Panduan Lengkap Penggunaan Speaker Masjid di Indonesia

1 Juni 2021 12:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) mengarak bendera Merah Putih usai mengikuti upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di atap Masjid Raya Bandung, Jawa Barat, Senin (17/8).  Foto: Raisan Al Farisi/ ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) mengarak bendera Merah Putih usai mengikuti upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di atap Masjid Raya Bandung, Jawa Barat, Senin (17/8). Foto: Raisan Al Farisi/ ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Arab Saudi merilis instruksi pembatasan penggunaan pengeras suara atau loudspeaker luar/eksternal masjid, lalu bagaimana Indonesia? Indonesia telah memiliki panduan penggunaan speaker masjid sejak tahun 1978 yang masih berlaku hingga kini.
ADVERTISEMENT
Panduan yang dikeluarkan Dirjen Bimas Islam Kemenag itu membedakan penggunaan speaker masjid di lingkungan perkotaan yang lebih ketat dan di pedesaan yang lebih longgar. Hal ini karena kedua lingkungan memiliki karakteristik sosial yang berbeda.
Panduan speaker masjid itu tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam No 101/1978 tentang Tuntutan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Pada tahun 2018, digalakkan sosialisasi tuntunan tersebut berdasar SE Dirjen Bimas Islam No B.3940/DJ.III/HK tahun 2018 pada masa Menag Lukman Hakim Saifuddin.
Karena sifatnya tuntunan, maka tidak ada sanksi yang mengikat. Berbeda dengan peraturan di Arab Saudi, di dalam tuntunan Dirjen Bimas Islam Kemenag itu tidak mengatur volume speaker.
Berikut rincian tuntunan speaker masjid yang perlu diketahui.
ADVERTISEMENT

Pertimbangan Pedoman Speaker Masjid

Peringatan Hari Besar Islam yaitu Isra Mikraj di Masjid Istiqlal Foto: Aria Pradana/kumparan
Instruksi berisi tuntunan itu dikeluarkan dengan sejumlah pertimbangan, yaitu:
a. Bahwa penggunaan pengeras suara oleh masjid/langgar/musala telah menyebar sedemikian rupa di seluruh Indoensia baik untuk azan, iqomah, membaca ayat Al-Quran, membaca doa, peringatan hari besar Islam dan lain-lain.
b. Bahwa meluasnya penggunaan pengeras suara tersebut selain menimbulkan kegairahan beragama dan menambah syiar kehidupan keagamaan, juga sekaligus pada sebagian lingkungan masyarakat telah menimbulkan ekses-ekses rasa tidak simpati disebabkan pemakaiannya yang kurang memenuhi syarat.
c. Bahwa agar penggunaan pengeras suara oleh masjid/langgar/musala lebih mencapai sasaran dan menimbulkan daya tarik untuk beribadah kepada Allah SWT, dianggap perlu mengeluarkan tuntunan tentang penggunaan pengeras suara oleh masjid/langgar/musala untuk dipedomani oleh pengurus masjid/langgar musala di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT

Syarat Penggunaan Pengeras Suara

Ilustrasi Muazin. Foto: Shutter Stock
Sedangkan di bagian lampiran Instruksi poin D, dijelaskan syarat-syarat penggunaan pengeras suara, yaitu:
1. Perawatan pengeras suara oleh seorang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian, tidak ada suarat-suara bising, berdengung, yang dapat menimbulkan antipati dan anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar atau musala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, pembaca Quran, imam salat, dll) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak, tidak cemplang, sumbang atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh dari pada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
Muazin sedang mengumandangkan azan Isya di Masjid Raya Bandung, Jawa Barat. Foto: Antara/Raisan Al Farisi
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan syara’ seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat. Karena pelanggaran hal-hal seperti itu bukan menimbulkan simpati, melainkan keheranan bahwa umat beragama sendiri tidak menataati ajaran agamanya.
ADVERTISEMENT
4. Dipenuhinya syarat-syarat orang yang mendengar berada dalam keadaan siap untuk mendengarnya. Bukan dalam waktu tidur, istirahat, sedang beribadah atau melakukan upacara. Dengan keadaan demikian (kecuali panggilan azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya.
5. Dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Hal-hal yang Harus Dihindari

Seorang pria mengumandangkan azan pada pembukaan acara MTQ XVI 2019 Provinsi Banten di kawasan pusat pemerintahan Kota Tangerang. Foto: Dimas Aryo
Hal-hal yang harus dihindari dalam penggunaan pengeras suara diatur dalam Poin G, yaitu:
1. Mengetuk-ngetuk pengeras suara.
2. Kata-kata seperti: percobaan-percobaan, satu-dua, dst
3. Berbatuk atau mendehem melalui pengeras suara.
4. Membiarkan suara kaset sampai lewat dari yang dimaksud atau memutar kaset (Quran, ceramah) yang sudah tidak betul suaranya.
ADVERTISEMENT
5. Membiarkan digunakan oleh anak-anak untuk bercerita macam-macam
6. Menggunakan pengeras suara untuk memanggil-manggil nama seseorang atau mengajak bangun (di luar panggilan azan).

Suara yang Dipancarkan Merdu dan Fasih

Pengajian DMI di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Poin H mengatur tentang Suara dan Kaset.
Suara yang dipancarkan melalui pengeras suara karena didengar orang banyak dan sebagiannya tentu orang-orang terpelajar, diperlukan syarat-syarat sbb:
1. Memiliki suara yang pas, tidak sumbang atau terlalu kecil
2. Merdu dan fasih dalam bacaan/naskah
3. Dalam hal menggunakan kaset hendaknya diperhatikan dan dicoba sebelumnya. Baik mutu atau lamanya untuk tidak dihentikan mendadak sebelum waktunya.
4. Azan pada waktunya hendaknya tidak menggunakan kaset kecuali bila terpaksa.

Pengeras Suara di Kampung

Suasana salat id di Masjid Al Hikmah Desa Cimahi, Kabupaten Kuningan, Jabar. Foto: Agaton/kumparan
Poin I mengatur pengeras suara pada masjid, langgar atau musala di kampung, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Pada umumnya ketentuan yang ketat ini berlaku untuk kota-kota besar, yaitu ibu kota negara, ibu kota provinsi, dan ibu kota kabupaten/kotamadya. Yakni di mana penduduk aneka warga agama dan kebangsaan, aneka warna dalam jam kerja dan keperluan bekerja tenang di rumah, dan lain-lain.
2. Untuk masjid, langgar, dan musala di desa/kampung, pemakainnya dapat lebih longgar untuk memperhatikan tanggapan dan reaksi masyarakat. Kecuali hal-hal yang dilarang syara’.

Penggunaan Speaker Waktu Salat dan Pengajian

Sedangkan Poin F mengatur pemakaian pengeras suara pada waktu salat Subuh, Zuhur, Jumat, Asar, Magrib, Isya, Takbir, Tarhim, dan masa Ramadhan. Juga, upacara hari besar Islam dan pengajian.
Pedoman tentang hal itu bisa dibaca di Infografik yang dirilis Kemenag di bawah ini:
Tuntunan penggunaan pengeras suara yang dirilis Kemenag. Foto: Kemenag RI
Naskah lengkap Instruksi Dirjen Bimas Islam No 101/1978 tentang Tuntutan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala, bisa dibaca di bawah ini:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT