat hukum pidana UGM, Fatahillah Akbar. Foto: Twitter/@mfatahilahakbar
zoom-in-whitePerbesar
Pengamat hukum pidana UGM, Fatahillah Akbar. Foto: Twitter/@mfatahilahakbar
ADVERTISEMENT
Pakar hukum Universitas Gadjah Mada, Fatahillah Akbar, menilai tak semua berita bohong alias hoaks bisa dipidanakan. Hal tersebut mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempertegas sejumlah frasa dalam UU ITE.
ADVERTISEMENT
Fatahillah menuturkan, berdasarkan putusan MK pada Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE, penafsiran diksi "kerusuhan" hanya bisa diartikan jika terjadi secara fisik, bukan terjadi di ruang digital.
Sehingga, jika kerusuhan hanya terjadi di ruang digital saja, tidak bisa dijerat dengan pasal tersebut.
"Jadi tidak semua hoaks dapat dipidana. Hanya hoaks yang berakibat pada kerusuhan fisik," kata Fatahillah kepada wartawan, Rabu (30/4).
Fatahillah pun sepakat dengan pemaknaan ini. Pasalnya, dalam KUHP, keonaran sempat dimaknai sebagai kerusuhan yang terjadi secara digital.
"Seharusnya sih harus kerusuhan fisik," tuturnya.
Sehingga, dengan pemaknaan baru ini, bisa dibuktikan akibat dari berita bohong yang disebarkan itu.
"Pasal ini merupakan delik materiil yang akibatnya harus terjadi dan dapat dibuktikan," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mempersempit penafsiran dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) terkait dengan kata "kerusuhan". MK menegaskan diksi "kerusuhan" itu hanya bisa ditafsirkan jika terjadi di ruang fisik alias nyata, bukan di ruang digital macam media sosial.
"...tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber"," demikian bunyi putusan MK dalam gugatan yang diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, dibacakan pada Selasa (29/4).
Berikut bunyi pasal 28 ayat (3) UU ITE yang diksi "kerusuhan"nya diperketat oleh MK:
"Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat."
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tindakan menyebarkan berita bohong menggunakan sarana teknologi informasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di masyarakat sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang menyatakan, “Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat”, telah ternyata menciptakan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "kerusuhan" adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.
Ilustrasi hoaks. Foto: Shutter Stock
Artinya, menurut hakim MK, penjelasan pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah memberikan pembatasan yang jelas bahwa penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan yang secara fisik terjadi di masyarakat, tidak termasuk keributan/kerusuhan yang terjadi di ruang digital/siber.
ADVERTISEMENT
Pembatasan dimaksud sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 sehingga aparat penegak hukum hanya dapat melakukan proses hukum terhadap penyebaran berita bohong yang menimbulkan keributan/kerusuhan secara fisik yang terjadi di masyarakat.
Hal demikian dimaksudkan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang merupakan delik materiil yang menekankan pada akibat perbuatan atau kerusuhan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta.