Para Puan Berdaya di Balik Tenun Benang Viscose Pelalawan

10 September 2024 11:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para penenun di Rumah Tenun Pulau Payung, Riau saat memproduksi kain tenun bersama-sama, pada 29 Mei 2024. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Para penenun di Rumah Tenun Pulau Payung, Riau saat memproduksi kain tenun bersama-sama, pada 29 Mei 2024. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Silvi dengan lincah mengatur benang-benang tenun sambil menggoyangkan alat tenun bukan mesin (ATBM). Kaki dan tangannya terampil menggunakan alat sesuai motif tenun yang sedang dibuat.
Dia dan tiga orang lainnya merupakan penenun yang sedang mendapat pelatihan di Rumah Tenun Pulau Payung di Kabupaten Pelalawan, Riau. Mereka berkarya di bawah supervisi Yulhendra, seorang perempuan berdaya yang menjadi ketua rumah tenun tersebut.
Pelatihan ini merupakan program community development yang diinisiasi oleh Asia Pacific Rayon (APR) yang merupakan produsen serat viscose-rayon terintegrasi di Indonesia yang berlokasi di Pangkalan Kerinci, Riau. Setiap tahunnya APR mampu memproduksi 300.000 ton viscose-rayon yang nantinya akan diproduksi lebih lanjut menjadi benang viscose.
Selain memberikan pelatihan Tenun untuk pengrajin lokal, APR juga turut serta mengedukasi penggunaan benang viscose-rayon dalam koleksi Tenun untuk menambah nilai tambah produk yang mendukung sustainability, karena bahan viscose yang dapat terurai secara alami. Pemberdayaan masyarakat lokal ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengrajin lokal khususnya di Riau.
Yulhendra atau yang akrab disapa Ira bercerita bahwa tim tenunnya baru dibentuk pada Januari 2024 lalu. Ide membentuk tim tenun ini berawal dari suaminya, Usman Hakim, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Pelalawan. APR , Usman dan Ira bertekad membangkitkan tenun Pulau Payung sebagai tenun khas daerahnya. Harapannya, tenun ini bisa menjadi buah tangan wisatawan.
“Jadi, ada kesepakatan kan, lantaran kami insya Allah tempat ada. Orang APR pun men-support kami sampai sekarang bisa berdiri kayak gini,” ujar Ira kepada kumparan pada 29 Mei 2024 lalu.
Ira dan empat penenun mulanya tak punya keahlian tenun sama sekali. Mereka diajak studi banding selama dua minggu ke Rumah Tenun Wan Fitri, sebuah rumah tenun di Pekanbaru yang sudah lebih dulu berkembang.
Rahmi dan Neneng (kanan) mengecek motif tenun yang sedang dibuat. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Community Development Operation Manager APR Sundari Berlian–yang akrab dipanggil Neneng–menjelaskan, lewat studi banding ini para penenun bisa belajar teknik menenun dan belajar sabar menggunakan alat tenun.
“Nah, gimana nengok situasinya, nih, dengan kerja–yang harus duduk, terus tangannya kerja, pikiran yang harus ada di situ. Kalau pegang HP sedikit saja salah, harus buka benang. Motifnya salah, buka benang. Konsekuensinya, (proses tenun) gak berjalan-jalan,” kata Neneng.
“Kalau nanti enggak pandai, kan, sia-sia. Bagaimana dia mau mengolah benang-benang, menyambung-nyambungnya? Akhirnya udah ready, nih, kita bawa bantuannya alat tenun ini, ada 4 kita berikan dukungan (dan) didukung oleh Disperindag,” imbuhnya.
Total dukungan awal APR ke Rumah Tenun Pulau Payung, menurut Neneng, mencakup alat dan benang yang kini dipakai penenun serta pelatihan dari ahli. Ini merupakan bentuk komitmen keberlanjutan APR2030 untuk mempromosikan pengrajin lokal Riau, yakni menjadikan Riau sebagai textile hub.

Inovasi Tenun dengan Katun dan Viscose

Aneka kain tenun di etalase Rumah Tenun Pulau Payung di Pangkalan Kerinci, Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Benang dasar atau benang rentang yang digunakan adalah benang katun yang nyaman digunakan. Nah, sebagai sisipannya (benang pakan), tim tenun menggunakan benang viscose berwarna putih dari APR. Campuran katun-viscose ini membuat tenun pulau payung jadi lebih istimewa.
Benang ini punya karakteristik halus dan bisa membuat warna dasar kain jadi muda. Misalnya, benang dasar hitam yang diberi benang pakan putih, maka hasilnya adalah kain tenun warna abu-abu. Benang dasar berwarna merah yang ditenun dengan benang pakan putih, akan menjadi lembaran kain tenun warna pink.
Selain dukungan berupa barang, APR juga menurunkan tim ahli tenun untuk rumah tenun ini. Saat ini memang masih datang tiap minggu, namun nantinya jika penenun sudah mandiri, maka ahli tenun datang sebulan sekali.
“Kita panggil setiap minggu. Tim ahli tenun setiap minggu datang ke sini untuk melihat perkembangan, ngasih gambaran tentang bagaimana mengawinkan warna, bagaimana menaruh motif,” jelas Neneng.
Hasil tenun menggunakan benang viscose berwarna putih sebagai sisipan. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Rumah Tenun Pulau Payung saat ini sudah mulai memproduksi untuk komersil. Tawaran mulai datang dari tamu-tamu dinas sebagai oleh-oleh.
Satu lembar kain dapat selesai dalam waktu 2-4 minggu, tergantung kesulitan motif. Sementara penenun yang lebih mahir bisa menyelesaikan dalam waktu 5 hari. Mereka dibantu tim ahli dari jarak jauh, yakni via WA atau video call.
Penenun di Rumah Tenun Pulau Payung menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) saat menenun dengan benang katun dan benang viscose dari APR. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Saat ini mereka masih menggunakan motif Pucuk Rebung pada karya-karyanya. Nantinya mereka akan menggunakan motif pulau payung, sesuai dengan nama rumah tenun ini. Ada kisah unik di balik motif tersebut.
Ternyata motif itu terinspirasi dari cerita rakyat Pangkalan Kerinci, yakni ada sebuah pulau di atas sungai yang pernah jadi tempat ambil sumpah dan tanahnya diyakini tidak bisa dipindahkan.
“Kemarin kan mau pelebaran sungai, ekskavator enggak sanggup (pindahkan). Jadi dibelokkan, tetap berdiri. Sampai sekarang. Kalau orang Kerinci dulu nazar bawa ayam, bawa kain putih, taruh di situ,” cerita Usman Hakim dalam kesempatan yang sama.
Usman Hakim (kanan) bersama penenun dan sang istri, Yulhendra. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Dia menuturkan, pembuatan motif pulau payung saat ini masih dalam tahap diskusi. Usman juga berdiskusi dengan pemerintah setempat.
“Nanti kita siapkan, kita buat (motif) payung, baru sungai. Nanti kita cari orang yang bisa buat,” tambahnya.
Motif inilah yang disiapkan bakal jadi suvenir andalan di Pelalawan. Satu lembar kain buatan tim Rumah Tenun Pulau Payung saat ini dijual seharga Rp 600 ribu. Sementara untuk motif yang lebih sulit, harganya bisa mencapai Rp 1 juta. Produk hasil tenun ini nantinya akan ‘dipajang’ di Instagram mereka, yakni @rumahtenunpulaupayung.