Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Dinilai Hambat Kritik dan Melawan Putusan MK

9 Juni 2021 18:32 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Draf RUU KUHP terbaru juga disorot oleh Setara Institute. Salah satu poin krusial yang disoal adalah penghidupan kembali pasal-pasal penghinaan Presiden dan wakil Presiden.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah ketatanegaraan, Setara mengingatkan, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP.
"Melalui Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006, MK menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula dengan pasal penghinaan terhadap pemerintah, MK melalui putusannya No. Nomor 6/PUU-V/2007 memutus bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah telah bertentangan dengan UUD NRI 1945," kata Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah, dalam keterangannya, Rabu (9/6).
"Oleh karenanya, penghidupan kembali pasal penghinaan baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sayyidatul berpandangan, penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara.
"Bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Padahal, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik," paparnya.
Selanjutnya, Setara juga menyoroti pasal denda untuk gelandangan, menurut Setara pasa tersebut telah menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal memahami esensi perlindungan HAM yang termaktub dalam konstitusi. Gelandangan sebagai individu yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah bahwa masih jauhnya tingkat kesejahteraan warga negaranya.
"Alih-alih hadir untuk memelihara gelandangan, pemerintah justru menjatuhkan pidana denda. Lagi-lagi, pemerintah abai terhadap amanah konstitusi bahwa negara harus hadir untuk memelihara fakir miskin dan anak telantar sebagaimana terejawantahkan dalam Pasal 34 (1) UUD NRI 1945," papar Sayyidatul.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Setara juga menyoroti intervensi yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu, misalnya terkait pasal perzinaan dan kumpul kebo. Betapa pun zina dan kumpul kebo merupakan tindakan yang amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Sebab, Setara menilai, selama perbuatan tersebut dilakukan secara konsensual dan tidak ada unsur paksaan atau kekerasan, maka tidak seharusnya pemerintah masuk terlalu dalam hingga menjatuhi sanksi pidana.
"Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi. Perbuatan tercela yang seharusnya pemerintah hadir untuk melakukan intervensi adalah ketika perbuatan tersebut telah dilakukan dengan unsur paksaan dan menyebabkan kekerasan dalam hubungan seksual sehingga menimbulkan korban, misalnya terkait perkosaan, sehingga negara harus hadir untuk menjamin keadilan bagi setiap warga negaranya," pungkas Sayyidatul.
ADVERTISEMENT