PBB Peringatkan Kehancuran Sistem Pangan Dunia Akibat Invasi Rusia

15 Maret 2022 6:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi petani gandum. Foto: Yamam al Shaar/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani gandum. Foto: Yamam al Shaar/REUTERS
ADVERTISEMENT
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan kemungkinan keruntuhan sistem pangan dunia akibat invasi Rusia ke Ukraina.
ADVERTISEMENT
Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut peperangan yang disapukan Kremlin akan memicu badai kelaparan. Sebab, Guterres menerangkan, agresi militer menghambat rantai pasokan makanan dunia.
Negara-negara termiskin kemudian akan menanggung imbas terbesar. Terlebih, sebagian negara masih berjerih payah untuk pulih dari pandemi dengan inflasi, kenaikan suku bunga, dan beban utang yang menjulang.
Sebelumnya, kepelikan masalah kesehatan menjangkiti mereka. Kini, pasokan makanan yang menyusut turut menghantui negara-negara itu.
Sekjen PBB Antonio Guterres Foto: REUTERS/Murad Sezer
Guterres menegaskan, perang Rusia-Ukraina bukan sebatas konflik di satu titik, tetapi telah menjalar ke seantero dunia. Sebab, dampaknya menimpa kelompok paling rentan di berbagai penjuru.
"Perang ini jauh melampaui Ukraina. Ini juga merupakan serangan terhadap orang dan negara paling rentan di dunia," tutur Guterres, seperti dikutip dari AFP.
ADVERTISEMENT
"Sekarang keranjang roti mereka dibom," lanjut Guterres.
Guterres mengungkap, indeks harga pangan global PBB merayap hingga level tertinggi dalam sejarah. Ia turut mencatat, Ukraina sendiri menyuplai lebih dari setengah pasokan gandum milik Program Pangan Dunia (WFP).
Ilustrasi gandum. Foto: Reuters/s Duvignaua
Pun 45 negara terbelakang mengimpor setidaknya sepertiga gandum mereka dari Kiev atau Moskow. Negara-negara tersebut meliputi Burkina Faso, Mesir, Kongo, Lebanon, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
"Kita harus melakukan segala yang mungkin untuk mencegah badai kelaparan dan kehancuran sistem pangan global," pinta Guterres, seraya menyerukan agar permusuhan segera berakhir.
Kekhawatiran Guterres tidak dilebih-lebihkan. Pasalnya, imbas dari invasi Rusia telah singgah di berbagai sudut yang jauh dari medan perang.
Ruang domestik mendapati kenaikan harga pangan seperti pada 2008 lalu usai krisis keuangan global. Bahkan, harga gandum, jagung, dan kacang kedelai telah melampaui peningkatan pada masa itu dalam beberapa hari terakhir.
ADVERTISEMENT
"Konsekuensi yang mengerikan dari serangan Rusia di Ukraina juga terasa di tempat-tempat yang jauh. Harga biji-bijian dan minyak dengan cepat mendekati atau bahkan melampaui tingkat yang tidak terlihat sejak krisis pangan dan bahan bakar 2008," jelas Kepala Ekonom dan Direktur Penelitian, Penilaian dan Pemantauan di Program Pangan Dunia PBB, Arif Husain, dalam sebuah cuitan di Twitter.
Dampak tersebut dapat kian memburuk. Sebab, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menuturkan, petani Ukraina berisiko melewatkan musim tanam penting pada Mei mendatang.
Ukraina merupakan pemasok gandum terbesar kelima dengan kontribusi sekitar 10 persen dari keseluruhan pasar global.
Kiev juga turut menyumbang 15 persen ekspor jagung secara global. Sehingga, negara itu juga salah satu pengekspor jagung terbesar.
ADVERTISEMENT
Wilayah Laut Hitam pun menyumbang setidaknya 12 persen dari seluruh kalori makanan global. Pasokan itu termasuk minyak bunga matahari, jagung, gandum, dan tanaman lainnya.
Sebagian besar ekspor tersebut dikirim ke Timur Tengah dan Afrika. Wilayah-wilayah yang menerima 40 persen gandum dari Laut Hitam tersebut telah mendapati kenaikan harga pangan yang menggigit.
com-Dirjen TP, ilustrasi jagung Foto: Dok. Dirjen TP
Sementara itu, pasokan dari Rusia akan terancam jika Moskow membatasi ekspor gandum sebagai tanggapan atas sanksi dari Barat. Kremlin sendiri merupakan pengekspor gandum terbesar di dunia dengan sekitar 17 persen pangsa pasar ekspor global.
Selain gandum, Negara Beruang Merah juga merupakan pemasok biji bunga matahari terbesar kedua di dunia.
Menilik fenomena tersebut, Presiden Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian (IFAD), Gilbert Houngbo, mengungkap keprihatinan mendalam.
ADVERTISEMENT
Houngbo mengatakan, kenaikan tanaman pokok dunia dapat membahayakan ketahanan pangan global dan meningkatkan ketegangan geopolitik.
Namun, lebih daripada itu, keluarga tak mampu yang berpeluh darah untuk bertahan hidup akan menerima pukulan tak henti.
"Kelanjutan konflik ini, yang sudah menjadi tragedi bagi mereka yang terlibat langsung, akan menjadi bencana besar bagi seluruh dunia, dan khususnya mereka yang berjuang untuk memberi makan keluarga mereka," ujar Houngbo, seperti dikutip dari situs resmi Forum Ekonomi Dunia (WEF).