Pakar UGM soal Ratusan Anak di Bantul TBC karena Sering Dicium: Mudah Tertular

23 Desember 2022 17:20 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas kesehatan memindai warga binaan di dalam mobil pemindaian sinar X (X-Ray) saat pemeriksaan Tuberkulosis (TB) di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas II-A Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/3/2022). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas kesehatan memindai warga binaan di dalam mobil pemindaian sinar X (X-Ray) saat pemeriksaan Tuberkulosis (TB) di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas II-A Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/3/2022). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Dinas Kesehatan Bantul mencatat 619 anak di kabupaten tersebut menderita tuberkulosis atau TBC. Penularan TBC tinggi karena banyak anak-anak yang sering digendong dan dicium banyak orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Pakar Penyakit Dalam Spesialis Paru (Internis Pulmonologist) FKKMK UGM, dr. Sumardi, mengamini kebiasaan tersebut mempermudah penularan TBC ke anak.
"Ya mudah. Karena (penularan TBC) airbone seperti COVID-19 saja. Kan menular melalui udara. (Kebiasaan digendong dan dicium banyak orang dewasa) mempermudah penularan," kata Sumardi melalui sambungan telepon, Jumat (23/12).
Anak-anak rentan tertular TBC karena kekebalannya masih minim. Maka dari itu, masyarakat diminta untuk tidak memeluk anak kecil ketika mereka sedang batuk.
"Anak TBC itu biasanya ketularan orang tua atau ketularan lingkungan," jelasnya.
Penyembuhan TBC bagi anak juga tetap membutuhkan waktu yang lama. Mereka harus meminum obat rutin selama enam sampai sembilan bulan.
"Kalau resisten obat baru (rujuk) RSUP Dr Sardjito, pusatnya. Kemudian kita membagi ke RS Paru Respira di Bantul dan Morangan (RSUD Sleman) di Sleman. Kita bagi kasusnya. Rujukannya tetap ke Sardjito," katanya.
ADVERTISEMENT
Sumardi mengatakan peningkatan kasus TBC ini kurang diwaspadai karena selama dua tahun belakangan orang-orang fokus pada COVID-19. Sehingga banyak tenaga kesehatan yang difokuskan tracing COVID-19.
"Yang biasanya kontrol nggak kontrol karena ada COVID. Begitu COVID-nya hampir selesai muncul lah kasusnya (TBC) jadi banyak," jelasnya.
Pencegahan TBC ini dilakukan dengan jemput bola. Hal ini seperti yang dilakukan Zero TB Yogyakarta, project dari FKKMK UGM. Dilakukan pelacakan di tempat yang berisiko terjadi TB.
"Kalau ketemu kita periksa, kita obati. Kita aktif. Sementara ini kan kalau dia TBC, kan pasif. Setiap orang yang datang ke Puskesmas ke dokter umum ke rumah sakit dengan gejala-gejala TBC baru diperiksa. Lalu dengan adanya program Zero TB itu kita aktif keluar. Periksa tempat yang ada risiko penularan TBC," katanya.
ADVERTISEMENT
Program ini baru dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo. Tidak menutup kemungkinan program akan diadakan di Kabupaten Bantul mengingat terjadi kenaikan kasus di sana.
"Iya kemungkinan di sana (Bantul) juga," pungkasnya.