Pegawai KPK Heran, Firli Bahuri Seret Lembaga Lain soal Nasib 75 Pegawai KPK

21 Juni 2021 13:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: KemenPAN RB
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: KemenPAN RB
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nasib 75 pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sudah di ujung tanduk. Sebanyak 51 pegawai di antaranya akan dipecat di akhir tahun ini.
ADVERTISEMENT
Hal itu berdasarkan keputusan yang diambil dalam rapat koordinasi pada 25 Mei 2021. Rapat itu sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi yang meminta TWK tidak jadi dasar pemecatan 75 pegawai.
Namun, rapat itu memutuskan 51 pegawai akan diberhentikan karena dianggap tidak bisa dibina. Sementara 24 pegawai lainnya masih bisa dibina meski tak ada kepastian menjadi ASN.
Salah satu yang disoroti dalam rapat tersebut ialah keterlibatan lembaga lain dalam penentuan nasib 75 pegawai KPK. Diketahui, rapat turut dihadiri Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, dan Ketua Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana saat Penyerahan Hasil Asesmen Tes TWK Pegawai KPK di Kantor Kementerian PANRB, Selasa (27/4). Foto: Dok. KemenPAN RB
Bersama lima pimpinan KPK, mereka ikut menandatangani kesepakatan pada rapat itu. Termasuk kesepakatan soal nasib 75 pegawai KPK.
ADVERTISEMENT
Pegawai KPK Hotman Tambunan mengaku heran atas sikap Ketua KPK Firli Bahuri yang turut menyeret lembaga lain untuk memberhentikan pegawainya sendiri. Sebab, lembaga itu tak memiliki wewenang dalam pemberhentian pegawai KPK.
"Sangat mengherankan, untuk memberhentikan pegawai saja, Ketua KPK merasa perlu mendapat dukungan dari berbagai lembaga, padahal lembaga-lembaga tersebut tidak berwenang memberhentikan pegawai KPK," ujar Hotman kepada wartawan, Senin (21/6).
Selain itu, Firli Bahuri juga diduga turut menyeret Dewas KPK dalam keputusan ini. Padahal menurut Hotman, Dewas KPK mengaku tidak ikut dalam menyetujui SK 652 yang menonaktifkan 75 pegawai imbas tak lulus TWK. Hal itu berdasarkan surat balasan Dewas KPK atas permintaan klarifikasi 75 pegawai.
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Guna menyuarakan keberatan soal keterlibatan lembaga lain tersebut, Hotman dan sejumlah pegawai mengirimkan surat keberatan. Surat ditujukan kepada Pimpinan KPK dan empat lembaga yang disebut terlibat dalam berita acara itu.
ADVERTISEMENT
"Kami merasa ini adalah bentuk kesewenang-wenangan pejabat negara, tidak ada aturan yang memberi kewenangan kepada mereka untk ikut memutuskan pengangkatan dan pemecatan pegawai KPK. Perbuatan seperti ini adalah kategori kesewenang-wenangan yang sangat dilarang sebagaimana pasal 17 dan 80 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," ucap Hotman.
Melalui surat keberatan itu, pegawai KPK juga meminta kepada seluruh pimpinan KPK dan empat lembaga itu untuk dapat segera mencabut atau membatalkan keputusan dimaksud.
"Atau setidaknya mengklarifikasi peran keikutsertaannya yang memutuskan untuk melakukan perampasan hak 75 pegawai tanpa landasan hukum yang sah dan juga agar mencabut stigmanisasi kepada 75 pegawai yang menstigmakan 75 pegawai tidak setia dan tidak taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah yang sah," kata Hotman.
ADVERTISEMENT
Berikut 7 poin keberatan yang diajukan Hotman dan para pegawai KPK.
1. Bahwa rapat memutuskan proses alih status pegawai KPK menjadi ASN seperti seleksi, memutuskan persyaratan tambahan untuk menjadi ASN bahkan memutuskan pemberhentian pegawai hanya berdasarkan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan padahal tidak ada suatu aturan hukum yang menyebutkan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan sebagai dasar untuk menunda pengangkatan menjadi ASN bahkan lebih jauh lagi memutuskan memberhentikan pegawai.
Dasar hukum pelaksanaan asesmen tes wawasan kebangsaan adalah ketentuan pasal 5 ayat (4) Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN (Perkom 1/2021):
“Selain menandatangani surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk memenuhi syarat ayat (2) huruf b dilaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara.”
ADVERTISEMENT
Terlepas masalah validitas metode, substansi dan teknis pelaksanaan asesmen wawasan kebangsaan yang banyak dipersoalkan publik, ketentuan pasal 5 ayat (4) Perkom 1/2021 hanya mengatur bahwa KPK bekerja sama dengan BKN melaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan, sebagai konsekuensinya setiap pegawai KPK yang akan beralih status menjadi pegawai KPK wajib mengikuti asesmen tes wawasan kebangsaan. Dengan demikian, pegawai yang hadir dan melaksanakan tes wawasan kebangsaan yang dilaksanakan oleh KPK dan BKN telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 5 ayat (4) beserta syarat sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (2) huruf b Perkom 1/2021.
Perkom 1/2021 dan peraturan di atasnya tidak pernah mensyaratkan kriteria dan menuntut kewajiban hukum pegawai untuk lulus maupun tidak lulus asesmen tes wawasan kebangsaan untuk bisa diangkat menjadi ASN. Singkatnya, ketentuan pasal 5 ayat (4) Perkom 1/2021 hanya mewajibkan pegawai KPK hadir dan mengikuti asesmen wawasan kebangsaan yang diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan BKN. Dengan demikian, seluruh keputusan dan tindakan administratif yang diterbitkan diluar ketentuan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 dan peraturan di atasnya, yang salah satunya adalah Berita Acara ini, jelas tidak berdasarkan hukum.
ADVERTISEMENT
2. Bahwa pada tanggal 4 Mei 2021 Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan atas permohonan constitutional review Undang-Undang No.19 Tahun 2019, yang dalam pertimbangannya Majelis Hakim Konstitusi perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 menyatakan:
“Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan.”
Pertimbangan putusan tersebut setidaknya menegaskan empat pedoman hukum: Pertama, desain pengalihan status pegawai KPK adalah menjadi ASN. Kedua, pengalihan status tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Ketiga, tidak ada alasan apa pun yang dapat dibenarkan jika terdapat tindakan atau keputusan yang merugikan pegawai KPK sehingga tidak dapat beralih menjadi pegawai ASN.
ADVERTISEMENT
Keempat, Pengabdian dan dedikasi para pegawai KPK selama ini harus diyakini sebagai kenyataan hukum yang tidak terbantahkan, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi (notoire feiten notorious). Pertimbangan hukum yang disampaikan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari putusannya jelas berlaku mengikat sebagai hukum bagi semua pihak, dengan demikian berita acara tersebut di atas yang menambah syarat tambahan untuk diangkat menjadi ASN bahkan lebih jauh memutuskan untuk memberhentikan pegawai hanya berdasarkan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan jelas telah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019;
3. Demi menjamin terpenuhinya hak pegawai KPK tersebut, pada tanggal 17 Mei 2021 Presiden Joko Widodo sebagai kepala Negara dan Pejabat Tertinggi Pembina ASN berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014, menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 merupakan pedoman hukum yang harus diikuti, di mana pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.
ADVERTISEMENT
"Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK baik terhadap individu maupun institusi KPK, dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes"
4. Putusan MK pada angka 3 dan Arahan Presiden pada angka 4 secara tegas menyebutkan bahwa pegawai KPK beralih status kepegawaiannya menjadi ASN dengan berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tanpa alasan apa pun. Bahwa hasil asesmen tes wawasan kebangsaan hanyalah pemetaan kompetensi yang akan digunakan dalam rangka perbaikan pegawai dan organisasi KPK dan dilakukan setelah pengangkatan semua pegawai KPK menjadi ASN.
5. Bahwa tindakan/keputusan penambahan syarat bahkan lebih jauh memutuskan pemberhentian pegawai KPK tersebut hanya berdasarkan hasil asesmen tes wawasan kebangsaan, merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum karena tidak sesuai dengan pasal 36 ayat (2) dan pasal 38 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan jaminan konstitusi Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945,
ADVERTISEMENT
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Dan pasal 28 D ayat (2) UUD 1945,
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
6. Di samping pelanggaran hukum tersebut di atas, kami sampaikan bahwa permasalahan yang dibahas adalah tentang Kepegawaian KPK, tentunya kewenangan terkait pemutusan Kepegawaian KPK berada pada pejabat tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perampasan hak warga Negara tanpa hak dan tanpa landasan hukum oleh pejabat yang tak punya kewenangan adalah perbuatan sewenang-wenang dan melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dengan segala sanksinya.
ADVERTISEMENT
7. Di samping itu, dalam konferensi pers setelah rapat koordinasi tersebut, Pimpinan KPK dan Kepala BKN menyebutkan bahwa berdasarkan rekomendasi dari asesor, 24 pegawai masih bisa dibina dengan pendidikan pelatihan dan 51 pegawai dalam tes wawasan kebangsaan sudah dalam kategori merah dan sudah tidak bisa dibina lagi. Hal ini tentu memateraikan stigma pada 75 pegawai sudah tidak taat dan tidak setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah yang sah dan hal ini adalah kategori makar, padahal tidak ada satu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyebutkan hal itu.