Pakar UGM: Pekerja Swasta Beda dengan PNS, JHT Cair 56 Tahun Tak Sensitif

2 Maret 2022 10:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh dari Karawang berangkat ke Jakarta untuk demo JHT. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Buruh dari Karawang berangkat ke Jakarta untuk demo JHT. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Kebijakan Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa cair di usia 56 tahun menuai pro kontra beberapa waktu lalu. Belakangan, Menaker Ida Fauziyah akan merevisi kebijakan tersebut. Dia juga berjanji akan berdiskusi dengan para pekerja dan buruh.
ADVERTISEMENT
Pakar Kebijakan Publik UGM, Dr Agus Heruanto Hadna, menilai kebijakan JHT cair di usia 56 tahun ini tanpa basis bukti dan data yang kuat.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 02 Tahun 2022 seakan menyamakan usia pensiun pekerja swasta dengan PNS.
"Padahal persoalan yang dihadapi dari para pekerja di sektor swasta berbeda dengan PNS ditambah dengan situasi lapangan kerja saat ini sangat labil dan penuh ketidakpastian," kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/3).
Dosen UGM, Dr. Agus Heruanto Hadna. Foto: ugm.ac.id
Perbedaan yang amat terlihat di sektor swasta adalah masih banyaknya ditemui pekerja yang mengalami PHK sebelum masa pensiun. Jika pekerja di-PHK pada usia 45 tahun, maka dia harus menunggu 11 tahun agar JHT cair.
"Kondisi pekerja sektor swasta di mana pun itu tidak pasti sehingga penentuan batas usia ini sangat sulit bagi mereka. Seringnya kebijakan publik dibuat berdasar insting atau analogi kasus lain. Takutnya ini dianalogikan dengan PNS dan ini berbahaya kalau tanpa analisis mendalam," bebernya.
ADVERTISEMENT
Sejumlah buruh mengenakan topeng Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah saat berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Jakarta, Rabu (16/2/2022). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Soal JHT ini, menurut Agus, merupakan kebijakan yang bersifat redistributif dan sangat sensitif. Hal itu karena di dalamnya terdapat banyak pihak kepentingan, sehingga sangat kompleks.
"Ada satu resources yang seharusnya dimiliki karyawan dan pekerja, tapi ibaratnya itu ditahan hingga usia 56 tahun baru bisa diambil. Ini masuk kebijakan yang redistributif dan sangat sensitif, serta berisiko tinggi jika diimplementasikan," paparnya.