Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pertemuan rombongan petani Desa Perkebunan Sungai Iyu, Aceh Tamiang, Daerah Istimewa Aceh, dengan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dari Kantor Staf Presiden (KSP) pada Oktober 2017 nyaris buyar sebelum waktunya. Salah satu anggota tim, Iwan Nurdin, ingin pertemuan ditutup tak lama setelah Ketua KSP Moeldoko datang mengecek ruang pertemuan. Iwan beralasan ruangan akan dipakai rapat.
Usul Iwan ditolak oleh Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Era Purnama Sari, yang ketika itu ikut mendampingi para petani.
“Semua orang saja belum bicara, belum sampai pada kesimpulan kita ngomong apa,” ujar Era kepada kumparan di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Sikap Iwan, yang merupakan mantan aktivis agraria, membuat Era kecewa. Para petani itu mau menempuh perjalanan yang jauh nan mahal demi memenuhi undangan KSP. Belum tuntas pembicaraan dan belum jelas nasib mereka, pertemuan dibubarkan lebih cepat dari jadwal.
Sudah sejak 2013 para petani Desa Sungai Iyu terbelit sengketa agraria. Perusahaan kelapa sawit, PT Rapala, mengklaim tanah seluas 144 hektare milik petani merupakan bagian dari 1.069 hektare Hak Gunan Usaha (HGU) perusahaan. Para penduduk desa itu hanya diberi kompensasi sebesar Rp 10 juta per kepala keluarga dan waktu sepekan untuk pergi meninggalkan tanah yang selama ini menghidupi mereka.
Para petani itu berupaya melawan, tetapi hukum tak berpihak pada mereka. Hingga akhir Mei 2018 tercatat 25 warga desa diperiksa polisi, 22 di antaranya menjadi tersangka dengan pasal menguasai lahan perusahaan.
Pertemuan di KSP itu hanya menghasilkan janji, Iwan akan bertandang ke desa itu untuk mengecek kondisi.
Namun kekecewaan berlanjut, Iwan yang berkata akan datang di bulan Desember 2018 tak kunjung tiba hingga berganti tahun. Perjalanan ke Jakarta pun dirasa sia-sia.
“Belum (datang KSP). Sementara (di sisi lain) orang semakin banyak juga dikriminalisasi,” pungkas Era.
Iwan sendiri mengaku ia tak bisa berangkat karena terhambat birokrasi. Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tak diterimanya dari Deputi V KSP walaupun ia sudah menorehkan berkas konflik lahan petani Desa Perkebunan Sungai Iyu sebagai prioritas.
“Kalau nggak (ada SPPD) ya nggak bisa. Tapi kan kita nggak bisa ngomong sama dia (warga Perkebunan Sungai Iyu),” aku Iwan di Swiss-Belresidences, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).
Kekecewaan Era merupakan penggalan kisah putus asa aktivis terhadap rekannya yang bergabung ke pemerintahan. Iwan sendiri pernah duduk sebagai Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria periode 2013-2016.
KSP memang membuka pintunya lebar-lebar menerima pengaduan masyarakat. Aktivis pun berbondong-bondong membawa masyarakat yang didampinginya untuk mengadu. Mereka berharap rekan mereka yang duduk di sana bisa membantu penyelesaian kasus lebih cepat.
Tetapi rasa kecewa lebih sering dialami karena dari sekian kasus yang diadukan lebih banyak tak berujung apapun. Padahal pendampingan sudah berjalan bertahun-tahun.
Beberapa kasus yang dulu didampingi oleh aktivis yang kini duduk di pemerintahan pun bernasib sama. Misalnya saja konflik di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, antara masyarakat Samin dengan PT Semen Indonesia.
Dulu Deputi II KSP Abetnego Tarigan turut menjadi pendamping masyarakat Samin ketika masih aktif di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Namun ia tak bisa berbuat apa-apa walaupun masyarakat Samin sudah memenangi perkara izin lingkungan melalui putusan Mahkamah Agung pada 2016.
Tak hanya itu, meski ibu-ibu masyarakat Samin telah beraksi menyemen kakinya di depan Istana bahkan sudah dua kali ditemui Kepala KSP berbeda, yakni Teten Masduki dan Moeldoko, tapi pertemuan itu tak memberi jalan keluar apapun.
Faktanya PT Semen Indonesia masih melakukan aktivitas pembangunan pabrik di pegunungan Kendeng. Di sisi lain kasus-kasus HAM masa lalu juga tak kunjung tuntas. Terbaru, aksi Reformasi Dikorupsi di mana ratusan masyarakat yang berdemonstrasi menolak berbagai pengesahan rancangan undang-undang malah dijawab dengan kekerasan oleh aparat polisi.
Rendahnya penyelesaian kasus ini membuat aktivis di luar istana menjadi geram. Mereka menganggap aktivis yang sudah sejak 2014 berada dalam lingkaran kekuasaan tak berhasil melakukan perubahan apapun.
Ketua Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan menilai hanya dua yang diharapkan masyarakat ketika mengadu kepada KSP. Satu, kasusnya bisa diselesaikan, kedua, berharap ada perubahan kebijakan. Sayangnya dua harapan itu tidak pernah terealisasi meski banyak aktivis yang bercokol di KSP. Ia menganggap, aktivis di dalam pemerintahan seakan meninggalkan perjuangan yang dulu mereka lakukan.
“Awalnya kita berpikir, ‘wah ini banyak aktivis di KSP’ dan seakan memberi ruang. Kita datang dan lain sebagainya, tapi lama kelamaan pertama nggak konkret, nggak jelas, dan kita juga (mikir) ngapain dibawa ke KSP,” ujar Arip, Senin (10/2).
Bagi Arip, seharusnya aktivis yang berada di dalam pemerintahan setidaknya memiliki koneksi langsung dengan Presiden dan bisa mengartikannya melalui kebijakan. Akan tetapi sampai saat ini aktivis di luar pemerintah tidak pernah melihat kinerja signifikan dari aktivis yang berada di dalam.
Penanganan konflik agraria seharusnya menjadi prioritas karena permasalahan ini memiliki imbas ekonomi dan hukum yang luas. Catatan KPA menunjukkan terjadi 580 letusan konflik agraria sepanjang 2014-2019 dan hanya empat konflik yang diselesaikan. Selain itu catatan akhir tahun mereka menunjukkan ada 216 orang ditahan tanpa prosedur karena konflik agraria dan 41 orang tewas di wilayah konflik.
Ketua Solidaritas Perempuan Dinda Nuur Annisaa Yura melihat minimnya kontribusi dari para aktivis yang kini duduk di pemerintahan tak lepas dari tidak adanya sistem pemberian mandat dari organisasi. Hal itu membuat para aktivis yang pergi masuk ke pemerintahan sama sekali tidak merepresentasikan gerakan masyarakat sipil.
Selain itu, menurut Caca—sapaan akrab Dinda—secara formil organisasi asal para aktivis yang kini duduk di pemerintahan juga tidak menuntut adanya laporan pertanggungjawaban tentang apa saja yang sudah dilakukan di dalam.
“Mereka tidak menciptakan mekanisme untuk menunjukkan bahwa sebenarnya keberadaan mereka itu untuk mendukung gerakan dan itu nggak terjadi,” kata Caca kepada kumparan, di Jalan Siaga, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (6/2).
Gerakan masyarakat sipil seakan terbelah dengan kekecewaan ini. Riak pecah kongsi di tubuh organisasi aktivis dan LSM pun terlihat. Ada tudingan bahwa aktivis yang duduk di pemerintahan telah dikuasai oleh pemerintah dan parpol untuk menundukkan lembaga asalnya beraktivitas.
Mantan Ketua Harian KNTI Ahmad Marthin Hadiwinata melihat kondisi, khususnya di isu agraria dan lingkungan, beberapa LSM mengalami perubahan posisi politik terhadap pemerintahan Jokowi. Menurutnya, beberapa alumni LSM yang kini ada di lintas sektor pemerintahan mencoba menurunkan tensi dari gerakan masyarakat sipil dan menggantinya dengan agenda pemerintah.
“Pada akhirnya terjadi perpecahan konsolidasi antar gerakan,” ujar Marthin, di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (7/2). “Budaya Indonesia ini sangat feodal. Penghormatan yang lebih tua ini kan di sisi lain juga menjadi dampak terhadap proses yang berjalan saat ini.”
Abetnego mengaku memang masih berhubungan dan berkomunikasi dengan Walhi. Akan tetapi dia membantah jika dituding mengkooptasi gerakan masyarakat sipil. “Saya nggak ada kepentingan bahwa Walhi harus dukung Jokowi. Tapi kita punya kepentingan bagaimana kritik dan pressure itu berkualitas. Jadi saya berkepentingan menjaga komunikasi itu.”
Puncak Perpecahan
Perpecahan aktivis memuncak di gelaran Global Land Forum (GLF) yang diadakan di Bandung, 24-27 September 2018. GLF merupakan ajang pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh International Land Coalition (ILC) setiap dua tahun sekali yang fokusnya membicarakan soal agraria dan lingkungan.
Di Indonesia sendiri ada empat organisasi masyarakat sipil yang menjadi anggota ILC yakni: KPA, Sajogyo Institute, Rimbawan Muda Indonesia, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Saat itu KPA, selaku anggota ILC, ditunjuk sebagai koordinator untuk menyelenggarakan acara GLF di Bandung.
Beberapa kelompok masyarakat sipil menolak gelaran GLF dan menilai GLF sebagai pesta rakyat palsu karena adanya keterlibatan World Bank dan International Fund for Agriculture Development (IFAD) sebagai anggota International Land Coalition (ILC).
Para penolak helatan GLF ini menuding agenda reforma agraria hanya dipinjam stempelnya untuk kepentingan pemerintah. Apalagi soft launching diselenggarakan di Istana Negara demi mendapat sambutan dari Presiden Jokowi. Debat antar aktivis pun menjalar hingga ke grup WhatsApp dan media sosial.
Para aktivis di pemerintahan, salah satunya adalah Abetnego, dituding turut mempengaruhi LSM penyelenggara, KPA dan Walhi, melalui seniornya agar tetap mau berperan dalam GLF. Hasilnya soft launching GLF tetap dibuka secara resmi oleh Presiden Jokowi di Istana Negara pada Sabtu (22/10/18). Saat itu, Sekjen KPA Dewi Kartika turut berpidato di hadapan Jokowi soal konflik agraria yang terjadi di Indonesia.
Abetnego membantah bahwa keterlibatan dirinya di acara penentuan soft launching dan GLF merupakan bentuk kontrol terhadap masyarakat sipil. Baginya, penggabungan acara soft launching dengan agenda pemerintah justru menjadi momentum politik yang bagus.
“Saya punya kepentingan memang bagaimana pimpinan aktivis itu ngomong di depan Presiden. Tapi itu nggak dihargai (sebagai) sebuah pencapaian kan,” kata Abetnego kepada kumparan, di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/1). “Bagi saya di dalam politik itu rekondisi-rekondisi secara simbolik menjadi penting.”
Manajer Kampanye, Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eknas Walhi, Wahyu Perdana, membantah peran para alumninya yang dituding mengontrol agar gelaran GLF tetap berlangsung. “Mau siapa pun (alumni) di sana, waktu kita mau main kenceng ya kenceng aja karena sejak awal standing-nya kita itu utamanya pada penguatan organisasi,” ujar Wahyu di Kantor Eknas Walhi, Jakarta Selatan, Jumat (7/2).
Senada dengan itu, Dewi Kartika menyebut setiap LSM atau NGO tentu memiliki mekanisme aturan sendiri dalam menjaga relasi dengan alumni yang sifatnya bisa berubah jadi relasi politik. Menurutnya, KPA tidak saklek dengan aturan bahwa eks-alumninya yang masuk ke pemerintahan harus dengan mandat organisasi. Akan tetapi KPA sadar bahwa setiap alumninya harus turut dikontrol karena suka tidak suka nama KPA melekat kepada mereka.
“Otomatis, mau tidak mau kita harus menyatakan bahwa dirimu itu boleh A dan tidak boleh B. Karena orang-orang KPA kalau ngomong ya pasti soal agraria (enggak yang lain),” ujar Dewi kepada kumparan, di Markas KPA, Jakarta Selatan, Selasa (18/2).
Menurut Dewi, setiap LSM memiliki tujuan yang sama tetapi memiliki strategi yang berbeda untuk mencapainya. Sehingga bagi KPA, meskipun secara tegas mengatakan tidak terafiliasi ke mana pun tetapi komunikasi dengan aktivis di pemerintahan harus berjalan demi memastikan program reforma agraria berjalan.
Direktur YLBHI Asfinawati menyebut kondisi pecahnya aktivis saat ini tak lepas dari gaya politik akomodasi yang dijalankan Presiden Jokowi. Menurutnya ada beberapa pola yang digunakan Jokowi dalam mencengkeram gerakan masyarakat sipil.
Pertama dengan merekrut mantan aktivis. Kedua, mantan aktivis itu akan mendekati juniornya di organisasi, dan kemudian jika juniornya tidak mau didekati maka akan dijelek-jelekan dengan berbagai stigma.
“Yang paling tepat ini adalah politik penundukan,” ujar Asfin, di kantor YLBHI, Selasa (4/2).
Dengan kondisi yang terjadi, para aktivis di luar pemerintahan mengusulkan untuk membuat garis demarkasi terhadap para mantan aktivis yang kini duduk di pemerintahan. Upaya itu diambil agar mempertegas posisi masing-masing saat ini dan masyarakat sipil bisa kembali merapatkan barisan untuk berkonsolidasi tanpa adanya intervensi.
Salah satu aktivis yang menolak GLF ialah peneliti Sajogyo Institute Roy Murtadho. Meskipun organisasinya sebagai anggota ILC, Roy menyatakan sikap menolak GLF. Menurut Roy, GLF hanyalah salah satu rapat internasional yang bertujuan menghasilkan rencana strategis untuk memuluskan investasi melalui program World Bank yakni One Map Policy.
Lebih lanjut, menurut, Roy, GLF seakan membenarkan program bagi-bagi sertifikat yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai bentuk reforma agraria. “Memang ada redistribusi tanah, tapi tanahnya nggak jelas dan tanah yang berkonflik nggak pernah diselesaikan oleh Jokowi.”
Akibat perseteruan itu, Roy mengaku mendapatkan cibiran serius dari para aktivis yang berada di dalam istana. Efek domino dari banyak ikut campurnya eks aktivis di acara masyarakat sipil juga membuat YLBHI dan LBH seluruh Indonesia memilih untuk keluar dari grup konsolidasi agraria dan bersiap keluar dari keanggotaan KPA.
“Yang rugi di gerakan. Ini kita saling serang, gerakan sudah kecil semakin rapuh,” imbuh Roy.