Pelajaran Penting Agar Tabrakan Batik Air dan TransNusa Tidak Terulang

18 April 2017 15:07 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pesawat Batik Air (Foto: Dokumen KNKT)
Setelah satu tahun, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengeluarkan rilis terkait penyebab dua pesawat bertabrakan di runway bandara yakni Batik Air berjenis Boeing 737-800 reg PK-LBS rute Halim-Makassar dengan pesawat TransNusa jenis ATR reg PK-TNJ pada 4 April 2016.
ADVERTISEMENT
Dari laporan tersebut, penyebab insiden ini diketahui adalah buruknya koordinasi dua menara pengawas (ATC). Pesawat Batik Air mendapatkan sinyal untuk take off oleh ATC. Sementara itu, ATC juga sudah menyatakan pesawat ATR sudah boleh landing.
Dari rilis yang dikeluarkan oleh KNKT, terdapat beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari kejadian tersebut.
Saat pesawat Batik Air akan melakukan take off , sementara itu terdapat pesawat lain yang sedang di tarik oleh mobil penarik untuk masuk ke area parkir pesawat (apron) melalui landasan C dan G. Namun prosedur penarikan yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.
Pesawat yang ditarik tersebut dilakukan tanpa mesin menyala dan tidak ada daya listrik yang dipasok ke dalam pesawat, termasuk navigasi dan lampu pesawat.
ADVERTISEMENT
Sedangkan berdasarkan Civil Aviation Safety Regulations (CASR) nomor 91.209 mengatur bahwa untuk memindahkan pesawat terbang dalam jarak berbahaya pada malam hari di daerah bandara harus menyalakan lampu sebagai penanda posisi.
Selain itu selama penarikan pesawat harus diterangi secara memadai. Namun di kasus ini lampu portabel yang dipasang tidak memenuhi persyaratan CASR. Mobil penarik harusnya dilengkapi dengan cahaya anti-tabrakan di atas kompartemen pengemudi dan lampu yang dinyalakan selama proses penarikan.
Bagian sayap Batik Air mengalami kerusakan (Foto: Dokumen KNKT)
Selanjutnya adalah refleksi cahaya di menara controller mengurangi kemampuan controller untuk melihat objek di landasan pacu.
Dari kesimpulan KNKT selanjutnya, penyebab terjadinya insiden ini adanya kesalahan komunikasi antara controller dan asisten controller. Controller yang berkomunikasi dengan pilot pesawat di frekuensi 118.6 MHz sedangkan asisten controller berkomunkasi dengan sopir mobil penarik di frekuensi 152.73 KHz. Akibat kesalahan komunkasi ini, pilot tidak menyadari bahwa ada pesawat yang sedang ditarik.
ADVERTISEMENT
Saat sopir mobil penarik menyadari ada pesawat yang akan melakukan lepas landas. Maka sopir tersebut langsung mempercepat laju mobilnya dan berbelok ke sisi kanan landasan pacu.
Sama seperti sopir mobil penarik tadi, selama lepas landas pilot pesawat melihat sesuatu di landasan pacu namun proses lepas landas tetap dilanjutan. Menyadari bahwa objek di landasan tersebut adalah pesawat, pilot pun membelokan pesawat ke arah kanan.
Keputusan pilot dan sopir mobil penarik menjauh dari landasan pacu ternyata sudah sangat tepat dan berhasil menghindarkan tabrakan antara kepala pesawat. Namun demikian, karena berbelok secara bersamaan sayap dari kedua pesawat ini tetap bertabrakan.
Analisis KNKT di kasus Batik Air vs TransNusa (Foto: Dokumentasi KNKT)
Setelah pesawat berhenti, pilot menginstruksikan untuk melakukan evakuasi dari sisi kanan. Kemudian pramugari membuka semua pintu darurat di pesawat setelah memastikan tidak ada api yag keluar di sekitar pesawat.
ADVERTISEMENT
Dari kesimpulan yang dirilis KNKT tersebut dapat disimpulkan bahwa mengesampingkan standar sekecil apapun dapat menyebabkan dampak yang sangat berbahaya. Oleh karena itu KNKT merekomendasikan kepada AirNav untuk melakukan evaluasi kondisi penerangan di ruang kerja ATC untuk mencegah adanya glare atau silau yang mengurangi pandangan ATC dalam bekerja.
Lebih lanjut NKT memberikan rekomendasi agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali, melalui Soerjanto, KNKT menekankan agar Kemhub lebih tegas lagi dalam menggeluarkan aturan.
"Kemhub wajib mengeluarkan aturan bagi setiap pesawat yang bergerak di manoeuvring area (area pergerakan) termasuk yang tidak menggunakan tenaga pesawat, wajib berkomunikasi dengan air traffic controller pada frekuensi sama, agar dapat diterapkan di air traffic services (ATS) unit lainnya," katanya.
ADVERTISEMENT
Soerjanto menemukan ketidaksinkronan antara frekuensi antara ATC dengan pesawat menggunakan jenis frekuenai VHF atau Very High Frequency sementara antara ATC dengan ground handling menggunakan tipe frekuensi UHF atau Ultra High Frequency.
Kedua, mengeluarkan aturan bagi kendaraan termasuk pesawat yang bergerak di manoeuvring area wajib menyalakan lampu yang dapat terlihat oleh ATC dan kendaraan lain, termasuk pesawat.
"Diketahui lampu pesawat mati karena mesinnya mati, namun petugas ground handling telah memasang lampu sendiri," katanya.
Untuk itu, dia merekomendasikan kepada Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) untuk melakukan evaluasi kondisi penerangan di ruang kerja ATC untuk mencegah adanya glare atau silau yang mengurangi pandangan ATC dalam bekerja.
Selanjutnya, mengingatkan kembali seluruh petugas ATC untuk selalu memperhatikan maintain continuous watch pergerakan lalu lintas penerbangan, termasuk kendaraan yang beroperasi di manoeuvring area, terutama saat memberikan air traffic control clearance.
ADVERTISEMENT
Batik Air vs Transnusa (Foto: dok. KNKT)