Cover lipsus PMK

Payah Menangkal Wabah PMK (1)

20 Juni 2022 10:19 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah surat pemberitahuan diterima Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada 9 Mei 2022. Isinya, delegasi Indonesia melaporkan penyebaran wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi di beberapa daerah di Jawa Timur (Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, Lamongan) serta Aceh Tamiang.
Delegasi Indonesia di OIE ialah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nasrullah. Masih dalam laporannya ke OIE, Indonesia sedianya telah mendeteksi kemunculan PMK di Jatim sejak 12 April 2022—sebulan sebelum laporan dikirim. Sementara di Aceh Tamiang, PMK terdeteksi sejak 22 April 2022.
Pertengahan April itu, sapi-sapi yang terdeteksi PMK turun nafsu makannya, mengeluarkan air liur berlebih, lunglai, dan demam. Dari diagnosa awal, sapi-sapi itu dianggap terjangkit bovine ephemeral fever yang memang biasa terjadi. Demam ini ditularkan melalui gigitan nyamuk.
“Beberapa sapi mati dan seekor sapi keguguran pada trimester terakhir. Penyakit kemudian menyebar cepat ke desa-desa lain,” demikian isi laporan delegasi Indonesia ke OIE.
Sebelum laporan delegasi Indonesia ke OIE pada 9 Mei, penyebaran PMK di Indonesia baru terungkap ke publik pada 6 Mei. Itu pun bukan karena pemberitahuan resmi, melainkan karena bocornya surat Kepala Dinas Peternakan Jatim kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pada 5 Mei.
Dalam surat bernomor 524.3/5201/122.3/2022 itu, kasus pertama dilaporkan di Gresik pada 28 April 2022. Ketika itu 402 sapi terdeteksi PMK. Mereka tersebar di 5 kecamatan dan 22 desa. Akhirnya PMK menyebar ke tiga daerah lain sampai 3 Mei dan menyerang 1.247 sapi.
Kemunculan wabah PMK tahun ini merupakan yang pertama kali sejak 1986. Pada 1990, Indonesia sudah mendapatkan status bebas PMK tanpa vaksinasi dari OIE. Namun setelah lewat tiga dekade, pada 12 April 2022, OIE menangguhkan status bebas PMK yang disandang RI.
OIE mengkategorikan PMK sebagai penyakit ternak yang parah, sangat menular, dan berdampak negatif terhadap perekonomian. PMK menyerang sapi, domba, kambing, babi, dan ruminansia berkuku belah lain.
Peternak menunjukkan mulut sapi yang terkena PMK di kandang karantina milik peternak di Desa Jeulekat, Lhokseumawe, Aceh. Foto: ANTARA/Ampelsa
PMK disebabkan oleh virus dari genus Apthovirus, famili Picornaviridae, yang berukuran sekitar 20-25 mikron. Virus ini memiliki 7 strain (A, O, C, SAT1, SAT2, SAT3, dan Asia1). Adapun yang terdeteksi di Indonesia ialah strain O.
Penularan virus tersebut bisa melalui hewan terjangkit yang berada di satu kawanan; kandang atau kendaraan pengangkut hewan yang terkontaminasi; bahan yang terkontaminasi seperti jerami, pakan, hingga air; peralatan yang terkontaminasi seperti pakaian atau alas kaki; daging atau produk hewani yang terkontaminasi; serta penularan lewat udara (airborne).
Tingkat infeksi PMK mencapai 100% dengan tingkat kematian 5%. Namun, tingkat kematian bisa lebih tinggi pada hewan ternak muda (20%).

Pemerintah Kepayahan

Munculnya kasus PMK membuat Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menetapkan 4 daerah di Jatim dan 2 daerah di Aceh sebagai daerah wabah. SK tersebut diteken pada 9 Mei.
Sejak PMK merebak, berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada 20 Juni sudah 206 ribu ekor sapi terjangkit PMK. Ratusan ribu sapi itu tersebar di 204 kabupaten/kota di 19 provinsi.
Dari jumlah tersebut, 63.699 sapi diklaim sembuh, 1.864 sapi dipotong bersyarat, dan 1.211 sapi mati. Jumlah sapi yang paling banyak terjangkit PMK berada di Jatim, mencapai 83 ribu ekor.
Namun, menurut Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Nanang Purus Subendro, data resmi Kementan itu tak sesuai dengan angka sebenarnya.
Berdasarkan laporan yang ia terima dari lapangan, jumlah sapi yang terkena PMK sudah mencapai 1 juta ekor, sedangkan sapi terjangkit PMK yang mati diyakini sudah melebihi 5 ribu ekor. Tingginya angka penularan diperparah lalu lintas hewan yang semakin tinggi jelang Idul Adha.
Pekerja merawat sapi untuk kurban di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) PD Dharma Jaya, Cakung, Jakarta, Senin (19/7/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
“Banyak sekali peternak yang enggak mau lapor karena ketakutan, keengganan. Buat apa [lapor], malah merepotkan. Melapor juga susah cari obat, tenaga medis terbatas. Itu realita di lapangan,” kata Nanang kepada kumparan, Jumat (17/6).
Keyakinan bahwa jumlah sapi terjangkit lebih banyak dari data Kementan juga disampaikan anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika. Berdasarkan pengaduan perkumpulan peternak sapi di Bogor, sapi perah yang terjangkit PMK di Bogor sudah mencapai 1.200 ekor, sementara Kementan hanya mendata 800-an.
“Pendataan tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya. Kemarin (15 Juni) kami cek jam 5 sore, angka yang mati 750 ekor. Kami cek lagi jam 7 malam, [yang mati turun] jadi 745 ekor. Laporan tidak real time, tapi dikondisikan,” ucap Yeka.
Yeka berpendapat, petugas yang tak cepat tanggap membuat banyak peternak enggan melapor.
“Apa yang bisa diberikan pemerintah ke peternak kalau harus nurut? [Sapi] mati enggak diganti. Coba kalau pendekatannya [beda]—sapi kena PMK dirawat petugas, ditaruh di tempat khusus, jika mati ada santunan, kan enak,” kata Yeka.
Petugas posko penanggulangan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Kabupaten Aceh Besar melihat kerbau yang mati akibat wabah PMK di Blang Bintang, Aceh Besar, Aceh, Selasa (31/5/2022). Foto: Irwansyah Putra/Antara Foto
Berbagai perhimpunan dan asosiasi peternak sapi maupun dokter hewan menyatakan kondisi penularan PMK kini semakin parah. Sebulan lebih sejak PMK terungkap, tingkat penularan mencapai rata-rata 4.000 sapi per hari.
Pemerintah dinilai lamban dan terindikasi sengaja menutupi kemunculan PMK. Padahal, PMK sudah terdeteksi sejak 12 April.
“Khas pejabat-pejabat kita, kalau ada yang buruk cenderung disimpan, tidak disampaikan. Maunya diatasi sendiri, yang nyatanya tidak teratasi. Seandainya dibuka dari awal, meski akan berdampak pada nama baik kita (RI), tapi bisa segera dituntaskan,” ujar Nanang.
Yeka sependapat. “Pemerintah lalai dan abai saat semestinya responsif. PMK penyakit berbahaya. Kalau memperlakukannya dengan cara sangat permisif, apalagi meremehkan, ya sudah bunuh diri.”
kumparan telah mengajukan permohonan wawancara kepada Mentan Syahrul Yasin Limpo dan Dirjen PKH Nasrullah. Nasrullah melempar permohonan itu ke Kabiro Humas dan Informasi Kementan, Kuntoro Boga Andri. Awalnya Kuntoro bersedia menjawab pertanyaan, namun kemudian tak merespons.
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di dalam ruangan Rumah Potong Hewan (RPH), Desa Lambaro, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (19/5/2022). Foto: Ampelsa/ANTARA FOTO
Sesuai UU Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Permentan Nomor 61 Tahun 2015, pemberantasan penyakit hewan, termasuk PMK, dilakukan dengan menutup daerah wabah, membatasi lalu lintas hewan, memberikan kekebalan pada hewan/vaksinasi, mengisolasi dan mengobati hewan sakit, memusnahkan bangkai hewan terjangkit, eradikasi atau pemusnahan total hewan terjangkit, serta depopulasi hewan.
Menurut PPSKI, cara paling ampuh memberantas PMK adalah melalui depopulasi seperti pemotongan hewan, pemusnahan populasi hewan di daerah tertentu, eliminasi hewan, dan eutanasia. Pilihan ini seharusnya dilakukan di awal ketika wabah mulai terdeteksi.
Dari informasi yang dihimpun kumparan, stamping out (pemusnahan) hewan ternak terjangkit PMK pada awal penularan pernah terjadi pada 2015. Saat itu, PMK terdeteksi di peternakan babi di Gunung Sindur, Bogor.
Babi merupakan amplifier atau penyebar virus super PMK. Maka, tak lama setelah terdeteksi, ratusan babi di peternakan itu disuntik mati.
“Kalau stamping out sejak awal, enggak banyak keluar duit. Misalnya potong bersyarat, [peternak] dikasih selisih harga normal ke harga akhir sekitar 20%. Kalau turun dari Rp 20 juta jadi Rp 16 juta per ekor, hanya Rp 4 juta kompensasinya,” kata Nanang.
Pekerja memberikan makan sapi di peternakan sapi di Jakarta, Rabu (18/5/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kompensasi memang sangat diharapkan para peternak. Tetapi sesuai Pasal 44 ayat (3) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemerintah tidak memberi kompensasi kepada peternak apabila hewan terjangkit penyakit mati. Pemerintah hanya memberi kompensasi apabila hewan yang dimusnahkan dalam keadaan sehat.
Tak adanya kompensasi mengakibatkan angka sapi terjangkit PMK tidak sesuai data sebenarnya. “Apa untungnya [peternak sapi] lapor ke pemerintah, dapat ganti enggak, kalau lapor dapat cap merah, enggak bisa dagang,” ucap Rochadi, Dewan Pakar Ikatan Sarjana Peternak Indonesia (ISPI).
Kondisi ini disadari Kementan. Dirjen PKH Kementan, Nasrullah, tengah mengusulkan anggaran kompensasi bagi peternak yang sapinya mati kena PMK sebesar Rp 2,43 triliun. Nominal tersebut dengan estimasi 243 ribu sapi PMK mati dan penggantian Rp 10 juta per ekor. Namun angka tersebut masih sekadar usulan dan akan dibicarakan dengan Kemenkeu.
Mentan RI Syahrul Yasin Limpo menghadiri kegiatan pelayanan ternak terpadu pada Program Prioritas Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan) di Desa Bontomanai, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Foto: Kementan RI
Meski penularan PMK sudah menyebar ke 18 provinsi, hingga kini Kementan baru menetapkan 6 kabupaten/kota di 2 provinsi sebagai daerah wabah. Terlebih, PPSKI baru dilibatkan dalam kebijakan penanganan PMK sejak akhir Mei.
Berbagai perhimpunan dan asosiasi peternak mendesak pemerintah agar menetapkan PMK sebagai wabah nasional dengan status kejadian luar biasa.
Melalui penetapan tersebut, lalu lintas sapi akan semakin ketat. Sapi dari zona merah wabah tidak boleh masuk zona hijau. Sedangkan sapi di zona hijau bisa dikirim ke zona merah dengan tujuan potong, bukan ternak.
Penetapan PMK sebagai wabah nasional juga mengurangi beban peternak. Seperti biaya kredit sapi diperlunak, peternak bisa klaim asuransi apabila sapi mati kena PMK, serta anggaran pemerintah lebih mudah cair untuk penanganan PMK. Namun menurut Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, penetapan PMK tak bisa dilakukan secara nasional. Ekspor hortikultura Indonesia bisa terdampak negatif.
“Kalau kita declare darurat PMK maka seluruh ekspor hortikultura kita akan dilarang dan bisa untuk waktu yang panjang. Rata-rata [pelarangan] bisa kena lebih dari 1 tahun,” ucapnya.
1800 sapi terkena wabah Penyakit mulut dan kuku (PMK) di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat. Foto: Dok. Liedzikri Rizqi Insani
Walau pemerintah belum mendeklarasikan PMK wabah nasional, penularan PMK di Indonesia sudah diumumkan secara global oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Sejauh ini, beberapa negara seperti Australia, Inggris, dan Malaysia sudah mewaspadai kondisi PMK di Indonesia.
“Departemen menyarankan industri peternakan untuk waspada, meningkatkan kesadaran di perbatasan, khususnya di [bagian] utara, memberikan saran kepada pemerintah negara bagian dan teritori, dan berkoordinasi dengan rekan-rekan di Indonesia,” tulis Departemen Pertanian, Air dan Lingkungan Australia dalam pengumumannya.
“Terdapat risiko masuknya PMK pada produk hewani dari negara yang terkena dampak melalui berbagai jalur, seperti impor ilegal, termasuk dari Indonesia. Wisatawan dari Asia dan wilayah negara ketiga lainnya yang membawa daging atau produk susu dapat menghadapi tuntutan dan denda besar,” tulis Departemen Lingkungan, Pangan dan Urusan Pedesaan Inggris.
Eks Ketua Tim Pemberantasan PMK pada 1983, Sofyan Sudardjat, mengatakan deklarasi sangat penting agar penularan tak semakin meluas. Pada 1983, Sofyan menyatakan deklarasi PMK disampaikan 2 pekan usai kasus pertama ditemukan di Blora, Jateng.
“2 ekor [sapi] saja yang kena kami nyatakan wabah [nasional]. Kalau lambat, PMK akan sulit diberantas,” ucap Sofyan.
Pekerja membersihkan sapi di peternakan sapi di Jakarta, Rabu (18/5/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Sumber Penularan

Sudah dua bulan lebih sejak kasus PMK terdeteksi pada 12 April, hingga kini Kementan belum mengungkap sumber awal penularan. Berdasarkan laporan ke OIE, Kementan menduga kuat awal mula penularan dari impor hewan ilegal.
“Meski hasil akhir masih sulit untuk menentukan sumber penularan, namun impor hewan hidup secara ilegal diduga sebagai sumber utama penularan,” tulis laporan delegasi Indonesia.
Belum jelasnya muasal penularan sempat disinggung di rapat DPR pada 23 Mei. Ketua Komisi IV DPR, Sudin, mencecar Mentan Syahrul Yasin Limpo soal muasal PMK agar tak simpang siur. Sedangkan Dirjen PKH Nasrullah mengaku masih menginvestigasi awal mula penularan.
"Bagaimana mau menemukan vaksin sementara asal muasal kagak tahu,” ujar Sudin.
Sumber awal penularan yang masih sumir menimbulkan berbagai prasangka. Rumor menyebut sumber virus berasal dari domba terjangkit PMK dari Malaysia. Tetapi ada pula yang meyakini sumber penularan karena impor daging kerbau dari India.
Pekerja menata daging beku impor asal India yang tiba di New Priok Container Terminal One (NCPT1), Jakarta, Sabtu (5/3/2022). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
“Peternak hampir semua meyakini ini [virus PMK] terbawa daging kerbau India,” kata Nanang.
India memang bukan negara bebas PMK, tetapi Indonesia sudah mengimpor daging dari negeri Bollywood sejak 2016. Pada 2016-2021, impor daging kerbau India mencapai 418 ribu ton. Sampai 2020, nilai impor daging kerbau India sebesar USD 1,1 juta.
Upaya legalisasi impor daging dari negara tidak bebas PMK sedianya dimulai sejak diundangkannya UU 18/2009 yang merevisi UU 6/1967. Saat itu, impor produk hewani yang semula hanya berbasis negara bebas PMK berubah menjadi zona. Artinya, impor dari negara belum bebas PMK diperbolehkan asalkan berasal dari zona bebas PMK.
Berbagai pihak menggugat ketentuan itu ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan. Namun, pada 2014, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan direvisi lagi menjadi UU 41/2014. Klausul impor berbasis zona kembali dimasukkan meski sudah ada putusan MK. Aturan tersebut kembali digugat ke MK, tapi kali itu ditolak.
Akhirnya, keran impor daging kerbau India terbuka sejak 2016 usai aturan teknis diteken Presiden Jokowi melalui Peraturan Pemerintah No 4/2016. Namun, dalam aturan itu, hanya BUMN yang bisa mengimpor.
Pada Februari 2022, Jokowi kembali melonggarkan aturan impor daging dari India yang kini bisa dilakukan swasta. Beleid ini termaktub di PP No 11/2022.
Daging kerbau dari India tiba di Tanjung Priok. Foto: Bulog
Impor daging yang dibuka lebar, termasuk oleh swasta, tentu berpotensi menimbulkan kebocoran. Menurut Nanang, tak ada yang bisa menjamin daging kerbau dari India bebas PMK meski berasal dari zona atau kompartemen yang bebas PMK.
“Harus ada mekanisme analisis risiko ketika swasta bisa impor [daging] dari India. Pertanyaannya: diawasi enggak sama pemerintah? Enggak bisa pemerintah cuci tangan,” ujar Yeka.
Belum lagi apabila produk turunannya seperti kulit maupun tanduk sapi yang bisa jadi media penularan ikut diimpor.
“Kalau daging saja relatif aman, tapi siapa tahu bungkusnya, dibawa waktu jalan. Kan ini [PMK] airborne disease,” kata Rochadi Tawaf
“Contoh kulit [kerbau] dari India peminatnya banyak buat pengrajin. Mereka [pengrajin] areanya juga ada di sentra ternak,” ujar dokter hewan KPBS, Taufik.
kumparanplus: Payah Menangkal Wabah Foto: kumparan
Menyebarnya PMK membuat harga sapi amburadul, terlebih jelang momen Idul Adha. Harga sapi di daerah pasar seperti Jabodetabek naik 10% dibanding tahun lalu, semula Rp 20 juta menjadi Rp 22 juta. Ini disebabkan terbatasnya pasokan dari daerah lumbung sapi seperti Jatim, NTB, dan Lampung karena PMK. Daerah lumbung sapi yang masih bebas tersisa NTT.
Sebaliknya, sapi di daerah wabah PMK seperti Jatim walaupun sehat harganya turun 10%. “Tapi kalau sapi sudah kena PMK turunnya 60%. Sapi potong dari 20 juta jadi Rp 8 sampai Rp 10 juta, sapi perah paling parah dari Rp 20 juta jadi Rp 1,5 juta,” jelas Nanang Purus.
Sapi ukuran jumbo seperti jenis Simmental atau Limosin termasuk yang paling terdampak selain sapi perah. Sebab ketika terkena PMK di bagian kaki, sapi jumbo otomatis tak bisa berdiri dan malas makan.
“Hampir semua sapi di atas 600 kg persentase kematiannya tinggi sekali. Saya banyak dapat laporan sapi jumbo yang sudah deal harga Rp 80 juta, terpaksa dipotong karena PMK menjadi Rp 25 juta,” kata Nanang.
Untuk mencegah kerugian semakin besar, PPSKI telah bertemu dan mengusulkan kepada Badan Pangan Nasional agar sapi-sapi terjangkit PMK bisa dibeli sebagai stok, sedangkan impor daging dari India diminta dihentikan.
PPSKI mendorong seluruh sapi PMK dibeli pemerintah. Apabila tidak, sapi terkena PMK walau sudah membaik, masih menyimpan virus di nasofaring atau tenggorokan sampai 2,5 tahun. Menurut Nanang, Badan Pangan Nasional sudah menyetujui skema tersebut dan akan berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian.
Jika skema ini terlaksana, sapi-sapi yang terkena PMK akan dibeli dengan harga yang tidak jauh dari harga pasar. Semisal saat ini harganya Rp 55 ribu sampai 60 ribu per kg, Badan Pangan Nasional akan membeli di harga Rp 48 ribu per kg.
“Ini situasi win-win, dari sisi komersial masih memungkinkan membuat harga daging terjangkau, tapi di sisi lain kerugian peternak enggak terlalu besar, enggak sampai turun 50%,” ucap Nanang.
Dokter hewan Dinas Pertanian dan Perikanan menyuntikan dosis vaksin penyakit mulut dan kuku (PMK) kepada seekor sapi ternak di Kandang Komunal Gapoktan Desa Mertan, Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (18/6/2022). Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA FOTO

Kapan Indonesia Bebas PMK Lagi?

Upaya memberantas PMK juga dilakukan dengan vaksinasi terhadap sapi-sapi sehat agar tak tertular. Kementan telah memesan 3 juta vaksin dari Prancis. Dari jumlah itu, baru tiba 800 ribu vaksin dan yang sudah disuntikkan 1.215 dosis berdasarkan data pada 20 Juni.
Guru Besar Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Prof. Fedik Abdul Rantam, Rochadi Tawaf, dan Sofyan Sudardjat menyatakan, batas minimal vaksinasi agar bebas PMK yakni 70-80% dari total populasi sapi sebanyak 18 juta ekor. Vaksin harus diberikan 2 dosis. Artinya, butuh minimal 25 juta vaksin agar tercipta kekebalan.
Kementan menyatakan 3 juta vaksin dari Prancis merupakan tahap awal. Sedangkan sisanya akan disuplai Pusat Veteriner Farma Surabaya. Ditargetkan, vaksin lokal akan tersedia pada Agustus.
Prof. Fedik yang ikut dilibatkan dalam pembuatan vaksin PMK meyakini target Agustus bisa terpenuhi bila didukung penuh. Tetapi sejauh ini anggaran belum tersedia di Kementan.
“Sekarang [pembuatan vaksin] terkendala dana,” kata Prof. Fedik.
Berbagai keterbatasan dan gagapnya pemerintah menangani PMK membuat sejumlah ahli meragukan Indonesia akan bebas wabah dalam waktu dekat.
Rochadi Tawaf memprediksi dengan terbatasnya vaksin dan lalu lintas sapi yang padat tanpa pengawasan ketat, Indonesia baru bebas PMK 10-20 tahun lagi. Sedangkan Nanang menilai apabila seluruh sapi PMK dipotong bersyarat dan vaksinasi mencapai angka ideal 80% dari total populasi, Indonesia bisa bebas 2,5 tahun lagi.
Perlunya PMK segera diatasi karena kerugiannya bukan hanya dirasakan peternak, tapi berdampak ke sektor ekonomi lain seperti larangan ekspor produk hewani maupun berkurangnya wisatawan.
Apabila kerugian hanya menghitung peternak, berdasarkan data 14 Juni dengan sapi terdampak 113 ribu ekor, Ombudsman memprediksi kerugian mencapai Rp. 254 miliar.
Sedangkan Pengamat Kesehatan Hewan Internasional, Tri Satya Putri Naipospos, pada 2012 memperkirakan kerugian ekonomi karena PMK di Indonesia mencapai Rp 9,6 triliun. Hitungan Sofyan Sudardjat lebih besar lagi, mencapai Rp 15,5 triliun.
“Ini [PMK] masalah serius tapi ditumpangi dengan berbagai macam kepentingan, akhirnya jadi begini, pemerintah harus tanggung jawab,” tutup Yeka Hendra.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten