PBB Beberkan Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Uighur di Xinjiang
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Penyelidikan tersebut mengonfirmasikan tuduhan kekerasan oleh pemerintah China. Kelompok HAM, negara-negara, hingga komunitas internasional telah lama melayangkan tudingan demikian.
Laporan itu merinci rentetan pelanggaran HAM yang menargetkan kelompok muslim di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Namun, PBB tidak menyinggung tudingan utama, yakni genosida.
"Skala penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap Uighur dan kelompok Muslim lainnya dapat merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan," tulis laporan tersebut, dikutip dari laman resmi OHCHR, Kamis (1/9).
Para penggiat HAM meyakini, China menahan lebih dari satu juta orang Uighur di XUAR. Badan PBB lain sempat mengeluarkan laporan serupa pada Agustus 2018.
Pihaknya mencatat, China menggunakan sistem hukum anti-terorisme domestik sebagai dalih. Beijing bersikeras hanya menjalankan pusat vokasi untuk mengekang ekstremisme.
ADVERTISEMENT
"Pelanggaran hak asasi manusia yang serius telah dilakukan di XUAR dalam konteks penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-'ekstremisme' oleh pemerintah. Implementasi strategi dan kebijakan terkait di XUAR telah menyebabkan pembatasan berat dan tidak semestinya pada berbagai hak asasi manusia," jelas OHCHR.
OHCHR menekankan, China mengadopsi interpretasi luas atas ekstremisme. Kebijakan negara itu sering kali secara eksplisit menargetkan prinsip-prinsip standar agama dan praktik Islam.
Alhasil, segala perilaku terkait keagamaan berpotensi melanggar aturan pemerintah China. Para korban lantas berisiko menghadapi sanksi pidana atau pendidikan deradikalisasi.
"Sebuah lingkungan diciptakan di mana praktik atau ekspresi agama atau budaya disamakan dengan 'ekstremisme' dan dapat menyebabkan konsekuensi serius," terang OHCHR.
Mengeklaim memberantas ekstremisme, China membangun Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan (VETC) sejak 2017. Otoritas menempatkan muslim dalam fasilitas itu untuk 'deradikalisasi'
ADVERTISEMENT
OHCHR menjelaskan, penempatan tersebut tidak bersifat sukarela. Individu dalam pusat semacam itu tidak memiliki pilihan. Artinya, penempatan mereka merupakan bentuk perampasan kebebasan.
Badan tersebut turut mewawancarai penyintas dari VETC di delapan lokasi berbeda di XUAR. Pihaknya menjangkau 26 mantan tahanan dari Prefektur Otonomi Ili Kazakh, Aksu, Bayingol, Hotan, Karamay dan Urumqi. Mereka menjalani tahanan dari dua hingga 18 bulan.
Para penyintas mengaku mengalami penganiayaan selama interogasi maupun sebagai bentuk hukuman atas dugaan kesalahan. Mereka dipukuli dengan tongkat listrik hingga dikurung dalam ruang isolasi.
Selain penyiksaan fisik, para tahanan mengalami kekerasan seksual berbasis gender di VETC. Tuduhan-tuduhan berkisar dari pemerkosaan sampai praktik sterilisasi paksa bagi perempuan.
OHCHR tidak dapat memastikan jumlah tepat korban penahanan dan kekerasan di VETC. Tetapi, pihaknya menyimpulkan, sistem tersebut beroperasi dalam skala luas di seluruh wilayah China.
ADVERTISEMENT
"Gambaran penahanan di VETC pada periode 2017 hingga 2019 yang dikumpulkan oleh OHCHR ditandai dengan pola penyiksaan atau bentuk lain dari perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, pelanggaran lain terhadap hak orang yang dirampas kebebasannya, serta pelanggaran hak atas kesehatan," papar OHCHR.
Hingga kini, China masih berpegang teguh pada klaimnya dengan mengecam laporan OHCHR. Perwakilan China di Jenewa menggambarkannya sebagai kebohongan dari kaum anti-China.
"Orang-orang dari semua kelompok etnis di Xinjiang hidup bahagia dalam damai dan kepuasan. Ini adalah perlindungan hak asasi manusia terbesar dan praktik hak asasi manusia terbaik," kata perwakilan China di Jenewa, dikutip dari AFP.
Bachelet telah menghadapi reaksi semacam itu selama merancang dokumen terkait dalam beberapa tahun terakhir. Dia bersumpah akan membela para korban saat mulai memimpin OHCHR pada 2018.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, laporan itu baru dirilis dalam 12 jam terakhir masa jabatan Bachelet pada Rabu (31/8). Publikasi yang berulang kali tertunda membuat aktivis menuduhnya terlalu lunak terhadap China.
Bachelet mengakui, dia menerima tekanan untuk menguburkan laporan tersebut. OHCHR lantas mengungkapkan keprihatinan atas tanggapan pemerintah China. Badan itu turut menyoroti kurangnya mekanisme ganti rugi bagi korban pelanggaran HAM di XUAR.
"Penyangkalan menyeluruh pemerintah atas semua tuduhan, serta serangan gender dan penghinaannya terhadap mereka yang telah maju untuk berbagi pengalaman mereka, telah menambah penghinaan dan penderitaan para penyintas," tegas OHCHR.
Menyambut hasil investigasi menyeluruh, organisasi-organisasi internasional menyanjung tindakan OHCHR. Mereka kemudian menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah China.
Dalam laporannya, OHCHR membuat sejumlah rekomendasi pula kepada pemerintah China. Pihaknya mendorong pembebasan tahanan dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM di XUAR.
ADVERTISEMENT
OHCHR juga meminta klarifikasi atas laporan penghancuran tempat-tempat suci kaum muslim di wilayah tersebut. Badan itu turut mendesak peninjauan atas kerangka hukum seputar kontra-terorisme dan hak-hak minoritas.
"Karena kondisinya tetap memungkinkan pelanggaran serius yang terus berlanjut dan berulang, ini juga harus ditangani dengan segera dan efektif," tulis OHCHR.