Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Parlemen Rusia Setujui RUU Anti-LGBTQ, Denda Rp 2,5 M Bagi Pelanggar
25 November 2022 4:28 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 6 Desember 2022 11:03 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Rusia sudah mengadopsi undang-undang larangan mengekspos 'propaganda gay' kepada anak di bawah umur.
RUU baru memperluas aturan ini untuk orang dewasa pula. Kremlin akan melarang semua bentuk 'propaganda gay' dalam media, iklan, film, buku, hingga unggahan media sosial.
'Propaganda pedofilia dan perubahan jenis kelamin' juga akan dilarang. RUU tersebut memperkenalkan denda sampai RUB 10 juta (Rp 2,5 miliar) bagi orang yang melanggarnya.
RUU tersebut memerlukan dukungan majelis tinggi atau Dewan Federasi Rusia, serta Presiden Rusia Vladimir Putin.
Tetapi, langkah-langkah itu hanya formalitas.
"Setiap propaganda hubungan non-tradisional akan memiliki konsekuensi," tegas Ketua Duma Rusia, Vyacheslav Volodin, dikutip dari AFP, Jumat (25/11).
"Ini akan melindungi anak-anak kita dan masa depan negara kita dari kegelapan yang disebarkan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa," lanjut dia.
Pihak berwenang akan dapat mencegah penjualan barang dan memblokir situs yang memuat informasi terlarang tersebut.
ADVERTISEMENT
Perusahaan produksi film dan penerbit buku telah menyatakan keprihatinan atas perkembangan ini.
Mereka meyakini, RUU itu dapat mengakibatkan pelarangan film klasik seperti "Lolita" karya Vladimir Nabokov yang menceritakan obsesi seorang pria paruh baya terhadap gadis berusia 12 tahun.
"Film yang mempromosikan hubungan semacam itu tidak akan menerima sertifikat distribusi," jelas Duma.
Aktivis mengatakan, undang-undang baru meningkatkan tindakan keras terhadap hubungan seksual 'non-tradisional' di Rusia. Sebab, aturan ini melarang semua promosi publik tentang hak LGBTQ.
Mereka berjanji akan terus memperjuangkan hak-hak minoritas.
"Kami berencana untuk melindungi orang dari undang-undang yang tidak masuk akal ini," ujar ketua organisasi Russian LGBT Network, Natalia Soloviova.
"LGBTQ tidak akan pergi, mereka masih membutuhkan bantuan dan dukungan kami," imbuh dia.
Belum ada kejelasan tentang konsekuensi pasti dari undang-undang baru tersebut. Para aktivis HAM memperingatkan, otoritas bisa saja menerapkannya tanpa pandang bulu.
ADVERTISEMENT
"[Kami memprediksi] lebih banyak tekanan pada aktivis, peningkatan jumlah situs web yang diblokir, dan penyensoran yang meluas di media, film, dan industri lainnya," terang Soloviova.
Anggota parlemen senior mengaku RUU itu diperlukan lantaran kaitannya dengan invasi Rusia di Ukraina. Akibat ketegangan yang berkecamuk dengan negara-negara lain, Putin mempromosikan agenda yang semakin konservatif untuk menarik dukungan.
Putin membingkai negaranya sebagai lawan dari nilai-nilai liberal Barat. Dia berusaha menampilkan LGBTQ sebagai produk pengaruh Barat yang berbahaya. Kepala kelompok HAM LGBTQ Sphere Foundation, Dilya Gafurova, melayangkan kritik atas hal ini.
Gafurova mendesak pihak berwenang agar tidak menggunakan komunitas LGBTQ sebagai alat konfrontasi ideologis. Dia menambahkan, negara tidak mungkin merenggut suara mereka.
"Sangat menggelisahkan bahwa negara mengatakan orang LGBT+ adalah penemuan Barat," ungkap Gafurova.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada yang salah dengan kami dan tidak ada yang perlu dirahasiakan," sambung dia.
Human Rights Watch (HRW) menyebut RUU ini menargetkan minoritas seksual dan gender yang rentan untuk keuntungan politik. Putin telah berulang kali menyasar kelompok LGBTQ. Dia juga pernah mencerca orang tua sesama jenis.
"Apakah kita benar-benar ingin di sini, di negara kita, di Rusia, alih-alih 'ibu' dan 'ayah', kita memiliki 'orang tua nomor satu', 'orang tua nomor dua' atau 'orang tua nomor tiga'?" tanya Putin dalam pidato pada September.
"Apakah mereka sudah benar-benar gila?" lanjutnya.
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 20:55 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini