PAN Dorong RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, Serahkan Naskah Akademik ke Baleg

16 Maret 2023 12:02 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Fraksi PAN DPR RI memandang sudah saatnya Indonesia punya regulasi terkait pengelolaan iklim melalui RUU Pengelolaan Perubahan Iklim (IPI). PAN mengingatkan, berbagai persoalan iklim yang mengancam harus diatur lebih komprehensif dalam kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ketua Fraksi PAN Saleh Daulay berharap pemerintah juga bisa membentuk badan khusus yang bertanggung jawab atas pengelolaan perubahan iklim. Ia menyerahkan naskah akademik RUU IPI usul Fraksi PAN ke Anggota Baleg DPR Zainuddin Maliki siang ini.
"Fraksi PAN mengusulkan perlunya Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai payung hukum yang mengatur lebih konprehensif, terarah, dan sistematis terkait regulasi perubahan iklim," kata Saleh dalam diskusi urgensi RUU IPI dan penyerahan naskah akademik RUU IPI kepada Baleg DPR, Kamis (16/3).
"Salah satu rumusan penting yang ditawarkan dalam RUU tersebut, ialah bahwa konsep perencanaan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pengelolaan perubahan iklim akan dilaksanakan secara terpadu. Yakni dilakukan dalam koordinasi suatu badan independen yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim dapat disebabkan faktor alami dan aktivitas manusia. Tetapi Saleh mengingatkan, perubahan iklim akibat peningkatan emisi gas rumah kaca imbas aktivitas manusia sangat signifikan.
"Kajian Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovermental Panel on Climate Change (IPPC), bahkan menegaskan aktivitas manusia sebagai pemicu utama perubahan iklim. Dampak atas aktivitas yang merusak tersebut kini dirasakan di berbagai belahan dunia. Suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 derajat Celcius selama abad terakhir," ujar Saleh.
"Peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 50 tahun terakhir menunjukkan yang tertinggi dalam sejarah. Dan tingkat karbon dioksida di udara saat ini berada dalam tingkat tertinggi sepanjang sejarah, setidaknya dalam dua juta tahun," tambah dia.
Saleh melanjutkan, suhu global yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir ikut mendongkrak jumlah bencana yang terkait dengan cuaca dan air seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), ada 390 bencana alam terkait dengan perubahan iklim melanda dunia sepanjang 2021. Jumlah tersebut juga meningkat 5,7% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 369 bencana alam.
"Indonesia juga menjadi negara yang berada pada posisi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa dampak signifikan perubahan iklim antara lain meningkatnya bencana alam, turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan ancaman punahnya keanekaragaman hayati," papar Saleh.
"Dari sudut pandang kebencanaan, peristiwa bencana alam di Indonesia menunjukkan angka yang tidak sedikit. Laporan BNPB, terdapat 3.531 peristiwa bencana alam di Indonesia sepanjang 2022, paling banyak terjadi banjir, yakni 1.524 kejadian atau setara 43,1% dari total kejadian bencana nasional," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Saleh juga mengingatkan ada 1.062 peristiwa cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 28 gempa bumi 26 gelombang pasang/abrasi, serta 4 peristiwa kekeringan. Provinsi yang paling sering mengalami bencana alam pada 2022 adalah Jawa Barat, yakni 823 kejadian.
Diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 486 dan 400 kejadian. Seluruh kejadian bencana itu membuat lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang.
Saleh tidak menampik, selama ini pemerintah telah berkomitmen dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim. Indonesia telah terlibat aktif di tingkat internasional sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protocol Kyoto pada 1994.
ADVERTISEMENT
Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim
Pemerintah Indonesia juga meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim).
Demi menurunkan emisi CO2, Indonesia juga meratifikasi Persetujuan Paris dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nation Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim).
Selain itu, Indonesia punya beberapa aturan terkait dengan perubahan iklim walaupun belum secara khusus dalam bentuk Undang Undang Tentang Perubahan Iklim. Dalam UU No. 31 Tahun 2009 tentang tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, misalnya, pemerintah wajib melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
"Dalam konteks penganggaran APBN, Indonesia juga sudah secara eksplisit memasukkan anggaran hijau guna mendukung transformasi ekonomi Indonesia menjadi Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy). Pemerintah menerbitkan aturan carbon tax, Green Bond, sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021 tentang APBN yang mendukung ekonomi hijau," ujar Saleh.
Kendati demikian, Saleh memandang aturan-aturan ini masih terkesan sporadis, tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, dan kurang komprehensif. Sehingga dalam level perundang-undangan, peraturan pemerintah dan pemda perlu harmonisasi agar tidak terjadi tumpang tindih melalui RUU IPI.
"Implementasi dari kesepakatan di tingkat internasional juga belum mampu diterjemahkan ke dalam konteks nasional, yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan dan mengarusutamakan prinsip rendah emisi dan resilien terhadap perubahan iklim. Efektifitas pengelolaan perubahan iklim sangat bergantung pada kebijakan dan implementasinya di semua tingkat, baik internasional, regional, nasional, dan sub nasional," terang Saleh.
ADVERTISEMENT
"Diharapkan sinergi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan perubahan iklim tidak hanya di kota besar, tetapi dapat ke wilayah pedalaman dan pulau-pulau kecil. Lebih dari itu, sebagaimana tercantum dalam RUU Pengelolaan Perubahan Iklim," tutur dia.
"Di masa mendatang keterlibatan masyarakat dengan pemerintah dan dunia usaha dalam pengelolaan perubahan iklim merupakan suatu keharusan, tanggung jawab bersama dalam pembangunan," pungkas dia.