Patung dan Kritik Sosial dalam Semesta Nyoman Nuarta

31 Januari 2018 13:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Figur perempuan setinggi dua meter berdiri kaku menyambut para pengunjung yang tiba di lobi galeri seni NuArt Sculpture Park, Bandung. Kesan seram mencuat dari figur perempuan berwarna hitam itu.
ADVERTISEMENT
Tangan kirinya menggamit sebuah timbangan yang berat sebelah, sementara sebuah sabit menjulang di genggaman tangan kanannya. Untaian rantai menjulur di seluruh tubuhnya hingga bagian bawah.
Wajah perempuan itu benar-benar kosong dan gelap. Sehingga lebih tepat mungkin untuk menyebutnya tak berwajah. Ia adalah Dewi Zalim.
Di antara jenjang kaki Dewi Zalim, seorang perempuan tampak terkapar tak berdaya. Wajah perempuan itu menghadap ke atas. Tak terang apa yang sedang dilakukan perempuan itu.
Patung Dewi Zalim di Galeri NuArt Nyoman Nuarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Figur perempuan tak berwajah itu digambarkan sebagai sosok kejam dan tak adil. Sifat-sifat itu yang dimaksudkan Nyoman Nuarta dengan memberi nama Dewi Zalim--yang secara literal zalim berarti bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, dan kejam.
Figur Dewi Zalim bukan berasal dari ruang kosong khayalan, tanpa konteks atau mengada-ada. Nuarta membuat patung itu untuk menunjukkan sikap dan pandangannya tentang kondisi keadilan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Dulu kan yang namanya lambang keadilan itu dewi yang menggunakan pedang, dengan mata tertutup. Itu sudah enggak cocok lagi. Jadinya ya seperti ini,” kata Nuarta saat berbincang dengan kumparan di galeri NuArt Sculpture Park, Rabu (17/1).
Dewi Zalim juga dapat dipandang sebagai sindiran terhadap simbol keadilan yang digambarkan melalui figur perempuan yang berasal dari mitologi Yunani, yakni Dewi Themis yang kerap disebut Dewi Keadilan.
Dewi Keadilan (Foto: Thinkstock)
Mata Dewi Keadilan digambarkan tertutup kain. Tangan kirinya memegang timbangan yang tak berat sebelah, sementara pada tangan kanannya terhunus pedang bermata dua yang menghadap ke bawah. Ada makna indah terkandung dalam figur Dewi Themis.
Mata yang tertutup menandakan keadilan tanpa memandang siapapun atau apapun. Sehingga keadilan dapat ditegakkan berdasarkan objektivitas atau tanpa prasangka tertentu.
ADVERTISEMENT
Perangkat timbangan yang sejajar menandakan keadilan yang diupayakan senantiasa diukur berdasarkan kebenaran dan kesalahan yang diperbuat. Maka keadilan tidak dapat diukur hanya berdasarkan salah satu dari keduanya.
Sementara pedang terhunus menandakan ketegasan dalam memberi keadilan dan bukan merupakan implementasi dari rasa takut. Selain itu, pedang yang menghadap ke bawah juga menandakan keadilan merupakan kesepakatan bersama, bukan hasil paksaan.
Nyoman Nuarta (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Di Indonesia, menurut Nuarta, semua personifikasi dalam figur Dewi Keadilan, tidak ditemukan. Maka ia menciptakan karakter Dewi Zalim untuk menggambarkan kondisi keadilan sebagaimana adanya--yang tentu saja adalah versinya sendiri.
“Apa (keadilan) masih cocok dengan lambangnya? Kan sudah enggak cocok. Dewi Keadilan itu sudah enggak ada. Keadilan sudah pergi. Diganti yang hantu ini. Itu faktanya,” ujar pembuat patung Garuda Wisnu Kencana itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai seniman, Nuarta tidak menutup mata terhadap persoalan-persoalan politik dan sosial, termasuk masalah korupsi. Berbagai problem yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan, menurutnya, sangat dirasakan masyarakat kelas bawah.
“Masalah keadilan, saya sudah tahu, rakyat kecil itu enggak akan pernah menang. Kepekaan kita terhadap rakyat kecil, orang tak berdaya, tambah diinjak lagi. Sekarang siapa yang punya uang, kesannya dia yang menang. Sampai kapan seperti itu?” kata Nuarta.
Kepekaan dan kepedulian Nuarta terhadap persoalan-persoalan keadilan, kerap ditunjukkan melalui karya seninya. Tak hanya Dewi Zalim, banyak karya dari pematung berusia 66 tahun itu yang menimba gagasan dari kehidupan masyarakat maupun kehidupan pribadinya.
Misalnya, patung yang ia beri nama “Nightmare”. Patung yang terbuat dari tembaga itu berbentuk seorang perempuan yang sedang berbaring. “Nightmare” diletakkan di tempat yang dapat dilihat oleh setiap mata pengunjung yang berada di semua lantai gedung galeri.
Patung Nightmare. (Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan)
Patung “Nightmare” bercerita tentang pengalaman buruk yang pernah dialami seorang perempuan Tionghoa. Saking buruknya pengalaman tersebut hingga terasa seperti mimpi, seolah pengalaman itu tak mungkin terjadi di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Pengalaman buruk itu adalah kekerasan seksual yang terjadi ketika Indonesia dihantam krisis pada 1998. Saat itu, kerusuhan terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan perempuan beretnis Tionghoa menjadi salah satu kelompok korban kekerasan seksual.
Nuarta mendapatkan kisah tersebut berdasarkan penuturan ayah si perempuan yang menjadi korban. Melalui patung “Nightmare”, Nuarta ingin menyampaikan sebuah pengalaman buruk yang menjadi bagian dari sejarah gelap Indonesia.
Meski peristiwa itu menyeramkan, menurut Nuarta, patung “Nightmare” dapat menyampaikan pengalaman buruk itu tanpa tampak menyeramkan, namun tetap menyentuh perasaan.
“Kejadian itu sangat menyesakkan. Saya bisa bayangkan bagaimana kalau itu istri saya, bagaimana kalau anak saya, bagaimana kalau ibu saya, yang diperlakukan seperti itu. Itu yang saya rasakan. Kok bisa melakukan hal yang begitu kejamnya?” kata Nuarta.
Patung Five Officials. (Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan)
Persoalan korupsi juga tak luput dari ketekunan kerja kreatif Nuarta. Kritiknya atas persoalan korupsi ia sampaikan dalam bentuk patung yang terdiri dari lima orang laki-laki dewasa. Kelima patung laki-laki itu berdiri bersisian, tampak mengenakan jas dan dasi.
ADVERTISEMENT
Patung berwarna hijau dengan panjang tak lebih dari satu meter itu ia beri nama “Five Officials”. Bagian kepala setiap laki-laki pada patung “Five Officials” tampak kosong melompong. Lima laki-laki tanpa otak itu dipersonifikasikan sebagai para koruptor.
“Di patung ini otaknya enggak ada, dibolongin. Itu kan ‘Five Officials’, pejabat korupsi, yang otaknya enggak ada, moralnya enggak ada,” kata Nyoman sambil terkekeh.
Galeri NuArt Nyoman Nuarta (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Memperhatikan lekat patung-patung di galeri NuArt Sculpture Park dapat membawa suasana hati pada perasaan muram. Muram lantaran potret persoalan sosial dan keadilan yang disampaikan Nuarta melalui ragam patung yang ia kerjakan terpampang gamblang.
Warna kelabu dinding galeri pun seolah diselaraskan untuk menguatkan kesan muram tersebut.
Tak hanya menangkap persoalan yang kerap terjadi pada masyarakat, patung-patung itu juga menyampaikan pengalaman pribadi Nuarta ketika berhadapan dengan persoalan keadilan--yang sebetulnya kerap dialami pula oleh orang kebanyakan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, pada patung bertajuk “Condemned”. Patung itu berbentuk seorang laki-laki yang duduk menyendiri diapit dua kursi kosong di kanan kirinya. Ia tampak tertunduk lesu, dan kedua tangannya diletakkan di atas lutut.
“Condemned”--yang dalam bahasa Indonesia berarti mengutuk, menceritakan perasaan seorang yang terjerat perkara hukum di mana ia merasa “kecil”, sendirian, dan terasing.
“Saya bisa membayangkan bagaimana ketika divonis sesuatu di pengadilan. Itu kan rasanya ‘hilang’, kaki kita seperti enggak menapak. Makanya selama kita hidup, coba untuk berbuat baiklah. Jangan (berbuat jahat) seperti itu,” ujar Nyoman tentang patung yang ia buat pada 1988 silam tersebut.
Patung Condemned. (Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan)
Tak jauh dari “Condemned”, patung berbentuk seorang manusia yang tengah duduk pada bangku kecil juga menyibakkan suasana muram. Patung dengan posisi duduk menyamping itu bertajuk “Stress”.
ADVERTISEMENT
Patung “Stress” itu memangku kaki kiri di atas kaki kanannya. Dengan kepala disandarkan pada bahu kanan dan tangan kanan terjulur ke bawah, patung itu tampak terkulai.
Dari patung itu, Nuarta seolah ingin berbicara soal beratnya kehidupan sehari-hari yang dialami banyak orang, termasuk orang-orang dekat di sekitarnya. Melalui “Stress”, Nuarta juga ingin menyampaikan betapa dekatnya gangguan emosional itu tanpa selalu disadari.
Patung Stres. (Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan)
Bagi Nuarta, ide memang tak selalu muncul dari hal-hal baik saja. Kondisi ketidakadilan, peristiwa traumatik, atau keseharian yang tak mengenakan sangat mungkin dipetik sebagai ide kreatif.
Bukan untuk mengeksploitasi penderitaan, tetapi untuk menyampaikan pesan bahwa hal-hal buruk semacam itu ada dan sangat mungkin terjadi. Sehingga seni mengandung nilai moral, serta dapat menjadi rekaman sejarah.
ADVERTISEMENT
“Maka dari itu, dalam kehidupan, namanya manusia ya punya gangguan. Juga ada yang lain, seperti kebaikan. Itu semua bisa menghasilkan ide. Tidak semua dari yang baik-baik,” ucap Nyoman.
Deretan patung Nyoman Nuarta. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Seni menunjukkan sesuatu yang secara kasat mata mungkin tak tampak. Maka selain bercerita soal isu sosial di balik patungnya, karya-karya Nuarta juga mewujudkan citra dari hal yang kehadirannya tak tampak. Seperti gejala angin yang ia coba representasikan dalam bentuk tiga dimensi.
Cara Nuarta menangkap citra angin didasari pada benda-benda yang mengalami perubahan bentuk karena terpaan angin. Misalnya, dahan dan ranting pohon yang bergoyang, daun-daun yang rontok, dan ombak di laut.
“Patung saya itu umumnya menangkap citra. Tuhan ada, angin juga ada. Bentuk angin enggak ada yang tahu. Tapi Tuhan memberikan alam ada pohon, air, dan laut. Gejala angin itu bisa kita lihat melalui itu. Lahirlah karya saya yang mencitrai itu. Saya menangkap citra,” kata Nuarta.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, ujar Nuarta, pengalaman hidup dan alam bawah sadar merupakan hal penting yang mewujudkan semua karyanya.
Patung Rush Hour karya Nyoman Nuarta. (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)